Translate

Lazada.com

Minggu, 16 Desember 2012

Posmodernisme : Politik Pemikiran Menantang Islam

Posmodernisme : 
Politik Pemikiran Menantang Islam
Kartika Pemilia Lestari*
            Sekarang ini kita memasuki era posmodernisme. Kita hidup pada zaman yang mengalami perubahan dramatis. Struktur yang telah bertahan dari generasi ke generasi sedang mengalami keruntuhan, atau diruntuhkan.
            Sangat sulit mengetahui definisi istilah ‘posmodernisme’, karena jika definisi diartikan sebagai sesuatu yang bisa disepakati, tunggal, dan bulat; maka kesepakatan, ketunggalan, dan kebulatan itulah yang tidak diinginkan oleh posmodernisme. Yang bisa dilakukan hanyalah mengira-ngira apa yang menjadi ciri-ciri posmodernisme. Hanya dengan membuat pengelompokan, barulah kita dapat menangkap arti atau definisi posmodernisme.
 Posmodernisme memiliki keragaman gerakan, sebagai akibat dari ekses-ekses negatif yang ditimbulkannya. Kategori pertama, adalah gerakan posmodernisnme yang digagas oleh Nietzsche[i], Derrida[ii], Foucault[iii], Vattimo[iv], Lyotard[v], dan lain-lain. Gerakan ini menggagas pemikiran-pemikiran yang banyak berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah “dekonstruksi”. Mereka cenderung hendak mengatasi gambaran dunia (worl-view) modern melalui gagasan yang anti world-view sama sekali. Mereka mendekonstruksi atau membongkar segala unsur yang penting dalam sebuah world-view seperti : diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dst. Awalnya strategi dekonstruksi ini dimaksudkan untuk mencegah kecenderungan totalitarisme pada segala sistem; namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativisme dan nihilisme.[vi]
            Kategori kedua, posmodernisme adalah segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbarui premis-premis modern di sana-sini saja. Di sini, tetap diakui sumbangan besar modernisme seperti : terangkatnya rasionalitas, kebebasan, pentingnya pengalaman, dan sebagainya.[vii] Heidegger hanyalah salah satu posmodernis yang masuk kategori kedua ini. Philoshopy of difference yang dinisbatkan kepada Heidegger mengatakan bahwa segala perbedaan antara kepalsuan dan kebenaran, rasional dan irrasional harus diletakkan di luar jangkauan bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Ini berarti bahwa segala sesuatu yang kita hadapi dalam pengalaman kita di dunia tidak kurang dan tidak lebih dari suatu penafsiran; dan segala sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri sesuai dengan nilai-nilai subjektif dalam diri kita. Di sini yang bermain adalah dunia interpretasi yang berbeda-beda. Philosophy of difference kemudian menjadi asas bagi penolakan terhadap kebenaran transenden.[viii]
Karakter yang sering disuarakan posmodernisme antara lain pluralisme, heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi,demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi (Bertens, 1995: 44).
Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam (1992), terdapat delapan ciri karakter sosiologis posmodernisme.
Pertama, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.
Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dari  sistem indera, organ dan syaraf manusia. Kondisi ini pada gilirannya  menjadikan dunia dan ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan kesalahan perilaku manusia.
Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal memenuhi janji emansipatoris untuk  membebaskan manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Keempatmunculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan masa lampau.
Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju (Negara Dunia Pertama)  atas negara berkembang (Negara Dunia Ketiga).
Keenam, semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era posmodernisme telah turut mendorong proses demokratisasi.
Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya secara ketat pada kelompok budaya tertentu secara eksklusif.
Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam diskursus posmodernisme seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna dan konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992:143-4).
Jika posmodernisme mengatakan keberanan objektif tidak lagi dipercayai sebagai kebenaran absolut, maka mekanisme kebenaran yang bekerja adalah kebenaran subjektif atau relatif. Tidak ada lagi nilai yang diakui sebagai nilai tertinggi. Suatu konsep tidak lagi didasarkan pada sesuatu hal yang bersifat divine dan metafisis. Lalu, dimana posisi agama dalam dunia posmodernisme?
Posisi agama dalam dunia posmodernisme dijelaskan dengan baik oleh Hamid Fahmy Zarkasyi. Menurutnya, agama tidak lagi berhak mengklaim punya kuasa lebih terhadap sumber-sumber nilai yang dimiliki manusia seperti yang telah diformulasikan oleh para filosof. Jadi, agama dipahami sebagai sama dengan persepsi manusia sendiri yang tidak memiliki kebenaran absolut. Oleh sebab itu agama mempunyai status yang kurang lebih sama dengan filsafat dalam pengertian tradisional.[ix] Dari kesalahan epistemologi, posmodernisme kemudian menjadi tantangan berat bagi umat Islam saat ini.
            Tantangan posmodernisme bagi umat Islam semakin berat ketika paham ikutan yang dibawa posmodernisme, kemudian dijadikan sebagai landasan berpikir para sarjana Islam semacam Muhammad Abid al-Jabiri, Mohammad Arkoun, Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, dan lain-lain. Di tangan para sarjana Islam kontemporer ini, posmodernisme berhasil menancapkan pengaruhnya dalam kajian Islam.
Mengapa banyak sarjana Muslim yang tertarik pada rayuan posmodernisme? Dalam sebuah perkualiahan, Nirwan Syafrin Manurung menjelaskan bahwa beberapa faktor yang mendorong para sarjana Islam menggunakan framework posmodernisme dalam kajian Islam; yakni : frustasi atas kemunduran umat Islam dan bangsa Arab pada khususnya, kekalahan bangsa Arab atas Israel pada Perang Enam Hari tahun 1967, frustasi terhadap pemerintah Arab yang semakin otoriter, dan frustasi atas maraknya gerakan kebangkitan Islam.[x] Doktrin-doktrin posmodernisme yang menjadi tantangan berat bagi Islam antara lain :
1. Nihilisme
            Doktrin yang digunakan para posmodernis adalah konsep mereka tentang nilai. Program posmodernisme adalah penghapusan nilai dan penggusuran tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dengan mereduksi makna nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolut oleh agama dan masyarakat.[xi] Nihilisme atau penghapusan nilai (dissolution of value) pertama kali diperkenalkan oleh Nietzsche (1844-1900). Dalam karyanya, Will To Power, Nietzsche menggambarkan nihilisme sebagai situasi dimana “manusia berputar dari pusat ke arah titik X”; artinya, nilai tertinggi mengalami devaluasi dengan sendirinya.[xii]
Nietzsche melakukan penghancuran tatanan nilai lama yang diartikannya sebagai kepalsuan dan kebohongan. Tetapi karena nilai-nilai tradisional itu berkaitan langsung dan tak terpisah dengan agama, Nietzsche memproklamirkan “kematian Tuhan” sebagai peristiwa paling penting zaman ini. Tuhan hanyalah gagasan manusia yang tidak berani mengikuti dorongan daya hidupnya sendiri. Nietzsche secara radikal menyangkal adanya Tuhan bukan berdasarkan pertimbangan filosofis-rasional, melainkan karena dengan adanya Tuhan, ia tidak melihat adanya ruang bagi pengembangan diri manusia; ia menyebutnya dengan sang Manusia Super. Manusia Super hidup bernapaskan semangat kekuasaan, yang telah terbebas dari belenggu sistem nilai dan moralitas lama serta secara bebas mewujudkan “kehendak untuk berkuasa” (Will to power).[xiii]
Heidegger (1889-1976) dengan nada yang sama mendefinisikan nihilisme sebagai “suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa”.[xiv] Bagi Heidegger, tetap ada perbedaan ontologis antara Being (sang Ada) yang sesungguhnya dengan being (para pengada). Artinya, semua hal adalah tentang penafsiran. Itulah sebabnya kebenaran pun harus dilihat sebagai sesuatu yang ambigu. Premis ini dinamakan philoshopy of difference, yang kemudian akan menjadi penghubung antara nihilisme dan hermeneutika (filsafat interpretasi).[xv]
Nietzsche dan Heidegger, keduanya menuju satu titik dimana manusia tidak lagi berpegang pada struktur nilai; nilai tidak lagi mempunyai makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu yang metafisik, religius, ataupun mengandung unsur ketuhanan.[xvi] Hal ini memposisikan posmodernisme vis a vis agama.


2. Relativisme
            Ernest Gellner menyatakan bahwa posmodernisme nampak jelas mendukung paham relativisme. Kebenaran bagi posmodernisme adalah elusive (kabur), subjektif dan internal. Oleh sebab itu mereka tidak bisa menerima ide tentang kebenaran tunggal, eksklusif, eksternal, dan transenden.[xvii]
            Relativisme terutama diusung dan diolah oleh Derrida. Sambil menarik kesimpulan-kesimpulan radikal dari Nietzsche, Husserl, dan Heidegger, lewat post-strukturalisme, ia sampai pada gagasan, bahwa pada akhirnya bahasa dan kata-kata adalah kosong belaka, dalam arti mereka sebetulnya tidak menunjuk pada sesuatu apa pun selain pembedaan (differance) : pembedaan arti yang dimungkinkan oleh system lawan kata. ‘Makna’, tiada lain adalah permainan semiologik, permainan tanda-tanda. Dengan cara ini, maka yang biasa disebut ‘kenyataan’, ‘ada’, atau ‘kebenaran’, misalnya, lenyap. Dari sini, maka diskursus dibawa ke arah pentingnya hermeneutika yang membawa segala persoalan pada wilayah dialog.[xviii] Akibatnya,kebenaran itu relative, tergantung kepada pendirian subjek yang menentukan. Doktrin ini mempengaruhi pemikiran cendekiawan Muslim dari tingkat mahasiswa hingga dosen, sehingga kini banyak yang hanyut dengan menyatakan bahwa “kebenaran itu relative”, “kita tidak dapat mengetahui kebenaran absolute, yang absolute hanya Tuhan”, dan sejenisnya.
            Atmosfir pemikiran posmodernisme dengan doktrin subjektifitas dan relativisme kebenaran ini adalah salah satu faktor penting bagi lahirnya paham pluralisme dan pluralisme agama. Paham ini diusung oleh liberalisme. 
3. Pluralisme
            Pluralisme merupakan ‘dampak bawaan’ atau konsekuensi logis dari doktrin subjektivitas dan relativisme. Lagi-lagi Derrida menyumbangkan kerangka berpikir pluralisme. Konsepnya tentang ‘Differance’ berbicara mengenai penolakan terhadap adanya petanda absolute atau ‘makna absolut’, ‘makna transendental’, dan ‘makna universal’. Penolakan ini mesti dilakukan, dan menurut Derrida sudah pasti terjadi, karena dengan adanya proses ‘Differance’ tadi, apa yang dianggap sebagai petanda absolute akan selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada saja celah antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah inilah yang menyebabkan pencarian makna absolute mustahil dilakukan. Setelah kebenaran ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak kebenaran lain yang ada di belakangnya.[xix]
            Hal ini dibenarkan oleh Oxford Dictionary of Philosophy. ‘Pluralisme’ adalah teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran. Ia terkadang juga dipahami sebagai doktrin yang berpandangan bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. Definisi ini kemudian diaplikasikan pada agama, sehingga muncullah pluralisme agama.
            John Hick memberikan definisi yang fenomenal, yang menjadi rujukan oleh kalangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Menurutnya, pluralisme agama adalah :
“…the view that the great world faiths embody different perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways of being human; and that within each of them the transformation of human existence from self-centredness to Reality centredness is manifestly taking place—and taking place, so far as human observation can tell, to much the same extent.”[xx]
Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah “manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu”. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Dengan gagasan ini, maka masing-masing agama mempunyai metode, jalan, atau bentuk untuk mencapai “Tuhan”.
Paham semacam itu jelas menolak kebenaran eksklusif akidah Islam dan menyamakan Islam dengan semua agama. Maka, sudah tepat rumusan yang dibuat MUI mengenai ‘pluralisme agama’ dan status hukumnya, sebagai paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi kaum Muslim untuk memeluk paham semacam itu.[xxi] 
4. Liberalisme
                        Paham liberalisme berawal dari kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir, berarti berpusat pada kebebasan individu, yang memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi.[xxii]
Liberalisme dianggap bersikap positif terhadap manusia, kemampuan dan kesempurnaannya. Manusia dianggap makhluk yang terus berkembang sifatnya, pemahaman dan moralitasnya. Manusia, karena itu, dianggap mampu menentukan kehidupan mereka sendiri dan karena itu segala perbuatan manusia adalah milik individu yang tidak boleh dicampuri oleh lembaga atau orang lain. Liberalisme menekankan pada hak-hak individu, menentang kekuasaan dan otoritas resmi. Di sini pengaruh Barat modern dan postmodern yang individualistis begitu nyata dan radikal. Karena radikalnya itu mereka percaya bahwa manusia mampu menjadikan segala sesuatu menjadi lebih baik. Semua ini mengawali upaya pemarjinalan agama atau memisahkan agama dari urusan sosial dan politik secara perlahan-lahan. Agama tidak diberi tempat di atas kepentingan sosial dan politik. Sama seperti yang terjadi ketika liberalisme didesakkan ke dalam pemikiran keagamaan Katholik dan Protestan, ia telah mensubordinasikan Islam di bawah kepentingan politik dan humanisme, terjadilah sekularisme di tubuh Islam, yang dibawa oleh agen-agennya.[xxiii]
Liberalisme yang didesakkan ke dalam pemikiran keagamaan Islam telah mendestruksi dan mendistorsi konsep-konsep yang diyakini oleh umat Islam sebagai konsep yang sudah pakem, selain dengan mendistorsi sejarah Islam dan umat Islam.
Islam kemudian banyak dimaknai hanya dengan makna generic atau makna bahasa sebagai “tindakan pasrah kepada Tuhan” (submission to God) tanpa melihat, bagaimana cara pasrah kepada Tuhan itu – apakah kepasrahan kepada Tuhan itu menggunakan ajaran Nabi Muhammad SAW atau bukan. Upaya dekonstruksi makna Islam sebenarnya merupakan bagian dari upaya dekonstruksi istilah-istilah atau konsep-konsep kunci dalam Islam. Jika makna Islam didekonstruksi, maka akan terdekonstruksi juga makna “kafir”, “murtad, “munafik”, “al-haq”, “dakwah”, “jihad”, dan lain-lain.[xxiv]
Banyak cendekiawan Muslim yang akhirnya termakan paham relativisme, yang mengakibatkan kerusakan struktur ilmu pengetahuan dalam Islam. Bahkan agama Islam itu sendiri sudah tidak ada artinya apa-apa lagi karena hanya merupakan agama yang benar secara relatif.
Selain menanamkan doktrin relativisme, langkah liberalisasi yang paling strategis adalah melakukan kritik terhadap al-Qur’an yang merupakan sumber kekuatan Islam. Dengan menerapkan biblical criticism dalam studi Al-Qur’an, para orientalis melontarkan berbagai pendapat yang kontroversial mengenai al-Qur’an seperti : al-Qur’an telah mengalami berbagai penyimpangan, standardisasi al-Qur’an disebabkan rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan, Utsman bin Affan salah karena telah mengkodikasi al-Qur’an, al-Qur’an ditulis bukan dengan bahasa Arab tetapi bahasa Aramaik, al-Qur’an adalah karangan Muhammad, terdapat sejumlah kesalahan dalam penulisan al-Qur’an, tidak ada dalam al-Qur’an yang orisinal dan berasal dari langit karena wujudnya pengaruh Yahudi-Kristen yang sangat dominan dalam al-Qur’an, menyamaratakan qira’ah mutawatirah dengan qira’ah shadhdhah, merubah kata dan kalimat dalam al-Qur’an dan lain sebagainya. Dari hasil kajian kritis tersebut kesimpulannya adalah perlunya diwujudkan al-Qur’an edisi kritis.[xxv]
Dan masih banyak lagi upaya liberalisasi terhadap pemikiran Islam. Ambil contoh penyebaran feminisme dan gender dan mendekonstruksi syariah. Kalangan liberal bahkan sudah berani menghalalkan perilaku homoseksual dan lerbian, dengan landasan berpikir feminisme radikal yang menuntut kesamaan laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kepuasan seksualnya masing-masing. Kemudian tafsir diseret-seret dalam upaya penghalalan ini dengan melakukan kritik dan reaktualisasi terhadap tafsir mengenai kisah Nabi Luth dan konsep pernikahan.[xxvi]
Dekonstruksi syariah juga gencar dilakukan oleh kalangan liberal. Maslahah dijadikan kuda hitam. Biasanya mereka melontarkan argument bahwa karena tujuan ditetapkannya hukum Islam adalah untuk menciptakan maslahah kepada umat manusia maka maqasid syariah lebih utama daripada syariah. Selain itu, kaidah usuliyah al-ibratu bi umumillafz, la bi khususi al-sabab dibalik menjadi al-ibratu bi khususi al-sabab la umumillafz. Jadi mereka ingin mengatakan bahwa perintah dan larangan dalam al-Qur’an itu harus dipahami dalam konteks budaya ketika ia diturunkan.[xxvii]
LIberalisasi pemikiran keagamaan Islam yang akhir-akhir ini mendapatkan momen euforianya, bukanlah sebuah tajdid atau pembaruan, tapi melainkan tak lebih dari upaya membebek atau mengadopsi secara membabi-buta terhadap tradisi intelektual Barat yang dekonstruksionis dan dekstruktif. Oleh karena itu, umat Islam harus mempertahankan dan mengembangkan tradisi keilmuan yang bersumber dari al-Qur’an, Sunnah, dan warisan tradisi intelektual Islam.
Wallahu ‘alam bishshawwab                                   

*Penulis adalah Alumni Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta dan aktivis InPAS
                                                                                                                                           





[i]Lihat Friedrich Nietzsche, Will To Power, Terj. Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale, diedit oleh Walter Kaufmann, New York, Vintage Books, 1968, dikutip dari Hamid Fahmy Zarkasy, Liberalisasi Pemikiran Islam : Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, (Ponorogo : CIOS-ISID-Gontor, 2008), hal. 14.

[ii] Lihat Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Derrida, terj, (Yogyakarta : Ar-Ruz Media, 2009), hal. 7.

[iii] Ibid.,

[iv] Ibid.,

[v] Ibid.,

[vi] I. Bambang Sugiharto, Postmodernime : Tantangan Bagi Filsafat, (Kanisius : Yogyakarta : 1996), hal. 30-31.


[vii] Ibid., hal. 30.


[viii] Hamid Fahmy Zarkasy, Liberalisasi Pemikiran Islam : Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, (CIOS-ISID-Gontor : Ponorogo, 2008), hal. 14.

[ix] Hamid Fahmy Zarkasy, op.cit., hal. 19.

[x] Slide perkuliahan yang dipresentasikan oleh Nirwan Syafrin Manurung pada mata kuliah Pemikiran Islam Kontemporer di Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada tanggal 6 Februari 2010.

[xi] Lihat Geovani Vattimo, The End of Modernity, Terj dan Pengantar oleh John R. Snyder, (Polity Press & Blackwell Publisher, 1988), dikutip dari Hamid Fahmy Zarkasy, “Agama dalam Pemikiran Barat Modern dan Post-Modern”, Jurnal Islamia Thn I No. 4/Januari-Maret 2005, hal. 39.


[xii] Ibid.,


[xiii] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Zaman Yunani Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta : Kanisius, 1997), hal. 197-198.

[xiv] Friedrich Nietzsche, The Will To Power, Terj. Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale, diedit oleh Walter Kaufmann, New York, Vintage Books, 1968, hal. 8-9, dikutip dari Ibid.,

[xv] I. Bambang Sugiharto, Postmodernime, hal. 75.

[xvi] Hamid Fahmy Zarkasy, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 15.

[xvii] Ibid., hal. 18.

[xviii] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, hal. 37.

[xix] Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi Derrida, hal. 11.

[xx] John Hick, An Interpretation of Religion : Human Responses to the Transcendent, (London : Macmillan, 1989), reprinted 1991, hal. 3-5, dikutip dari Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama : Tinjauan Kritis, (Jakarta : Penerbit Perspektif, 2005), hal. 15.

[xxi] Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama & Diabolisme Intelektual, (Surabaya : Risalah Gusti, 2005), hal.18.

[xxii] Lihat Simon Blackburn, Oxford Dictionary and Philosophy, (Oxford : Oxford University Press, 1996), v.s. liberalism.

[xxiii] Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 36.

[xxiv] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat : Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005), hal. 352.

[xxv] Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an : Kajian Kritis, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005).

[xxvi] Lihat Ahmad Khairul Umam et al, Indahnya Kawin Sesama Jenis, Demokratisasi dan Perlindungan Hak-Hak Kaum Homoseksual, Buku Hasil kumpulan artikel di Jurnal Justisia, IAIN Walisongo Semarang.

[xxvii] Ulil Abshar Abdalla dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, (Jakarta : Gramedia, 2009).

Jangan Lupa Kunjungi!

Minggu, 02 Desember 2012

“Memperjelas Posisi Hamka soal Pluralisme Agama”


“Memperjelas Posisi Hamka soal Pluralisme Agama”


Oleh: Dr. Adian Husaini


BELUM  lama, pada 20 Maret 2012, salah satu peneliti INSISTS, Akmal Syafril, ST., M.Pd.I., menerbitkan bukunya yang berjudul Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme.  Buku ini sebenarnya merupakan Tesis Master Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Penerbitan buku ini sangat penting untuk menjernihkan dan mempertegas pemikiran Buya Hamka tentang Pluralisme Agama.


Menurut penulisnya, pada awalnya penulisan buku ini bersumber dari sebuah makalah yang dibuatnya saat sedang mengikuti studi di Program Pascasarjana Pendidikan Islam Universitas Ibn Khaldun (UIKA), Bogor. Isinya mengulas sebuah artikel karya Ahmad Syafii Maarif yang dimuat di Rubrik Resonansi, surat kabar Republika, edisi 21 November 2006, yang diberi judul “Hamka Tentang Ayat 62 Al-Baqarah dan Ayat 69 Al-Maidah”. 

Sebagian besar isinya adalah kutipan-kutipan dari Tafsir Al Azhar karya Buya Hamka. Di bagian awalnya, Syafii Maarif menjelaskan alasan di balik penelitiannya terhadap kedua ayat ini: “Pada suatu hari bulan November 2006 datanglah sebuah pesan singkat dari seorang jenderal polisi yang sedang bertugas di Poso menanyakan tentang maksud ayat 62 surat al-Baqarah.  Kata jenderal ini pengertian ayat ini penting baginya untuk menghadapi beberapa tersangka kerusuhan yang ditangkap di sana.”

Di antara berbagai kutipan Tafsir Al Azhar dari artikel tersebut, inilah salah satunya yang nampaknya paling penting: “Inilah janjian yang adil dari Tuhan kepada seluruh manusia, tidak pandang dalam agama yang mana mereka hidup, atau merk apa yang diletakkan kepada diri mereka, namun mereka masing-masing akan mendapat ganjaran atau pahala di sisi Tuhan, sepadan dengan iman dan amal shalih yang telah mereka kerjakan itu.”

Setelah menjelaskan bahwa Hamka menolak pendapat yang menyatakan bahwa ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah telah di¬-nasakh oleh ayat ke-85 dalam Surah Ali ‘Imran, Syafii Maarif pun memungkas artikelnya dengan opini berikut: “Sikap Hamka yang menolak bahwa ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Maidah telah dimansukhkan oleh ayat 85 surat Ali ‘Imran adalah sebuah keberanian seorang mufassir yang rindu melihat dunia ini aman untuk didiami oleh siapa saja, mengaku beragama atau tidak, asal saling menghormati dan saling menjaga pendirian masing-masing.  Sepengetahuan saya tidak ada Kitab Suci di muka bumi ini yang memiliki ayat toleransi seperti yang diajarkan Al-Quran.  Pemaksaan dalam agama adalah sikap yang anti Al-Quran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99).”

Memang, setelah keluarnya tulisan Syafii Maarif tersebut, terjadi perdebatan yang cukup seru di Rubrik Opini Harian Republika. Saya pun segera menulis artikel yang menjawab artikel Syafii Maarif tersebut. Intinya, saya menegaskan, bahwa Buya Hamka sama sekali bukan seorang Pluralis Agama. Perlu dicatat, bahwaPluralisme Agama, dalam CAP ini adalah paham yang  menyatakan bahwa semua agama merupakan jalan yang sah menuju inti realitas keagamaan. Dalam Pluralisme agama, tidak ada satu agama yang merasa superior dibanding yang lain. Tapi, setiap agama dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah menuju kebenaran dan Tuhan (In pluralism, no one religion is superior to any other; each and every religion is equally valid way to truth and God). (Alister E. Mcgrath, Christian Theology: an Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994).

Menurut Akmal, dalam makalahnya, ia mengaku menemukan beberapa kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh Syafii Maarif dalam pengutipan Tafsir Al Azhar tersebut, terlepas dari ada-tidaknya unsur kesengajaan.
Kesalahan pertama,  adalah perihal penggunaan kedua ayat tersebut yang jauh dari konteks aslinya. Syafii Maarif – dan sang Jenderal Polisi yang berkonsultasi dengannya – menganggap bahwa kedua ayat ini dapat digunakan untuk menanggulangi konflik horizontal di Poso. Dari paragraf kesimpulan yang ditulis oleh Syafii Maarif sebelumnya, kita dapat memahami bahwa konflik horizontal yang dimaksud adalah konflik antar umat beragama. Karena digali dari al-Qur’an, maka dapat dipahami pula bahwa penelaahan ini digunakan untuk meredam keinginan sementara pihak di kalangan umat Muslim untuk melakukan kekerasan pada umat lain.

Padahal, tegas Akmal, jika Tafsir Al Azhar dibaca secara runut, akan ditemukan asbabun nuzul dari ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah itu, yakni untuk menjawab pertanyaan Salman al-Farisi r.a. seputar orang-orang sholeh yang dijumpainya di masa lampau, sedangkan orang-orang tersebut beragama Nasrani, Yahudi dan lain-lain. Kesalahan kontekstual ini akan terlihat jelas kemudian.

Kesalahan kedua disebabkan oleh kelengahan Syafii Maarif untuk melacak penjelasan nama-nama agama “Yahudi”, “Nasrani” dan “Shabi’in” dalam Tafsir Al Azhar. Padahal, Buya Hamka sudah menjelaskan masalah ini. Menurut Hamka, “Yahudi” (berasal dari nama Yehuda, salah satu anak Nabi Ya’qub as) pada hakikatnya adalah agama-keluarga, “Nasrani” (berasal dari nama Nashirah, yaitu daerah kelahiran Nabi ‘Isa as) pada hakikatnya adalah agama-bangsa, dan “Shabi’in” adalah nama yang diberikan bagi orang yang keluar dari agama nenek moyangnya, sehingga Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam pun pernah disebut sebagai shabi’.

Dengan definisi tersebut, maka orang yang terlanjur dikenal sebagai Yahudi, Nasrani dan Shabi’in di masa lampau (yaitu sebelum masa kenabian Rasulullah saw) bisa beriman dan tak beriman. Contoh yang dapat diambil adalah Pendeta Bahira. Sejarah mengenalnya sebagai tokoh yang pertama kali membenarkan kenabian Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam berdasarkan tanda-tanda yang diketahuinya dari Injil, dan oleh karena itu, ia dikategorikan sebagai orang yang beriman.

Meski demikian, Bahira tetaplah dikenal sebagai penganut agama Nasrani, karena memang ia tidak sempat mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Tentu saja, Bahira dapat dianggap sebagai Nasrani yang beriman hanya karena ia hidup pada masa pra-kenabian Rasulullah saw. Jika ia sempat bertemu dengan dakwah Rasulullah, tentu ia harus mengucap syahadatain, dan hanya dengan cara itulah ia bisa dianggap sebagai orang yang beriman. Hal ini akan semakin jelas pada poin berikutnya.

Kesalahan ketiga – mungkin yang paling fatal – adalah tidak dicantumkannya sebuah paragraf penting yang dapat ditemukan di akhir penjelasan ayat ke-62 dalam Surah al-Baqarah dalam Tafsir Al Azhar yang justru menyimpulkan pendapat Buya Hamka yang sebenarnya secara utuh. Penjelasannya adalah sebagai berikut: “Yahudi dan Nasrani sudah sepatutnya terlebih dahulu percaya kepada kerasulan Muhammad apabila keterangan tentang diri beliau telah mereka terima. Dan dengan demikian mereka namanya telah benar-benar menyerah (Muslim) kepada Tuhan. Tetapi kalau keterangan telah sampai, namun mereka menolak juga, niscaya nerakalah tempat mereka kelak.”

Umumnya, kesimpulan dari sebuah uraian ilmiah, termasuk penafsiran al-Qur’an, dapat dijumpai di bagian akhirnya. “Dengan menyimak betapa pentingnya penjelasan di atas, kita pun bertanya-tanya mengapa Syafii Maarif justru memilih untuk meninggalkan penjelasan ini, yang – jika dicantumkan – akan segera menghapus kesan pluralis dari sosok Buya Hamka dalam artikel tersebut?” tulis Akmal, yang sebelumnya sudah dikenal sebagai penulis buku “Islam Liberal 101”. .

Opini dan kesan bahwa ‘Buya Hamka seorang pluralis’, bagaimana pun, telah terlanjur bergulir. Hanya berselang enam hari dari dimuatnya artikel Syafii Maarif tentang Tafsir Al Azhar di surat kabar Republika, Ayang Utriza NWAY menyampaikan makalahnya dalam acara diskusi publik bertajuk Islam dan Kemajemukan di Indonesia. Diskusi publik tersebut diadakan sebagai rangkaian kegiatan dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture di sebuah Perguruan Tinggi di Banten. Makalah yang dibawakannya berjudul “Islam dan Pluralisme di Indonesia: Pandangan Sejarah”. Dalam makalahnya, Ayang bahkan telah melangkah lebih jauh lagi daripada Syafii Maarif. Setelah mengutip beberapa poin dalam Tafsir Al Azhar – lagi-lagi untuk QS. al-Baqarah [2]: 62 – Ayang menyimpulkan:

“Ini berarti bahwa walaupun seseorang mengaku beragama Islam, yang hanya bermodalkan dua kalimat syahadat, tetapi tidak pernah menjalankan rukun Islam, maka ia tidak akan pernah mendapat ganjaran dari Allah, yaitu surga.  Sebaliknya jika ada non-Muslim yang taat dan patuh menjalankan ajaran agamanya, walaupun tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka dia akan mendapatkan ganjaran dari Allah: surga.”

Menurut Akmal, tidaklah sulit menunjukkan kesalahan (untuk tidak menyebutnya ketidakjujuran) fatal yang dilakukan oleh Ayang Utriza NWAY.  Saya pribadi (Adian Husaini) juga menemukan tulisan Ayang Utriza yang menfitnah Buya Hamka dalam buku Bayang-bayang Fanatisisme: Esei-esei untuk Mengenang Nurcholish Madjid, (Jakarta: Universitas Paramadina, 2007). Kutipan makalah Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina itu dimuat di halaman 307.

Saya sudah menulis jawaban terhadap tulisan Ayang tersebut untuk buku 100 Tahun Buya Hamka. Bahkan, saat bertemu keluarga Hamka, saya sampaikan keprihatinan saya tentang tulisan-tulisan yang menfitnah Buya Hamka.  Akan tetapi, meskipun artikel dan makalah sudah kita tulis di berbagai media massa, tetap saja pendapat yang mengutip tulisan Buya Hamka secara tidak proporsional juga terus berkeliaran. Bahkan, hingga kini, tak ada koreksi terhadap kekeliruan yang sudah dilakukan.

Dalam kaitan itulah, hadirnya buku Akmal ini menjadi penting. Fungsinya, untuk memperjelas posisi Hamka dalam soal Pluralisme Agama dan membentengi upaya orang-orang yang mengutip tulisan Hamka secara tidak proporsional atau bahkan memuarbalikkan makna tulisan Hamka yang sebenarnya. Menurut Akmal, itulah yang mendasarinya mengembangkan makalahnya menjadi sebuah Tesis dengan judul Studi Komparatif Antara Pluralisme Agama dengan Konsep Hubungan Antar Umat Beragama dalam Pemikiran Hamka. Sesuai dengan judulnya, tesis ini tidak hanya membahas kontroversi dari artikel Syafii Maarif dan makalah Ayang Utriza NWAY belaka, melainkan mengupas tuntas jawaban dari sebuah pertanyaan besar: apakah Buya Hamka memang seorang pluralis? Buku Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme merupakan hasil adaptasi dari tesis tersebut.

Persoalan paling fundamental yang pasti muncul ketika membahas pluralisme, sebagaimana dijelaskan oleh Anis Malik Thoha dalam bukunya Tren Pluralisme Agama, adalah mendefinisikan makna Pluralisme itu sendiri. Masing-masing pihak yang mengusung pluralisme memiliki konsepnya sendiri-sendiri, bahkan tidak jarang orang menulis sebuah makalah atau buku tentang pluralisme tanpa pernah memberikan definisi pluralisme itu. Oleh karena itu, buku ini pun menguraikan secara mendalam persoalan definisi pluralisme, sejarah pluralisme dan tren-tren pluralisme yang ada. Hal-hal ini dijabarkan di dalam bab ketiga.

Setelah menjelaskan tren-tren tersebut, bab keempat dalam buku ini menguraikan argumen-argumen yang digunakan oleh kaum pluralis dari kalangan Muslim, terutama dengan bersandar pada sejumlah ayat al-Qur’an. Pembahasan ini cukup penting, selain karena posisi sentral al-Qur’an dalam ajaran Islam, juga karena tokoh yang pemikirannya sedang dibahas – yaitu Buya Hamka – adalah seorang mufassir. Dengan memperbandingkan penafsiran Hamka dengan penjelasan ayat-ayat tersebut oleh kaum pluralis Muslim, kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas mengenai persamaan dan/atau perbedaan cara berpikir keduanya.
Karena pada masa hidup Buya Hamka dahulu istilah “pluralisme” belum dikenal, maka penulis buku ini merasa perlu menguraikan konsep hubungan antar umat beragama menurut Hamka ke dalam beberapa poin penting. Poin-poin ini merupakan hal-hal yang sangat fundamental dalam gagasan pluralisme, misalnya konsep agama, posisi Islam di antara agama-agama lainnya, pandangan seputar aliran-aliran yang menyimpang, pengejawantahan toleransi beragama, dan sebagainya.

Sebagai contoh, seorang pluralis pasti menganggap Islam sejajar dan tidak lebih unggul daripada agama lainnya. Siapa pun yang berpikiran seperi itu, maka ia memang seorang pluralis. Tetapi Hamka tidak berpikiran seperti itu. Referensi yang telah ditinggalkan oleh Hamka begitu berlimpah, sehingga usaha pencarian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidaklah sulit untuk dilakukan.

Walhasil, di tengah carut-marutnya pemikiran di Indonesia dewasa ini, buku Buya Hamka: Antara Kelurusan ‘Aqidah dan Pluralisme karya Saudara Akmal ini cukup memberikan penjelasan tuntas seputar kesemrawutan konsep pluralisme. Karya ini diharapkan mampu merangsang kembali minat para pemuda Muslim untuk menggali kembali warisan intelektual dari Buya Hamka, dan juga dari para cendekiawan Muslim terdahulu lainnya.

“Adapun seputar ‘klaim pluralisme’ terhadap pribadi Hamka, insya Allah mereka yang sudah tuntas membaca buku ini tidak akan memiliki keraguan lagi,” tulis Akmal yang menyelesaikan sarjana S-1 nya di bidang civil engineering di Institut Teknologi Bandung.


Semoga bermanfaat, dan kita menunggu terus karya-karya ilmiah yang bermutu dari para pejuang Islam lainnya.*/Jakarta, 20 April 2012



Penulis Ketua Program Studi Pendidikan Islam—Program Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor).Catatan Akhir Pekan (CAP) bekerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan hidayatullah.com

Dapatkan Bukunya sekarang juga:

Harga Buku Rp60.000,- (belum onkir)
Beli SEKARANG!
Hubungi Nurkholis di 085731787550 (m3) ato
                                        082131840124 (simpati)

Lihat juga:
MISYKAT: REFLEKSI TENTANG ISLAM, WESTERNISASI & LIBERALISASI