Translate

Lazada.com

Minggu, 25 November 2012

Sambut Era Gemilang dengan Berguru ke Sejarah

Refleksi Tahun Baru 1434 H
Oleh Nanang Qosim
Ada beberapa kemenangan dan kekalahan besar umat Islam terhadap Barat dalam rentetan sejarah yang dapat diambil sebagai pelajaran berharga dalam upaya mengembalikan kembali kejayaan umat Islam di masa mendatang.
 Pertama, pada perang Yarmuk (634 M). Kala itu pasukan Islam dipimpin oleh Khalid bin Walid yang diberi gelar Rasulullah SAW dengan saifullah min suyufillah (satu di antara pedang-pedang Allah). Perang ini terjadi pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA. Walau hanya dengan puluhan ribu pasukan, pasukan Islam di bawah pimpinan Khalid bin Walid berhasil menghancurkan pasukan lawan yakni pasukan Romawi yang berjumlah ratusan ribu pasukan.
Kedua, pada perang Salib gelombang ke-3 di mana umat Islam di bawah pimpinan Shalahuddin Al Ayyubi(1169 – 1193 M) berhasil merebut kembali kota Yerussalem dari pasukan Salib (Nasrani) yang merupakan gabungan pasukan Prancis, Inggris dan Jerman.
Ketiga, pada perang untuk menguasai Konstantinopel. Muhammad Al Fatih, Khalifah Turki Utsmani berhasil menguasai kota Konstantinopel pada tahun 1453 M yang merupakan ibukota terpenting orang-orang Eropa saat itu. Perlu diketahui, untuk bisa menguasai kota Konstantinopel adalah sangat sulit. Kota Konstantinopel dikelilingi benteng yang sangat kokoh sekaligus sungai besar yang di situ dipasang penghalang berupa rantai-rantai besi yangbesar sehingga sulit ditembus musuh. Di samping itu juga dijaga ketat oleh seluruh pasukan Eropa, karena Konstantinopel adalah kota yang paling mereka cintai.
Peperangan di atas serta peperangan yang lain yang selalu dimenangkan pasukan Islam terutama peperangan yang berakibat jatuhnya kota Konstantinopel tersebut membawa pengaruh yang mendalam bagi orang-orang Eropa. Mereka terkejut, terheran-heran, tercengang, dan begitu penasaran bagaimana mungkin hal itu semua -terutama jatuhnya kota Konstantinopel- bisa terjadi. Kesemua hal tersebut membuat mereka berusaha keras bagaimana caranya agar kelak bisa mengalahkan kehebatan umat Islam.
Langkah demi langkah mereka tempuh. Mereka sadar bahwa kunci untuk mengalahkan umat Islam adalah dengan ilmu. Mereka harus lebih pintar daripada umat Islam. Maka, dengan kerja keras mereka mempelajari kitab-kitab para ulama’ dan ilmuwan Islam yang mereka rampas dari bumi Andalusia dan sekitarnya yang berhasil mereka taklukkan. (Perlu diketahui, Andalusia dan sekitarnya dulunya dikuasai dan dikembangkan menjadi pusat belajar Islam dan berbagai macam ilmu pengetahuan oleh kekhalifahan Bani Umayyah). Kerja keras itu berhasil, mereka menjadi lebih pintar dan hebat daripada sebelumnya. Dari sini muncullah para pemikir dan ilmuwan Eropa. Mereka menjadi suka mengadakan penelitian dan berbagai eksperimen ilmu pengetahuan. Keadaan tersebut ditambah dengan keadaan ekonomi, sosial, politik dan keagamaan yang juga mengalami perubahan besar dan mendasar. Kemudian, Eropa mengalami jaman-jaman yang disebut dengan aufklarung (pencerahan), renaissance(kebangkitan) dan puncaknya revolusi industri .
Perubahan besar terjadi di sana. Berbagai teknologi dan ilmu pengetahuan berkembang pesat. Telepon, telegram, mesin uap, radio, listrik , televisi, pesawat terbang dan sebagainya mereka temukan. Dari sisi politik, bentuk pemerintahan yang lebih stabil juga mereka temukan. Dari sisi ekonomi, menjadikan mereka negara-negara industri yang memakai tenaga mesin yang mutakhir. Juga mereka mencoba mengenal dunia luar dengan mengarungi samudra yang luas untuk mencari sumber rempah-rempah dari negeri asalnya (seperti Columbusmendarat di Kepulauan Bahama, Vasco Da Gama di India (1497 M), Amerigo Vespucci di Amerika (1499 M), orang-orang Portugis mendarat di Malaka (1511 M), Belanda di Banten (1596 M) dan sebagainya). Pada akhirnya perubahan besar tersebut menjadikan orang-orang Eropa siap berhadapan kembali melawan umat Islam.
Keadaan memang lalu berbalik. Setiap kali terjadi peperangan, Eropa yang menang. Umat Islam kalah. Satu persatu daerah-daerah Islam di bawah naungan kekhalifahan Daulah Turki Utsmani dan negeri-negeri Islam yang lain dicaplok Eropa. Giliran kini, umat Islam yang terkejut, terheran-heran dan tercengang, bagaimana hal itu bisa terjadi. Pada puncaknya, Eropa berhasil meruntuhkan kekhalifahan Daulah Turki Utsmani. Inilah kekalahan terbesar umat Islam. Umat Islam segera bangkit melawan, tetapi setiap kali bangkit, setiap itu pula bisa dipatahkan. Mengapa?
Untuk menjawabnya, perlu dilihat kembali beberapa kemenangan pasukan Islam terutama di tiga kemenangan tersebut di atas.
Pada perang Yarmuk, sang panglima Khalid bin Walid sebagai sekian dari shahabat Rasulullah SAW sudah tentu mempunyai spiritual (ketakwaan) yang mantap bahwa Allah pasti akan menolong seseorang/pasukan yang mau menolong agama-Nya sebagaimana firman-Nya dalam Al Qur’an. Meskipun beliau mendapat gelar Sang Pedang Allah, Khalid bin Walid tidaklah berpangku tangan dalam menghadapi pasukan musuh, mengharapkan kemenangan datang dari langit. Tidak begitu. Tetapi beliau mempersiapkan segala-galanya dengan matang mulai dari perbekalan yang cukup, persenjataan yang terbaik, pergerakan pasukan yang kompak, serta perencanaan strategi yang jitu yang bisa mengecoh musuh. Walhasil, persiapan perang dilakukan dengan serius bukan asal-asalan. Tidak hanya untuk mencapai mati syahid tetapi juga kemenangan agar Islam bisa cepat tersebar di muka bumi. Pada akhirnya, Allah memberi pertolongan, musuh yang jumlahnya ratusan ribu itu menjadi kocar-kacir, tidak sanggup berhadapan dengan pasukan Islam dan kemenanganpun di tangan pasukan Islam.
Shalahuddin Al Ayyubi adalah sosok yang bertaqwa kepada Allah dan sangat menghormati para ulama’. Tampilnya Shalahuddin Al Ayyubi pada Perang Salib gelombang ke-3 adalah merupakan hasil perjuangan panjang dua ulama’ besar yaitu Imam Al Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir Jaelani selama kurang lebih 50 tahun sebelumnya. Kedua ulama’ tersebut melihat bahwa kekalahan umat Islam khususnya pada Perang Salib gelombang 1 dan 2 adalah karena umat Islam menderita penyakit kronis yang bernama hubbud dunya, cinta dunia sehingga sulit diajak berjuang di jalan Allah. Imam Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir Jaelani sangat jeli bahwa musuh yang harus dikalahkan terlebih dahulu adalah musuh yang ada di internal umat Islam itu sendiri. Tidaklah mungkin bisa mengalahkan musuh apabila di dalam diri terdapat penyakit yang parah. Setelah hati menjadi bersih dari berbagai penyakit, muncullah sinar terang solusi, strategi dan cara mengalahkan pasukan Salib. Shalahuddin Al Ayyubi berhasil membangkitkan kesadaran dan kekuatan umat Islam melalui ulama’ besar yang menceritakan kembali riwayat hidup Rasulullah SAW. Kesadaran dan kekuatan umat Islam pun terwujud. Shalahuddin Al Ayyubi memerintahkan para ilmuwan untuk menciptakan senjata-senjata terbaru dan terbaik untuk berperang melawan pasukan Salib. Dengan kerja keras para ilmuwan, terciptalah senjata itu, namanya panah-panah dan bola-bola api. Dengan panah-panah dan bola-bola api tersebut armada perang dan benteng-benteng pertahanan pasukan Salib berhasil dihancurkan dan akhirnya kota Yerussalem berhasil dikuasai umat Islam.
Sejarah membuktikan, Shalahuddin Al Ayyubi adalah orang yang shalih, adil dan berakhlak mulia, tidak hanya kepada umat Islam sendiri tetapi juga kepada pasukan Salib. Pangeran Richard dari Inggris membuktikan sendiri hal tersebut. Dan memang benar, hal itu terbukti ketika Shalahuddin berhasil mengalahkan pasukan Salib dan menguasai Yerussalem, dia tidak semena-mena terhadap pasukan Salib dan orang-orang Nasrani. Bahkan mereka diberi jaminan keamanan sepenuhnya.
Muhammad Al Fatih adalah khalifah yang shalih, senantiasa dekat dengan para ulama’. Dengan spirit dari para ulama’ di sekelilingnya Muhammad Al Fatih mempunyai semangat dan ide-ide yang luar biasa. Telah berkali-kali pasukan Islam mencoba merebut kota Konstantinopel, tetapi semuanya gagal. Muhammad Al Fatih tidak menyerah, dia mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Strategi yang jitu harus dilakukan, senjata terbaik juga harus diciptakan. Atas petunjuk Allah, strategi itu muncul dan terciptalah meriam. Walau banyak pasukan Islam yang syahid, Kota Konstantinopel pun akhirnya berhasil dikuasai umat Islam.
Pada tiga kemenangan besar umat Islam di atas, umat Islam dipimpin oleh orang-orang yang shalih, orang-orang yang bertaqwa kepada Allah dan dekat/bersama para ulama’. Secara khusus, menarik sekali apa yang dilakukan oleh Imam Al Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir Al Jaelani, yang berusaha melakukan tazkiyatun nufuskepada umat Islam yang dengan demikian akan memberikan pencerahan secara hakiki, cinta kepada Allah, tidak cinta kepada dunia, cinta mati syahid, tidak cinta harta, mau mengorbankan diri untuk Islam, tidak mengorbankan Islam untuk kepentingan diri sendiri, mau tunduk kepada Allah dan pemimpin yang adil, tidak tunduk kepada hawa nafsunya sendiri, mau mengorbankan egoismenya untuk kejayaan Islam.
Maka, itulah kunci yang pertama yang bernama ketakwaan. Dengan ketakwaan, sifat-sifat mulia tertanam dalam jiwa manusia. Ketakwaan akan menjadikan banyak berdzikir, dan banyak berdzikir akan menyebabkan datangnya kemenangan. Bukankah Allah telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kamu dan berdzikirlah, berdzikirlah sebanyak-banyaknya agar kalian mendapat kemenangan” (QS Al-Anfal 45).
Kunci kedua adalah penguasaan terhadap ilmu yang terkait. Maka dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan, baik berupa teknologi dengan membuat senjata yang canggih, strategi mengelola pasukan, membuat taktik, mengecoh lawan, ataupun ilmu tentang sejarah (asal-usul, latar belakang musuh), sifat-sifat, karakteristik musuh, ilmu geografi (mengenai keadaan alam tempat tinggal musuh), dan sebagainya. Dalam hal ilmu pengetahuan ini, perlu kiranya direnungkan firman Allah:
“…, dan bertaqwalah kepada Allah, dan Allahlah yang akan mengajarkan kepada kalian,…” (QS Al Baqarah 282).
Dan kunci yang ketiga, yaitu mempersiapkan secara matang, serius, sungguh-sungguh, bukan asal-asalan. Tidak hanya berharap keajaiban tanpa usaha yang maksimal. Mengerti, memahami secara benar dan melaksanakan sunnatullah dengan sungguh-sungguh. Bahwa tidak ada kemenangan yang diraih dengan santai-santai. Bahwa kemenangan itu tidak langsung turun dari langit begitu saja. Harus dengan kerja keras, bahkan dengan berkorban jiwa dan raga. Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada umat Islam sementara umat Islam belum layak untuk menang. Umat Islam harus mengubah sifat-sifat serta keadaan-keadaan buruk yang ada pada mereka sehingga Allah memberi kebaikan dan kemenangan itu. Bukankah Allah telah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan buruk suatu kaum, sehingga kaum itu mengubah keadaan buruk yang ada pada mereka terlebih dahulu” (QS Ar Ra’d 11).
Wallahu a’lam.

Kamis, 22 November 2012

Nasehat Al Ghazali Untuk Pelajar

Nasehat Al Ghazali Untuk Pelajar 

Written by Henri Shalahuddin - www.insistnet.com 

"Ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pelaku maksiyat,” demikian petuah masyhur guru Imam Syafii, Waqi’. Ibnu Mas'ud r.a., salah satu Sahabat Nabi saw pernah berwasiat, bahwa hakekat ilmu itu bukanlah menumpuknya wawasan pengetahuan pada diri seseorang, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang bersemayam dalam hati. Kedudukan ilmu dalam Islam sangatlah penting. Rasulullah saw., bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi hingga semut dalam tanah, serta ikan di lautan benar-benar mendoakan bagi pengajar kebaikan". (HR. Tirmidzi). 

Mengingat kedudukannya yang penting itu, maka menuntut ilmu adalah ibadah, memahaminya adalah wujud takut kepada Allah, mengkajinya adalah jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan mengingatnya adalah tasbih. Dengan ilmu, manusia akan mengenal Allah dan menyembah-Nya. Dengan ilmu, mereka akan bertauhid dan memuja-Nya. Dengan ilmu, Allah meninggikan derajat segolongan manusia atas lainnya dan menjadikan mereka pelopor peradaban. 

Oleh karena itu, sebelum menuntut ilmu, Imam al-Ghazali mengarahkan agar para pelajar membersihkan jiwanya dari akhlak tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah kalbu dan salah satu bentuk pendekatan batin kepada Allah. Sebagaimana shalat itu tidak sah kecuali dengan membersihkan diri dari hadas dan kotoran, demikian juga ibadah batin dan pembangunan kalbu dengan ilmu, akan selalu gagal jika berbagai perilaku buruk dan akhlak tercela tidak dibersihkan. Sebab kalbu yang sehat akan menjamin keselamatan manusia, sedangkan kalbu yang sakit akan menjerumuskannya pada kehancuran yang abadi. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), dan bertambah parah dengan mengikuti hawa nafsu. Sedangkan kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma'rifatullah), dan vitaminnya adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal) 

Sebagai amalan ibadah, maka mencari ilmu harus didasari niat yang benar dan ditujukan untuk memperoleh manfaat di akherat. Sebab niat yang salah akan menyeret kedalam neraka, Rasulullah saw., bersabda: "Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk tujuan berkompetisi dan menyaingi ulama, mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang siapa berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka. (HR. Ibnu Majah) 

Diawali dengan niat yang benar, maka bertambahlah kualitas hidayah Allah pada diri para ilmuwan. "Barang siapa bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia hanya semakin jauh dari Allah", demikian nasehat kaum bijak. Maka saat ditanya tentang fenomena kaum intelektual dan fuqaha yang berakhlak buruk, Imam al-Ghazali berkata: "Jika Anda mengenal tingkatan ilmu dan mengetahui hakekat ilmu akherat, niscaya Anda akan paham bahwa yang sebenarnya menyebabkan ulama menyibukkan diri dengan ilmu itu bukan semata-mata karena mereka butuh ilmu itu, tapi karena mereka membutuhkannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah". 

Selanjutnya beliau menjelaskan makna nasehat kaum bijak pandai bahwa 'kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu pun enggan kecuali harus diniatkan untuk Allah', berarti bahwa "Ilmu itu tidak mau membuka hakekat dirinya pada kami, namun yang sampai kepada kami hanyalah lafaz-lafaznya dan definisinya". (Ihya' 'Ulumiddin) 

Ringkasnya, Imam al-Ghazali menekankan bahwa ilmu saja tanpa amal adalah junun (gila) dan amal saja tanpa ilmu adalah takabbur (sombong). Junun berarti berjuang berdasarkan tujuan yang salah. Sedangkan takabbur berarti tanpa memperdulikan aturan dan kaedahnya, meskipun tujuannya benar. Maka dalam pendidikan Islam, keimanan harus ditanamkan dengan ilmu; ilmu harus berdimensi iman; dan amal mesti berdasarkan ilmu. Inilah sejatinya konsep integritas pendidikan dalam Islam yang berbasis ta'dib. Ta'dib berarti proses pembentukan adab pada diri peserta didik. Maka dengan konsep pendidikan seperti ini, akan menghasilkan pelajar yang beradab, baik pada dirinya sendiri, lingkungannya, gurunya maupun pada Penciptanya. Sehingga terjadi korelasi antara aktivitas pendidikan, orientasi dan tujuannya. 

Ketika seseorang mempelajari ilmu-ilmu kedokteran, kelautan, tehnik, komputer dan ilmu-ilmu fardhu kifayah lainnya, maka mereka tidak memfokuskan niatnya pada nilai-nilai ekonomi, sosial, budaya, politik, atau tujuan pragmatis sesaat lainnya. Tapi kesemuanya ini dipelajarinya dalam rangka meningkatkan keimanan dan bermuara pada pengabdian pada Sang Pencipta. Disorientasi pendidikan diawali dengan hilangnya integritas nilai-nilai ta'dib dalam pendidikan (sekularisasi). Sekularisasi dalam dunia pendidikan berjalan dengan dua hal: (a) menempatkan ilmu-ilmu fardhu 'ain yang dianggap tidak menghasilkan nilai ekonomi dalam skala prioritas terakhir, atau dihapus sama sekali. Sehingga mahasiswa kedokteran misalnya, tidak perlu dikenalkan pelajaran-pelajaran agama. (b) mengutamakan pencapaian-pencapaian formalitas akademik. Sehingga keberhasilan seorang pelajar hanya ditentukan dari hasil nilai ujian yang menjadi ukuran pencapaian ilmu dan keberhasilan sebuah lembaga pendidikan. 

Rusaknya dunia pendidikan terjadi ketika ilmu diletakkan secara salah sebagai sarana untuk mengejar syahwat duniawi. Padahal Ali bin Abi Talib r.a., telah mengingatkan: "Barang siapa yang kecenderungannya hanya pada apa yang masuk kedalam perutnya, maka nilainya tidak lebih baik dari apa yang keluar dari perutnya". Wallahu a'lam wa ahkam bis shawab. (***)