Posmodernisme :
Politik Pemikiran Menantang Islam
Sekarang ini kita memasuki era posmodernisme. Kita
hidup pada zaman yang mengalami perubahan dramatis. Struktur yang telah
bertahan dari generasi ke generasi sedang mengalami keruntuhan, atau
diruntuhkan.
Sangat sulit mengetahui definisi istilah
‘posmodernisme’, karena jika definisi diartikan sebagai sesuatu yang bisa
disepakati, tunggal, dan bulat; maka kesepakatan, ketunggalan, dan kebulatan
itulah yang tidak diinginkan oleh posmodernisme. Yang bisa dilakukan hanyalah
mengira-ngira apa yang menjadi ciri-ciri posmodernisme. Hanya dengan membuat
pengelompokan, barulah kita dapat menangkap arti atau definisi posmodernisme.
Posmodernisme memiliki keragaman
gerakan, sebagai akibat dari ekses-ekses negatif yang ditimbulkannya. Kategori
pertama, adalah gerakan posmodernisnme yang digagas oleh Nietzsche[i],
Derrida[ii],
Foucault[iii],
Vattimo[iv],
Lyotard[v],
dan lain-lain. Gerakan ini menggagas pemikiran-pemikiran yang banyak berurusan
dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah
“dekonstruksi”. Mereka cenderung hendak mengatasi gambaran dunia (worl-view) modern melalui gagasan yang anti world-view sama sekali. Mereka mendekonstruksi atau membongkar
segala unsur yang penting dalam sebuah world-view seperti : diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata,
dst. Awalnya strategi dekonstruksi ini dimaksudkan untuk mencegah kecenderungan
totalitarisme pada segala sistem; namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam
relativisme dan nihilisme.[vi]
Kategori kedua, posmodernisme adalah segala pemikiran
yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara
total, melainkan dengan memperbarui premis-premis modern di sana-sini saja. Di
sini, tetap diakui sumbangan besar modernisme seperti : terangkatnya
rasionalitas, kebebasan, pentingnya pengalaman, dan sebagainya.[vii] Heidegger hanyalah salah satu posmodernis yang masuk
kategori kedua ini. Philoshopy
of difference yang dinisbatkan kepada
Heidegger mengatakan bahwa segala perbedaan antara kepalsuan dan kebenaran,
rasional dan irrasional harus diletakkan di luar jangkauan bahasa dan
konsep-konsep yang melekat dengannya. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang
kita hadapi dalam pengalaman kita di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari
suatu penafsiran; dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri sesuai
dengan nilai-nilai subjektif dalam diri kita. Di sini yang bermain adalah dunia
interpretasi yang berbeda-beda. Philosophy of difference kemudian menjadi asas bagi penolakan terhadap
kebenaran transenden.[viii]
Karakter yang sering disuarakan posmodernisme
antara lain pluralisme, heterodoks, eklektisisme,
keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi, pemencaran,
perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,demistifikasi, delegitimasi
serta demistifikasi (Bertens,
1995: 44).
Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam (1992), terdapat delapan ciri karakter sosiologis posmodernisme.
Pertama, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek
modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan
semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.
Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah
merupakan perpanjangan dari sistem indera, organ dan syaraf manusia.
Kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan
terasa menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi
Agama dan Tuhan baru yang menentukan
kebenaran dan kesalahan perilaku manusia.
Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang
semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Keempat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas
dan apresiasi serta keterikatan
romantisme dengan masa lampau.
Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya,
wilayah pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku
bagi menguatnya dominasi
negara maju (Negara Dunia Pertama) atas negara
berkembang (Negara Dunia Ketiga).
Keenam, semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial
atau kelompok minoritas untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan
terbuka. Dengan kata lain, era posmodernisme telah turut mendorong proses
demokratisasi.
Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan
berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu
objek budaya secara ketat pada kelompok budaya tertentu secara eksklusif.
Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam diskursus posmodernisme
seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992:143-4).
Jika posmodernisme mengatakan keberanan
objektif tidak lagi dipercayai sebagai kebenaran absolut, maka mekanisme
kebenaran yang bekerja adalah kebenaran subjektif atau relatif. Tidak ada lagi
nilai yang diakui sebagai nilai tertinggi. Suatu konsep tidak lagi didasarkan
pada sesuatu hal yang bersifat divine dan metafisis. Lalu, dimana posisi agama dalam dunia
posmodernisme?
Posisi agama dalam dunia posmodernisme
dijelaskan dengan baik oleh Hamid Fahmy Zarkasyi. Menurutnya, agama tidak lagi
berhak mengklaim punya kuasa lebih terhadap sumber-sumber nilai yang dimiliki
manusia seperti yang telah diformulasikan oleh para filosof. Jadi, agama
dipahami sebagai sama dengan persepsi manusia sendiri yang tidak memiliki
kebenaran absolut. Oleh sebab itu agama mempunyai status yang kurang lebih sama
dengan filsafat dalam pengertian tradisional.[ix] Dari kesalahan epistemologi, posmodernisme kemudian
menjadi tantangan berat bagi umat Islam saat ini.
Tantangan posmodernisme bagi umat Islam semakin berat
ketika paham ikutan yang dibawa posmodernisme, kemudian dijadikan sebagai
landasan berpikir para sarjana Islam semacam Muhammad Abid al-Jabiri, Mohammad
Arkoun, Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, dan lain-lain.
Di tangan para sarjana Islam kontemporer ini, posmodernisme berhasil
menancapkan pengaruhnya dalam kajian Islam.
Mengapa banyak sarjana Muslim yang
tertarik pada rayuan posmodernisme? Dalam sebuah perkualiahan, Nirwan Syafrin
Manurung menjelaskan bahwa beberapa faktor yang mendorong para sarjana Islam
menggunakan framework posmodernisme dalam kajian Islam; yakni : frustasi
atas kemunduran umat Islam dan bangsa Arab pada khususnya, kekalahan bangsa
Arab atas Israel pada Perang Enam Hari tahun 1967, frustasi terhadap pemerintah
Arab yang semakin otoriter, dan frustasi atas maraknya gerakan kebangkitan
Islam.[x] Doktrin-doktrin posmodernisme yang menjadi tantangan
berat bagi Islam antara lain :
1. Nihilisme
Doktrin yang digunakan para posmodernis adalah konsep
mereka tentang nilai. Program posmodernisme adalah penghapusan nilai dan
penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dengan mereduksi makna
nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolut oleh agama dan
masyarakat.[xi] Nihilisme atau penghapusan nilai (dissolution of value) pertama kali diperkenalkan oleh Nietzsche
(1844-1900). Dalam karyanya, Will To Power, Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai situasi
dimana “manusia berputar dari pusat ke arah titik X”; artinya, nilai tertinggi
mengalami devaluasi dengan sendirinya.[xii]
Nietzsche melakukan penghancuran tatanan
nilai lama yang diartikannya sebagai kepalsuan dan kebohongan. Tetapi karena
nilai-nilai tradisional itu berkaitan langsung dan tak terpisah dengan agama,
Nietzsche memproklamirkan “kematian Tuhan” sebagai peristiwa paling penting
zaman ini. Tuhan hanyalah gagasan manusia yang tidak berani mengikuti dorongan
daya hidupnya sendiri. Nietzsche secara radikal menyangkal adanya Tuhan bukan
berdasarkan pertimbangan filosofis-rasional, melainkan karena dengan adanya
Tuhan, ia tidak melihat adanya ruang bagi pengembangan diri manusia; ia
menyebutnya dengan sang Manusia Super. Manusia Super hidup bernapaskan semangat
kekuasaan, yang telah terbebas dari belenggu sistem nilai dan moralitas lama
serta secara bebas mewujudkan “kehendak untuk berkuasa” (Will to power).[xiii]
Heidegger (1889-1976) dengan nada yang
sama mendefinisikan nihilisme sebagai “suatu proses dimana pada akhirnya tidak
ada lagi yang tersisa”.[xiv] Bagi Heidegger, tetap ada perbedaan ontologis antara Being (sang Ada) yang sesungguhnya dengan being (para pengada). Artinya, semua hal adalah tentang
penafsiran. Itulah sebabnya kebenaran pun harus dilihat sebagai sesuatu yang
ambigu. Premis ini dinamakan philoshopy of difference, yang kemudian akan menjadi penghubung antara nihilisme
dan hermeneutika (filsafat interpretasi).[xv]
Nietzsche dan Heidegger, keduanya menuju
satu titik dimana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai; nilai tidak
lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada
sesuatu yang metafisik, religius, ataupun mengandung unsur ketuhanan.[xvi] Hal ini memposisikan posmodernisme vis a vis agama.
2. Relativisme
Ernest Gellner menyatakan bahwa posmodernisme nampak
jelas mendukung paham relativisme. Kebenaran bagi posmodernisme adalah elusive
(kabur), subjektif dan internal. Oleh sebab itu mereka tidak bisa menerima ide
tentang kebenaran tunggal, eksklusif, eksternal, dan transenden.[xvii]
Relativisme terutama diusung dan diolah oleh Derrida.
Sambil menarik kesimpulan-kesimpulan radikal dari Nietzsche, Husserl, dan
Heidegger, lewat post-strukturalisme, ia sampai pada gagasan, bahwa pada
akhirnya bahasa dan kata-kata adalah kosong belaka, dalam arti mereka
sebetulnya tidak menunjuk pada sesuatu apa pun selain pembedaan (differance) : pembedaan arti yang dimungkinkan oleh system lawan
kata. ‘Makna’, tiada lain adalah permainan semiologik, permainan tanda-tanda.
Dengan cara ini, maka yang biasa disebut ‘kenyataan’, ‘ada’, atau ‘kebenaran’,
misalnya, lenyap. Dari sini, maka diskursus dibawa ke arah pentingnya
hermeneutika yang membawa segala persoalan pada wilayah dialog.[xviii] Akibatnya,kebenaran itu relative, tergantung kepada
pendirian subjek yang menentukan. Doktrin ini mempengaruhi pemikiran
cendekiawan Muslim dari tingkat mahasiswa hingga dosen, sehingga kini banyak
yang hanyut dengan menyatakan bahwa “kebenaran itu relative”, “kita tidak dapat
mengetahui kebenaran absolute, yang absolute hanya Tuhan”, dan sejenisnya.
Atmosfir pemikiran posmodernisme dengan doktrin
subjektifitas dan relativisme kebenaran ini adalah salah satu faktor penting
bagi lahirnya paham pluralisme dan pluralisme agama. Paham ini diusung oleh
liberalisme.
3. Pluralisme
Pluralisme merupakan ‘dampak bawaan’ atau konsekuensi
logis dari doktrin subjektivitas dan relativisme. Lagi-lagi Derrida
menyumbangkan kerangka berpikir pluralisme. Konsepnya tentang ‘Differance’ berbicara mengenai penolakan terhadap adanya petanda
absolute atau ‘makna absolut’, ‘makna transendental’, dan ‘makna universal’.
Penolakan ini mesti dilakukan, dan menurut Derrida sudah pasti terjadi, karena
dengan adanya proses ‘Differance’ tadi, apa yang dianggap sebagai petanda absolute akan
selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada saja celah antara penanda dan
petanda, antara teks dan maknanya. Celah
inilah yang menyebabkan pencarian makna absolute mustahil dilakukan. Setelah
kebenaran ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak kebenaran lain yang ada di
belakangnya.[xix]
Hal ini dibenarkan oleh Oxford Dictionary of
Philosophy. ‘Pluralisme’ adalah
teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran. Ia
terkadang juga dipahami sebagai doktrin yang berpandangan bahwa di sana tidak ada
pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. Definisi ini
kemudian diaplikasikan pada agama, sehingga muncullah pluralisme agama.
John Hick memberikan definisi yang fenomenal, yang
menjadi rujukan oleh kalangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang
berbeda. Menurutnya, pluralisme agama adalah :
“…the view that the great world faiths
embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different
responses to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural
ways of being human; and that within each of them the transformation of human
existence from self-centredness to Reality centredness is manifestly taking
place—and taking place, so far as human observation can tell, to much the same
extent.”[xx]
Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya
semua agama adalah “manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu”. Dengan
demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Dengan
gagasan ini, maka masing-masing agama mempunyai metode, jalan, atau bentuk untuk
mencapai “Tuhan”.
Paham semacam itu jelas menolak kebenaran
eksklusif akidah Islam dan menyamakan Islam dengan semua agama. Maka, sudah
tepat rumusan yang dibuat MUI mengenai ‘pluralisme agama’ dan status hukumnya,
sebagai paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi kaum Muslim
untuk memeluk paham semacam itu.[xxi]
4. Liberalisme
Paham liberalisme berawal dari kebebasan berpikir.
Kebebasan berpikir, berarti berpusat pada kebebasan individu, yang memiliki hak
dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan
bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi.[xxii]
Liberalisme dianggap bersikap positif
terhadap manusia, kemampuan dan kesempurnaannya. Manusia dianggap makhluk yang
terus berkembang sifatnya, pemahaman dan moralitasnya. Manusia, karena itu,
dianggap mampu menentukan kehidupan mereka sendiri dan karena itu segala
perbuatan manusia adalah milik individu yang tidak boleh dicampuri oleh lembaga
atau orang lain. Liberalisme menekankan pada hak-hak individu, menentang
kekuasaan dan otoritas resmi. Di sini pengaruh Barat modern dan postmodern yang
individualistis begitu nyata dan radikal. Karena radikalnya itu mereka percaya
bahwa manusia mampu menjadikan segala sesuatu menjadi lebih baik. Semua ini
mengawali upaya pemarjinalan agama atau memisahkan agama dari urusan sosial dan
politik secara perlahan-lahan. Agama tidak diberi tempat di atas kepentingan
sosial dan politik. Sama seperti yang terjadi ketika liberalisme didesakkan ke
dalam pemikiran keagamaan Katholik dan Protestan, ia telah mensubordinasikan
Islam di bawah kepentingan politik dan humanisme, terjadilah sekularisme di
tubuh Islam, yang dibawa oleh agen-agennya.[xxiii]
Liberalisme yang didesakkan ke dalam
pemikiran keagamaan Islam telah mendestruksi dan mendistorsi konsep-konsep yang
diyakini oleh umat Islam sebagai konsep yang sudah pakem, selain dengan
mendistorsi sejarah Islam dan umat Islam.
Islam kemudian banyak dimaknai hanya
dengan makna generic atau makna bahasa sebagai “tindakan pasrah kepada Tuhan” (submission to God) tanpa melihat, bagaimana cara pasrah kepada Tuhan
itu – apakah kepasrahan kepada Tuhan itu menggunakan ajaran Nabi Muhammad SAW
atau bukan. Upaya dekonstruksi makna Islam sebenarnya merupakan bagian dari
upaya dekonstruksi istilah-istilah atau konsep-konsep kunci dalam Islam. Jika
makna Islam didekonstruksi, maka akan terdekonstruksi juga makna “kafir”,
“murtad, “munafik”, “al-haq”, “dakwah”, “jihad”, dan lain-lain.[xxiv]
Banyak cendekiawan Muslim yang akhirnya
termakan paham relativisme, yang mengakibatkan kerusakan struktur ilmu
pengetahuan dalam Islam. Bahkan agama Islam itu sendiri sudah tidak ada artinya
apa-apa lagi karena hanya merupakan agama yang benar secara relatif.
Selain menanamkan doktrin relativisme,
langkah liberalisasi yang paling strategis adalah melakukan kritik terhadap al-Qur’an
yang merupakan sumber kekuatan Islam. Dengan menerapkan biblical criticism
dalam studi Al-Qur’an, para orientalis melontarkan berbagai pendapat yang kontroversial
mengenai al-Qur’an seperti : al-Qur’an telah mengalami berbagai penyimpangan,
standardisasi al-Qur’an disebabkan rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan,
Utsman bin Affan salah karena telah mengkodikasi al-Qur’an, al-Qur’an ditulis
bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa Aramaik, al-Qur’an adalah karangan
Muhammad, terdapat sejumlah kesalahan dalam penulisan al-Qur’an, tidak ada
dalam al-Qur’an yang orisinal dan berasal dari langit karena wujudnya pengaruh
Yahudi-Kristen yang sangat dominan dalam al-Qur’an, menyamaratakan qira’ah
mutawatirah dengan qira’ah shadhdhah, merubah kata dan kalimat dalam al-Qur’an
dan lain sebagainya. Dari hasil kajian kritis tersebut kesimpulannya adalah
perlunya diwujudkan al-Qur’an edisi kritis.[xxv]
Dan masih banyak lagi upaya liberalisasi
terhadap pemikiran Islam. Ambil contoh penyebaran feminisme dan gender dan mendekonstruksi
syariah. Kalangan liberal bahkan sudah berani menghalalkan perilaku homoseksual
dan lerbian, dengan landasan berpikir feminisme radikal yang menuntut kesamaan
laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kepuasan seksualnya masing-masing.
Kemudian tafsir diseret-seret dalam upaya penghalalan ini dengan melakukan
kritik dan reaktualisasi terhadap tafsir mengenai kisah Nabi Luth dan konsep
pernikahan.[xxvi]
Dekonstruksi syariah juga gencar dilakukan
oleh kalangan liberal. Maslahah dijadikan kuda hitam. Biasanya mereka melontarkan
argument bahwa karena tujuan ditetapkannya hukum Islam adalah untuk menciptakan maslahah kepada umat manusia maka maqasid syariah lebih utama daripada syariah. Selain itu,
kaidah usuliyah al-ibratu
bi umumillafz, la bi khususi al-sabab dibalik menjadi al-ibratu bi khususi al-sabab la
umumillafz. Jadi mereka ingin
mengatakan bahwa perintah dan larangan dalam al-Qur’an itu harus dipahami dalam
konteks budaya ketika ia diturunkan.[xxvii]
LIberalisasi pemikiran keagamaan Islam
yang akhir-akhir ini mendapatkan momen euforianya, bukanlah sebuah tajdid atau pembaruan, tapi melainkan tak lebih dari upaya
membebek atau mengadopsi secara membabi-buta terhadap tradisi intelektual Barat
yang dekonstruksionis dan dekstruktif. Oleh karena itu, umat Islam harus
mempertahankan dan mengembangkan tradisi keilmuan yang bersumber dari al-Qur’an,
Sunnah, dan warisan tradisi intelektual Islam.
Wallahu ‘alam bishshawwab
*Penulis adalah Alumni
Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta dan aktivis InPAS
[i]Lihat Friedrich Nietzsche, Will To Power, Terj. Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale, diedit oleh Walter Kaufmann, New York, Vintage Books, 1968, dikutip dari Hamid Fahmy Zarkasy, Liberalisasi Pemikiran Islam : Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, (Ponorogo : CIOS-ISID-Gontor, 2008), hal. 14.
[ii] Lihat Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Derrida, terj, (Yogyakarta : Ar-Ruz Media, 2009), hal. 7.
[iii] Ibid.,
[iv] Ibid.,
[v] Ibid.,
[vi] I. Bambang Sugiharto, Postmodernime : Tantangan Bagi Filsafat, (Kanisius : Yogyakarta : 1996), hal. 30-31.
[vii] Ibid., hal. 30.
[viii] Hamid Fahmy Zarkasy, Liberalisasi Pemikiran Islam : Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, (CIOS-ISID-Gontor : Ponorogo, 2008), hal. 14.
[ix] Hamid Fahmy Zarkasy, op.cit., hal. 19.
[x] Slide perkuliahan yang dipresentasikan oleh Nirwan Syafrin Manurung pada mata kuliah Pemikiran Islam Kontemporer di Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada tanggal 6 Februari 2010.
[xi] Lihat Geovani Vattimo, The End of Modernity, Terj dan Pengantar oleh John R. Snyder, (Polity Press & Blackwell Publisher, 1988), dikutip dari Hamid Fahmy Zarkasy, “Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Post-Modern”, Jurnal Islamia Thn I No. 4/Januari-Maret 2005, hal. 39.
[xii] Ibid.,
[xiii] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta : Kanisius, 1997), hal. 197-198.
[xiv] Friedrich Nietzsche, The Will To Power, Terj. Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale, diedit oleh Walter Kaufmann, New York, Vintage Books, 1968, hal. 8-9, dikutip dari Ibid.,
[xv] I. Bambang Sugiharto, Postmodernime, hal. 75.
[xvi] Hamid Fahmy Zarkasy, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 15.
[xvii] Ibid., hal. 18.
[xviii] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, hal. 37.
[xix] Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Derrida, hal. 11.
[xx] John Hick, An Interpretation of Religion : Human Responses to the Transcendent, (London : Macmillan, 1989), reprinted 1991, hal. 3-5, dikutip dari Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis, (Jakarta : Penerbit Perspektif, 2005), hal. 15.
[xxi] Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama & Diabolisme Intelektual, (Surabaya : Risalah Gusti, 2005), hal.18.
[xxii] Lihat Simon Blackburn, Oxford Dictionary and Philosophy, (Oxford : Oxford University Press, 1996), v.s. liberalism.
[xxiii] Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 36.
[xxiv] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005), hal. 352.
[xxv] Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an : Kajian Kritis, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005).
[xxvi] Lihat Ahmad Khairul Umam et al, Indahnya Kawin Sesama Jenis, Demokratisasi dan Perlindungan Hak-Hak Kaum Homoseksual, Buku Hasil kumpulan artikel di Jurnal Justisia, IAIN Walisongo Semarang.
[xxvii] Ulil Abshar Abdalla dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, (Jakarta : Gramedia, 2009).
Jangan Lupa Kunjungi!