Translate

Lazada.com

Minggu, 22 Desember 2013

TAWASSUL

Tulisan ini dinukil dari buku Mafahim Yajibu an Tushahhah (Pemahaman Yang Harus Diluruskan) karya Prof. Dr. Allamah as-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani



Pengertian Tawasul

Banyak orang keliru dalam memahami hakikat tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya, akan kami jelaskan dulu beberapa poin penting berikut ini, Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah Subhānahu wa ta’āla. Yang menjadi tujuan doa sesungguhnya adalah Allah, bukan makhluk. Sedangkan objek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik.

Orang yang melakukan tawassul sebenarnya tidaklah bertawassul dengan menggunakan perantara kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah mencintai perantara tersebut. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.

Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah, atau meyakini bisa mendatangkan manfaat tanpa izin-Nya, maka ia menjadi musyrik.

Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya doa  tidaklah ditentukan dengan tawassul. Dan sesungguhnya, doa yang dikabulkan justru ditentukan oleh doa kepada Allah secara mutlak, sebagaimana firman Allah,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. al-Baqarah: 186).

Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا  
Katakanlah, "Serulah Allah atau serulah al-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al-Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua hal itu. (QS. al-Isra’: 110).



Bentuk Tawasul Yang Disepakati Ulama

Tidak ada seorang pun kaum Muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, shalat, membaca al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, shalat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk  diterima dan dikabulkan keinginannya. Tidak ada yang mengingkari hal ini.

Dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka. Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qā’idah Jalilah fīt Tawassul wal Wasīlah”.

Aspek yang Menjadi Titik Perbedaan
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul di kalangan kaum Muslimin terletak pada persoalan hukum tawassul dengan selain amal shalih. Seperti tawassul dengan benda. Misalnya dengan mengatakan: “Ya Allah, aku bertawassul dengan keagungan Nabi-Mu Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, atau dengan Abu Bakar, ‘Umar bin Khaththab, ‘Utsman, atau Ali radhiallāhu ‘anhu. Tawassul model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama. Kami memandang bahwa pro-kontra tentang hukum tawassul seperti itu tidak menyentuh substansi atau sesuatu yang paling inti. Karena tawassul dengan dzat (benda) pada dasarnya berasal dari tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya. Tawassul yang begini yang telah disepakati, merupakan hal yang diperbolehkan. Seandainya orang yang keras kepala menolak tawassul melihat persoalan dengan mata hati jernih, niscaya persoalan menjadi jelas, kerumitan persoalan bisa terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat pun akan hilang.

Di sini, saya akan menjelaskan, bahwa sesungguhnya orang yang tawassul dengan menggunakan perantara orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya.  Dan amal perbuatannya tersebut termasuk hasil usahanya sendiri. Saya katakan, ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan perantara siapa pun itu semata karena ia mencintai perantara tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian, dan keutamaan orang yang ditawasuli tersebut, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan perantara dalam tawassul itu orang yang mencintai Allah Subhānahu wa ta’āla, yang berjihad di jalan Allah. Atau karena ia meyakini bahwa Allah Subhānahu wa ta’āla mencintai orang yang dijadikan media tawassul itu, sebagaimana firman Allah,
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. (QS. al-Ma’idah: 54).

atau karena sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang dijadikan objek tawassul. Jika Anda mencermati persoalan ini dengan baik, maka Anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang telah melekat dalam hatinya yang dinisbatkan kepada dirinya. Dia akan mempertanggungjawabkannya dan akan mendapat pahala karenanya. Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepada-Mu dan berjihad di jalan-Mu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridla terhadapnya. Maka saya bertawassul untuk menuju kepada-Mu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau mengabulkan permonanku”. Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan secara rinci ungkapan ini dan merasa cukup dengan keyakinan bahwa Allah Maha Tahu terhadap segala hal di alam ini, dan mengetahui apa yang tampak di depan mata maupun hal yang samar. Dia Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersembunyi sekali pun.

Orang yang berkata, “Ya Allah, saya bertawassul menuju kepada-Mu dengan perantara keagungan Nabi-Mu”, itu sebenarnya sama dengan orang yang mengatakan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan menggunakan perantara rasa cintaku kepada Nabi-Mu.” Sebab, orang yang bertawassul dengan menggunakan kalimat yang  pertama tadi tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada, maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.

Berangkat dari paparan di atas, maka jelaslah bahwa pro-kontra masalah tawassul sesungguhnya hanya berkutat pada persoalan kulit, bukan substansial, yang semestinya tidak berdampak perpecahan dan perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam.


Dalil-Dalil Tawasul Yang Dipraktekkan Kaum Muslimin

Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (perantara) untuk menuju kepada-Nya. (QS. al-Ma’idah: 35).

Wasīlah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah sebagai faktor untuk mendekatkan kepada-Nya dan sebagai media untuk menuju kepada Allah. Karena itu, perantara yang dijadikan media wasīlah itu mesti memiliki kedudukan dan kemuliaan di hadapan Allah.
Lafadz al-wasīlah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaimana Anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan orang-orang shalih baik di dunia maupun sesudah mati. Dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan ketentuannya. Bahkan, amal shalih yang telah dikerjakan juga dapat dijadikan sebagai wasīlah.

Berikut ini, terdapat beberapa hadits dan atsar sahabat (perkataan sahabat Nabi) yang menjelaskan keumuman dalil tawassul di atas. Dengan mencermati dalil-dalil tersebut, maka Anda akan bisa melihat bahwa telah terjadi tawassul dengan perantaraan Nabi sebelum beliau wujud di dunia dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah dibangkitkan di hari kiamat.


Tawasul dengan Nabi Muhammad Sebelum Kelahirannya di Dunia

Nabi Adam pernah bertawassul dengan Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam . Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam ‘alaihi al-salām  bertawassul dengan keagungan Nabi Muhammad. Dalam kitab al-Mustadrak, Imam al-Hakim berkata, “Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad al-‘Adlu menceritakan kepadaku, Abu al-Hasan Muhammad bin Ishak bin Ibrahim al-Handhari menceritakan kepadaku, Abu al-Harits ‘Abdullah bin Muslim al-Fihri menceritakan kepadaku, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari ‘Umar radhiallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ قَالَ : يَا رَبِّ ! أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ لِيْ, فَقَالَ اللهُ : يَاآدَمُ ! وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ؟ قَالَ : يَا رَبِّ ! لِأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِيْ بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِيْ فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ, فَعَلِّمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ إِلَى اسْمِكَ إِلاَّ أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ : صَدَقْتَ يَاآدَمُ, إِنَّهُ لَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ, أُدْعُنِيْ بِحَقِّهِ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam melakukan kesalahan, ia  berkata, “Ya Tuhanku, Aku mohon kepada-Mu dengan keagungan Nabi Muhammad agar Engkau mengampuniku.” Allah berkata, “Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya.” “Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuasaan-Mu dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku mengangkat kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa Ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan nama-Mu kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. Kemudian Allah berfirman, “Benar kamu wahai Adam. Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdoalah kepada-Ku dengan hakknya Muhammad, maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu.”

Hadits tersebut di atas diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak dan ia menilai sebagai hadits shahih (vol. II hlm. 615). Al-Hafidz al-Suyuthi juga meriwayatkan hadis tersebut dalam kitab al Khashāis al-Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam al-Baihaqi mmeriwayatkanya dalam kitab Dalāil Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia  jelaskan dalam pengantar kitabnya. Kemudian Imam al-Qasthalani dan al-Zarqani dalam al-Mawāhib al-Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih (vol. I hlm. 62). Imam al-Subuki dalam kitabnya Syifāu al-saqām juga menilainya sebagai hadits shahih. Al-Hafidz al-Haitami berkata, “Al-Tabbarani meriwayatkan hadits di atas dalam al-Awsath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.” (Majma al-Zawāid vol. 8 hlm. 253). Juga terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi, 
فَلَوْ لاَ مَحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلاَ الْجَنَّةَ وَلاَ النَّارَ
Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, surga, dan neraka. (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih). Syaikhul Islam al-Bulqini dalam Fatawi-nya juga menilai hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam al-Wafā pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidāyah vol. 1 hlm. 180.

Sebagian ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya, dan memvonisnya sebagai hadits palsu (maudhu’) seperti Imam al-Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya sebagai hadits dha’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits mungkar. Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.


Bukti-Bukti Dalil dari Hadits Nabi tentang Tawasulnya Nabi Adam

Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits dan menjadikan keduanya sebagai argumentasi. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, 

قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! مَتَى كُنْتَ نَبِيًّا , قَالَ : لَمَّا خَلَقَ اللهُ الْأَرْضَ وَاسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ, وَخَلَقَ الْعَرْشَ كَتَبَ عَلَى سَاقِ الْعَرْشِ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ, وَخَلَقَ اللهُ الْجَنَّةَ الَّتِيْ أَسْكَنَهَا آدَمَ وَحَوَاءَ فَكَتَبَ إِسْمِيْ عَلَى الْأَبْوَابِ وَالْأَوْرَاقِ وَالْقِبَابِ وَالْخِيَامِ, وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوْحِ وَالْجَسَدِ, فَلَمَّا أَحْيَاهُ اللهُ تَعَالَى نَظَرَ إِلَى الْعَرْشِ فَرَأَى إِسْمِيْ فَأَخْبَرَهُ اللهُ إِنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِكَ, فَلَمَّا غَرَّهُمَا الشَّيْطَانُ تَابَا وَاسْتَفْشَعَا بَإِسْمِيْ إِلَيْهِ
Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘Arsy maka Allah menulis di atas kaki ‘Arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan surga yang ditempati oleh Adam dan Hawa. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘Arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang tercatat pada ‘Arsy) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawa’ terpedaya oleh setan, keduanya bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.

Abu Nu’aim al-Hafidz meriwayatkan dalam kitab Dalāilu al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khattab, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَمَّا أَصَابَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ : يَا رَبِّ ! بِحَقِّ مُحَمَّدٍ إِلاَّ غَفَرْتَ لِيْ, فَأَوْحَى إَلَيْهِ : وَمَا مُحَمَّدٌ وَمَنْ مُحَمَّدٌ؟ فَقَالَ : يَا رَبِّ ! إِنَّكَ لَمَّا أَتْمَمْتَ خَلْقِيْ رَفَعْتُ رَأْسِيْ إِلَى عَرْشِكَ فَإِذًا عَلَيْهِ مَكْتُوْبٌ : لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ, فَعَلِمْتُ أَنَّهُ أَكْرَمُ خَلْقِكَ عَلَيْكَ إِذْ قَرَنْتَ إِسْمَهُ مَعَ إِسْمِكَ, فَقَالَ : نَعَمْ, قَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَهُوَ آخِرُ الْأَنْبِيَاءِ مِنْ ذُرِّيَّتِكَ, وَلَوْ لاَهُ مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah ‘Arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau yang paling mulia di sisi-Mu karena Engkau merangkai namanya dengan nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.” Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya seperti menafsirkan beberapa hadits shahih lainnya (al-Fatawa, vol. II hlm. 150).

Pendapat saya, fakta ini menunjukkan bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi. Karena hadits maudhu’ atau bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata para pakar hadits. Dan Anda melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya sebagai penguat atas penafsiran.


IBNU TAIMIYYAH MEMBENARKAN ADANYA KEISTIMEWAAN KHUSUS PADA NABI MUHAMMAD

Dalam konteks ini, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan pandangan positif yang mengindikasikan kecerdasan, kepandaian, dan kebijaksanaan yang besar. Meskipun Ibnu Taimiyyah sebelumnya menolak keberadaan hadits Nabi menyangkut tema ini (sesuai dengan informasi yang dimiliki pada saat itu) tetapi ia mencabut pandangan ini dan menguatkan makna hadits, menginterpretasikannya dengan tafsir yang rasional, dan menetapkan kebenaran maknanya. Dengan fakta ini, Ibnu Taimiyyah menolak dengan keras mereka yang beranggapan kandungan hadits mengandung kemusyrikan atau kekufuran, dan mereka mengira bahwa kandungan makna hadits itu keliru dan sesat, serta mereka yang menilai bahwa kandungan hadits mencederai status tauhid dan pensucian. Anggapan-anggapan keliru ini tidak lain sekedar hawa nafsu, kebutaan, salah paham, dan kedangkalan pikiran. Semoga Allah senantiasa menerangi mata hati kita dan membimbing kita menuju kebenaran. Allah adalah Dzat yang menunjukkan jalan yang lurus. Dalam al-Fatāwā vol. XI hlm 96 Ibnu Taimiyyah menulis,

“Nabi Muhammad adalah junjungan/pemimpin semua manusia.  Ia makhluk paling utama dan mulia di sisi Allah. Karena itu, ada orang berpendapat bahwa karena beliau Allah menciptakan alam semesta atau kalau bukan karena beliau Allah tidak akan menciptakan ‘Arsy, al-Kursi, langit, bumi, matahari, dan bulan”. Tapi pandangan ini bukanlah hadits Nabi, bukan hadits shahih juga bukan hadits dha’if  dan tidak ada seorang ulama pun yang mengutipnya sebagai hadits Nabi. Bahkan juga tidak diketahui apakah bersumber dari para sahabat atau tidak. Pendapat ini hanyalah ungkapan yang tidak diketahui orang yang mengatakannya. Namun bisa ditafsirkan dengan benar, sebagaimana firman Allah,

 أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِير
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan. (QS. Luqman: 20).

Dalam ayat yang lain Allah berfirman,

 اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْأَنْهَارَ (32) وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ (33) وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ (34) 
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki  untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang. 
(QS. Ibrahim: 32-34).

Dan masih banyak ayat lain yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan makhluk untuk kemaslahatan manusia. Sudah maklum, bahwa di samping demi kepentingan anak cucu Adam, Allah memiliki hikmah-hikmah lain yang lebih besar dalam ayat-ayat tersebut. Namun, di dalam ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan kepada anak cucu Adam manfaat dan nikmat yang tercakup di dalamnya.

Jika ada yang mengatakan bahwa Allah melakukan sesuatu untuk sesuatu, maka tidak berarti di dalamnya tidak ada hikmah lain. Demikian pula ucapan seseorang, “Jika tidak karena ini maka Allah tidak akan menciptakan itu,” bukan berarti tidak ada hikmah lain yang besar di dalamnya. Justru hal itu menyimpulkan bahwa jika dalam ungkapan tersebut yang dimaksud adalah anak cucu Adam yang shalih dan yang paling utama, yakni Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, di mana penciptaan beliau adalah tujuan yang dicari dan hikmah yang besar yang lebih besar dari yang lain. Kesempurnaan makhluk dan puncak kesempurnaan tercapai dengan Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Dikutip dari kitab al-Fatāwā  karya Ibnu Taimiyah. ***


Analisis Pentig Terhadap Pandangan ibnu Taimiyyah Yang tidak Diketahui Para Pengikutnya

Mari kita cermati pandangan Ibnu Taimiyyah yang memiliki wawasan dan pemahaman yang dalam dalam memberikan interpretasi terhadap keistimewaan yang telah tersebar dan populer ini. Dalam masalah ini terdapat hadits yang menerangkan bahwa Nabi Adam bertawassul dengan menggunakan perantara Nabi Muhammad, yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan dinilai shahih oleh mereka yang mengategorikannya sebagai shahih, dinilai hasan oleh mereka yang mengklasifikasikannya sebagai hasan, dan diterima oleh para pakar hadits yang menerimanya. Cobalah perhatikan, Ibnu Taimiyyah sendiri mengatakan, “Sesungguhnya pendapat ini memiliki sudut pandang yang benar.”

Bandingkan pendapat Ibnu Taimiyah ini dengan pendapat orang yang mendudukkan dan memberdirikan dunia, dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam, menuduh mereka sesat dan musyrik atau bid’ah dan khurafat, kemudian dengan berbohong mengklaim sebagai pengikut madzhab salafi dan Ibnu Taimiyyah, padahal ia sungguh jauh dari Ibnu Taimiyyah dan salafiyyah. Tindakan negatif orang seperti ini tidak hanya pada persoalan di atas saja. Justru yang menjadi fokus adalah ia senantiasa bersama Ibnu Taimiyyah dalam semua persoalan kecuali dalam hal-hal yang menyangkut pengagungan terhadap Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam atau menguatkan kemuliaan, keagungan, dan kedudukan beliau. Karena dalam hal-hal mereka ragu, berpikir, dan merenung. Dari sini saja, akan tampak usaha menjaga status tauhid atau fanatisme terhadap tauhid. Mahasuci Engkau, wahai Tuhan kami. Inilah kedustaan yang sangat besar.


Hadits Ketiga  yang Mendukung Hukum Tawassul
Hadits ketiga yang mendukung hadits tawassulnya Nabi Adam adalah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu al-Mundzir dalam tafsirnya, dari Muhammad bin ‘Ali bin Husain, ia berkata, “Ketika Adam berbuat kesalahan, ia sangat sedih dan menyesal. Lalu Jibril datang kepadanya dan berkata, “Wahai Adam, Apakah engkau mau aku tunjukkan pintu taubat yang Allah menerima taubatmu darinya?”
“Mau, wahai Jibril.”
“Berdirilah di tempat engkau bermunajat kepada Tuhanmu. Lalu agungkalah Dia dan berikanlah Dia pujian. Karena tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi pujian.”
“Apa yang harus saya ucapkan, wahai Jibril?”
“Ucapkanlah, 

لاَ إِلَهَ إِلاذَ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَ هُوَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ بِيَدِهِ الْجَيْرُ كُلُّهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Tiada Tuhan kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kekuasaan dan pujian. Dia Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup dan tidak akan mati. Di tangannya segala kebaikan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

“Selanjutnya, akuilah kesalahanmu dan bacalah,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ رَبِّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ وَعَلِمْتُ السُّوْءَ فَاغْفِرْ لِيْ إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إلاَّ أَنْتَ, اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِجَاهِ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَكَرَامَتِهِ عَلَيْكَ أَنْ تَغْفِرَ لِيْ خَطِيْئَتِيْ 
Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan dengan memuji-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berbuat aniaya terhadap diriku sendiri dan berbuat buruk, maka ampunilah aku, karena tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Ya Allah, sungguh aku memohon kepada-Mu dengan perantara kedudukan Nabi-Mu Muhammad dan kemuliaan beliau di sisi-Mu, agar Engkau mengampuni kesalahanku.

Nabi bercerita, “Lalu Adam melakukan perintah Jibril. “Wahai Adam, siapakah yang mengajarimu demikian?” tanya Allah. “Ya Tuhanku, sesungguhnya ketika Engkau meniupkan nyawa pada tubuhku lalu saya berdiri sebagai manusia sempurna yang bisa mendengar, melihat, berpikir, dan merenung, maka saya melihat pada kaki ‘Arsy-Mu terdapat tulisan “Dengan nama Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tiada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Muhammad utusan Allah”. Karena saya tidak melihat nama malaikat muqarrab (yang didekatkan) dan Nabi & Rasul lain selain Muhammad sesudah nama-Mu, maka saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk paling mulia di sisi-Mu. Allah berfirman, “Engkau benar, dan Aku telah menerima taubatmu dan telah mengampunimu.” Dikutip dari Al-Durr al-Mantsûr vol. 1 hlm. 146 karya Imam al-Suyuthi. Muhammad ibn ‘Ali ibn Hushain adalah Abu Bakar al-Baqir, salah satu tabi’in terpercaya dan tokoh mereka. Enam Imam hadits (al-Sittah) meriwayatkan hadits darinya. Ia meriwayatkan hadits dari Jabir, Abi Sa’id, Ibnu ‘Umar dan lain-lain. 

Hadits Keempat Tentang Tawassul
Hadits keempat pendukung tawassulnya Nabi Adam adalah hadits riwayat Abu Bakar al-Aajuri dalam Kitab al-Syarī’ah. Ia berkata, “Harun bin Yusuf al-Tajir bercerita kepadaku.” Harun berkata, “Abu Marwan al-‘Utsmani bercerita kepadaku.” Abu Marwan berkata, “Abu ‘Utsman ibn Khalid menceritakan kepadaku dari ‘Abdurrahman bin Abi al-Zinad dari ayahnya, bahwa sang ayah berkata, “Salah satu kalimat yang menyebabkan diterimanya taubat Nabi Adam oleh Allah adalah Ya Allah, Sesungguhnya saya memohon dengan kemuliaan Muhammad pada-Mu. “Apa yang memberitahukanmu siapa Muhammad?” “Ya Tuhanku, saya menengadahkan kepalaku lalu saya melihat ada tulisan pada ‘Arsy-Mu, ‘Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Utusan Allah.’ Maka saya tahu, ia adalah makhluk-Mu yang paling mulia,” jawab Adam.
Sebagaimana diketahui, menggabungkan atsar tersebut dengan hadits dari Abdurrahman ibn Zaid membuat status hadits ini lebih kuat.

Surga Haram Dimasuki Para Nabi Sebelum Nabi Muhammad Memasukinya
Salah satu contoh karunia Allah kepada Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa surga haram dimasuki para Nabi sebelum dimasuki Nabi Muhammad sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibn al-Khattab radhiallāhu ‘anhu dari Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
الْجَنَّةُ حُرِّمَتْ عَلَى الأَنْبِيَاءِ حَتَّى أَدْخُلَهَا وَحُرِّمَتْ عَلَى الأُمَمِ حَتَّى تَدْخُلَهَا أُمَّتِيْ
Surga diharamkan untuk para Nabi sampai aku masuk ke dalamnya dan diharamkan untuk semua umat sampai umatku masuk ke dalamnya. Diriwayatkan oleh Imam al-Thabarani dalam al-Awsath. Menurut al Haitsami sanad hadits ini hasan. Dikutip dari Majma’ al-Zawā’id vol. 10 hlm. 69.

Keterkaitan Alam Semesta dengan Nama Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam
Salah satu contoh keistimewaan Nabi Muhammad yang dikaruniakan oleh Allah adalah menyebarnya nama Muhammad di al-Mala’ al-A’lā (alam Malaikat Muqarrabûn) sebagaimana terdapat dalam banyak atsar. Ka’ad ibn al-Ahbar berkata, “Sesungguhnya Allah Subhānahu wa ta’āla menurunkan tongkat kepada Nabi Adam sebanyak jumlah para Nabi dan Rasul. Lalu Nabi Adam mendatangi putranya, Syits, dan berkata, “Anakku, engkau adalah penggantiku sepeninggalku. Ambillah tongkat-tongkat ini dengan meningkatkan ketakwaan dan ikatan yang kokoh. Setiap kali engkau menyebut Allah, sebutkanlah selalu nama Muhammad karena aku melihat namanya tertulis pada kaki ‘Arsy pada saat aku dalam kondisi antara roh dan tanah liat. Kemudian aku menjelajahi langit. Pada setiap tempat di langit, aku melihat nama Muhammad tertulis padanya. Dan Tuhanku telah menempatkanku di surga dan di surga aku tidak melihat istana dan kamarnya kecuali tertera nama Muhammad di situ. Dan saya juga melihat namanya tertulis pada dada-dada bidadari, daun bambu belukar surga, daun pohon thuba, daun sidratul muntahā, di tepi-tepi hijab dan di antara mata para malaikat. Maka, perbanyaklah menyebut nama Muhammad karena para Malaikat selalu menyebut namanya setiap waktu” (Al-Mawāhib al-Lāduniyyah vol. 1 hlm. 187).
Saya katakan bahwa Ibnu Taimiyyah juga telah menyebut hadits di atas. Ia menulis, “Terdapat riwayat bahwa Allah Subhānahu wa ta’āla  telah menulis nama Muhammad di atas ‘Arsy, pintu, kubah, dan dedaunan surga.”
Tertulisnya nama Nabi Muhammad ini telah diriwayatkan dalam beberapa atsar yang sesuai dengan hadits-hadits di atas yang juga menjelaskan keagungan nama Muhammad dan ketinggian nama beliau.
Dalam salah satu riwayat dari Ibnu al-Jauzi dari Maysarah, ia berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?’ Beliau menjawab, ‘Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan ketika Allah menciptakan ‘Arsy maka Dia menulis di atas kaki ‘Arsy “Muhammad Rasulullāh Khātamul Anbiyā’.” Dan Allah menciptakan surga yang ditempati oleh Adam dan Hawa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah, dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘Arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang tercatat pada ‘Arsy) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawa’ terpedaya oleh syetan, kedua bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.” (Ibnu Taimiyah, al-Fatāwā vol. II hlm. 150).

Manfaat-Manfaat Penting dari Hadits Tawassulnya Nabi Adam
Hadits di atas, tentang tawassul dengan perantara Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau lahir di alam semesta, menunjukkan bahwa ukuran keabsahan bertawassul itu adalah bahwa orang yang dijadikan objek tawassul harus memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, serta yang dijadikan perantara tidak disyaratkan ia harus masih hidup di dunia.
Dari hadits tersebut diketahui bahwa opini yang menyatakan tawassul dengan siapa pun tidak sah kecuali saat ia masih hidup di dunia adalah pendapat orang yang mengikuti hawa nafsunya yang  tidak mendapat hidayah Allah.

Kesimpulan dari Analisa terhadap Status Hadits Tawassulnya Nabi Adam
Dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut di atas dikategorikan hadits shahih, sebab keberadaan hadits yang mendukung riwayat tentang tawassulnya Nabi Adam cukup banyak. Bahkan banyak dikutip oleh pembesar ulama dan para pakar dan penghafal hadits yang memiliki kualitas dan kedudukan tinggi. Mereka adalah orang-orang yang kredibel dalam ilmu hadis Nabi seperti Imam al-Hakim, al-Suyuthi, al-Subki, dan al-Bulqini.
Hadits tersebut juga dikutip oleh Imam al-Bulqini dalam kitabnya, di mana kitabnya tidak memuat hadits maudhu’, dan dikomentari oleh al-Dzahabi dengan berkata, “Berpeganglah dengannya, karena kitab itu sepenuhnya petunjuk dan cahaya.” (dikutip dari Syarhul Mawāhib dan kitab lain).
Hadits tersebut juga dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidāyah dan dijadikan argumentasi oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Fatāwā. Adapun  pro-kontra dan ikhtilaf dari para ‘ulama menyangkut hadits tersebut bukanlah hal yang aneh. Hal ini karena banyak hadits yang menimbulkan ikhtilaf lebih besar dengan kritikan lebih tajam.
Dari perdebatan dan ikhtilaf para ulama itu lahirlah karangan-karangan besar yang berisi argumentasi, penelitian, peninjauan, dan beragam tuntutan. Namun semua itu tidak sampai melontarkan tuduhan syirik, kufur, sesat, dan keluar dari lingkaran iman karena perbedaan tersebut seputar ikhlitaf menyangkut status salah satu dari beberapa  hadits. Dan hadits tawassul Adam ini, termasuk hadits-hadits yang memicu perbedaan seperti itu.


ORANG YAHUDI BERTAWASSUL DENGAN PERANTARA NABI SHALLALLĀHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Allah berfirman,
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir. Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (QS. al-Baqarah: 89).
Imam al-Qurtubi berkata, “Firman Allah “Walamma jā’ahum”, yakni ketika datang kepada orang-orang Yahudi, Kitābun yakni al-Qur’an, Min ‘indillāhi mushaddiqun, dari sisi Allah yang membenarkan sifat dari kitābun. Untuk kata selain al-Quran boleh dibaca nashab sebagai hal (bentuk keterangan). Demikian juga pada mushaf Ubay, dalam sebuah riwayat mushaddiqun dibaca nashab. Lima ma’ahum, yakni Taurat dan Injil di mana al-Qur’an mengkabarkan kepada orang Yahudi tentang isi kedua kitab tersebut. Wakānu min qablu yastaftihûna, yakni memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits Nabi memohon pertolongan dengan orang-orang muhajirin yang fakir ; melalui doa dan shalat mereka. Dalam Al-Quran terdapat ayat,
فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ
Semoga Allah memberikan kemenangan atau memberikan perintah dari-Nya. (QS. al-Maaidah: 52)
Al-Nashr bermakna membuka sesuatu yang tertutup. Dan pengertian tersebut kembali kepada perkataan orang Arab “fatahtu albāba” (aku membuka pintu yang terkunci).
Imam al-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi bersabda, 
إِنَّمَا نَصَرَ اللهُ هَذِهِ الأُمَّةَ بِضُعَفَائِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلاَتِهِمْ وَإِخْلاَصِهِمْ
Sesungguhnnya Allah menolong umat ini karena berkah umatnya yang lemah karena doa, shalat, dan keikhlasan mereka.
Imam al-Nasa’i juga meriwayatkan dari Abu Darda’, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda,
أَبْغُوْنِيْ الضَّعِيْفَ فَإِنَّكُمْ إِنَّمَا تَنْصُرُوْنَ وَتَرْزُقُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ
Carilah keridhaanku dengan berbuat baik kepada orang lemah karena kalian akan mendapatkan pertolongan dan rezeki  berkat mereka.
Ibnu ‘Abbas berkata, “Dahulu kaum Yahudi Khaibar memerangi kaum Ghathafan. Ketika kedua seteru ini bertemu, Yahudi kalah. Kemudian orang Yahudi berdoa dengan ungkapan,                                 “Sesungguhnya kami memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Nabi yang ummi, yang Engkau janjikan kepada kami akan Engkau keluarkan untuk kami pada akhir zaman  untuk menolong kami mengalahkan kaum Ghathafan.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Maka jika bertemu orang Ghathafan, orang Yahudi akan mengumandangkan doa ini dan berhasil mengalahkan Ghathafan. Ketika Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah diutus mereka malah mengingkarinya, lalu turun firman Allah,
وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلَى الَّذِ يْنَ كَفَرُوا
Lafadz الَّذِيْنَ كَفَرُوْا yakni kafir kepadamu, ya Muhammad sampai pada firman Allah,
فَلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الكَافِرِيْنَ
“Maka laknat Allah-lah atas orang-orang kafir.” (Tafsir al-Qurtubi vol. 2 hal. 26-27 )



TAWASSUL DENGAN NABI KETIKA MASIH HIDUP DAN SESUDAH WAFAT

Diriwayatkan dari ‘Utsman ibn Hunaif radhiallāhu ‘anhu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah didatangi seorang lelaki tuna netra yang hendak mengadukan kondisi penglihatannya. ‘Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan’, katanya lelaki tuna netra tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda,
أَئْتِ الْمِيْضَاةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثَمَّ قُلْ : اللَّهُمَّ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ, يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيُجْلِيْ لِيْ عَنْ بَصَرِيْ, اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِيْ فِيْ نَفْسِيْ, قَالَ عُثْمَانُ : فَوَاللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بَنَا الْحَدِيْثُ حَتَّى دَخَلَ الرَّجُلُ وَكَأَنَّهُ لَمْ  يَكُنْ بِهِ ضُرٌّ
Datanglah ke tempat wudhu,’ lalu berwudhulah kemudian shalatlah dua raka’at. Sesudah itu bacalah doa, "Ya Allah, sungguh saya memohon kepada-Mu dan dan tawassul kepada-Mu dengan keagungan Nabi-Mu Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad saya bertawassul denganmu kepada Tuhanmu agar Dia menyembuhkan penglihatanku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untuk menolongku dan terimalah syafa’atku untuk diriku.” Utsman berkata lagi, “Maka demi Allah, sebelum kami berpisah dan belum banyak obrolan yang kami lakukan tiba-tiba lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.”
Imam al-Hakim berkata, “Hadits ini adalah hadits yang sanadnya shahih, meski tidak diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.” Menurut Imam al-Dzahabi status hadits itu shahih. Imam al-Turmudzi berkata dalam kitab Abwābu al-Da’awāt pada bagian akhir dari kitab Sunan al-Turmudzi, “Hadits ini adalah hadits hasan, shahih, dan gharib, yang tidak saya kenal kecuali lewat jalur ini dari hadits yang diriwayatkan oleh Abi Ja’far, yang maksudnya bukan Abu Ja’far al-Khathmi.
Menurut saya, yang dimaksud Abu Ja’far di sini adalah al-Khathmi al-Madani, sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam riwayat-riwayat al-Thabarani, al-Hakim, dan al-Baihaqi. Dalam al- Mu’jam al-Shaghīr, al-Thabarani menambahkan bahwa nama Abu Ja’far adalah ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat dipercaya. Al-‘Allamah al-Muhaddits al-Ghimari dalam risalahnya Ithāful Adzkiyā berkata, “Tidaklah logis jika para hafidz (para penghafal hadits) sepakat untuk menilai shahih sebuah hadits yang dalam sanadnya terdapat rawi majhul (misterius). Apalagi para imam hadits seperti al-Dzahabi, al-Mundziri, dan al-Hafidz Ibnu Hajar.”
Imam al-Mundziri berkata, “Hadits di atas juga diriwayatkan oleh al-Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya.” (al-Targhīb, kitab al-Nawāfil, bab al-Targhīb fī shalātil hajat vol. I hlm. 438).
Tawassul dengan kalimat seperti tersebut di atas tidak khusus hanya pada saat Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Justru sebagian shahabat menggunakan ungkapan tawassul di atas sesudah beliau wafat. Hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Thabarani dan menyebutkan pada awalnya sebuah kisah sebagai berikut, “Seorang lelaki berulang-ulang datang kepada ‘Utsman ibn ‘Affan untuk keperluannya. ‘Utsman sendiri tidak pernah menoleh kepadanya dan tidak mempedulikan keperluannya. Lalu lelaki itu bertemu dengan ‘Utsman bin Hunaif. Kepada Utsman bin Hunaif ia mengadukan sikap Utsman ibn ‘Affan kepadanya. Utsman bin Hunaif menyuruh lelaki itu, “Pergilah ke tempat wudhu, lalu masuklah ke masjid untuk shalat dua raka’at. Kemudian bacalah doa,’
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ, يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ فَيُقْضِيْ حَاجَتِيْ, وَتَذْكُرُ حَاجَتَكَ....!
Ya Allah sungguh saya memohon kepada-Mu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, saya bertawassul kepada Tuhanmu lewat engkau. Maka kabulkanlah keperluanku....  Dan sebutkanlah keperluanmu itu....!”
Setelah mendengar saran Utsman ibn Hunaif, lelaki itu pun pergi melaksanakan saran dari Utsman ibn Hunaif. Ia datang menuju pintu gerbang Utsman ibn Affan yang langsung disambut oleh penjaga pintu. Dengan memegang tangannya, sang penjaga langsung memasukkannya menemui Khalifah Utsman ibn Affan. Utsman ibn Affan mempersilahkan duduk di atas  permadani bersama dirinya. “Apa keperluanmu?” tanya Utsman. Lelaki itu pun menyebutkan keperluannya kemudian Utman memenuhinya. “Engkau tidak pernah menyebutkan keperluanmu hingga tiba saat ini,” kata Utsman. “Jika kapan-kapan ada keperluan datanglah kepada saya,” lanjut Utsman. Setelah keluar, lelaki itu berjumpa dengan Utsman bin Hunaif dan menyapanya, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Utsman ibn Affan sebelumnya tidak pernah mempedulikan keperluanku dan tidak pernah menoleh kepadaku sampai engkau berbicara dengannya.” Utsman ibn Hunaif langsung menimpali, “Demi Allah, saya tidak pernah berbicara dengan Utsman bin Affan. Namun aku pernah menyaksikan Rasulullah didatangi seorang lelaki buta yang mengadukan matanya yang buta. “Adakah kamu mau bersabar?” kata beliau. “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,” katanya. “Datanglah ke tempat wudhu’ lalu berwudhu’lah kemudian shalatlah dua raka’at. Sesudahnya bacalah doa ini.” “Maka demi Allah, kami belum bubar dan belum lama obrolan selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.” Demikian kata Utsman bin Hunaif.
Imam al-Mundziri berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh al-Thabarani.”  Setelah menyebut hadits ini, al-Thabarani berkomentar, “Status hadits ini shahih.” (al-Targhīb vol. I hlm. 440. Demikian pula disebutkan dalam Majma’ al-Zawāid. vol. II hlm. 279).
Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata, “Al-Thabarani berkata, ‘Hadits ini diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abu Ja’far yang nama aslinya ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat dipercaya’. Utsman ibn ‘Umar sendirian meriwayatkan hadits ini dari Syu’bah. Abu Abdillah al-Maqdisi mengatakan, “Hadits ini shahih.”
Berkaitan dengan riwayat ini saya berkomentar, “Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Al-Thabarani menyebut hadits ini diriwayatkan sendirian oleh Utsman bin ‘Umar sesuai informasi yang ia miliki dan tidak sampai kepadanya riwayat Rauh bin Ubadah dari Syu’bah. Riwayat Rauh dari Syu’bah ini adalah shahih yang menjelaskan bahwa Utsman tidak sendirian meriwayatkan hadits.” (Qā’idah Jalīlah fī al-Tawassul wal Wasīlah. hlm 106).
Dari paparan di atas, telah menjadi jelas bahwa kisah di muka dinilai shahih oleh sejumlah ahli hadits seperti al-Thabarani al-Hafidz Abu Abdillah al-Maqdisi. Penilaian shahih ini juga dikutip oleh al-Hafidz al-Mundziri, al-Hafidz Nuruddin al-Haitsami, dan Syaikh Ibnu Taimiyyah.
Kesimpulan dari kisah di atas adalah bahwa Utsman ibn Hunaif, sang  perawi hadits yang menjadi saksi dari kisah tersebut, telah mengajarkan doa yang berisi tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan memanggil beliau untuk memohon pertolongan setelah beliau wafat, kepada orang yang mengadukan kelambanan khalifah Utsman ibn Affan untuk mengabulkan keperluannya. Ketika lelaki itu mengira bahwa kebutuhannya dipenuhi berkat ucapan Utsman ibn Hunaif kepada khlaifah, Utsman segera menolak anggapan ini dan menceritakan hadits yang telah ia dengar dan ia saksikan untuk menegaskan kepadanya bahwa kebutuhannya dikabulkan berkat tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, panggilan dan permohonan bantuannya kepada beliau (Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam). Utsman juga meyakinkan lelaki itu dengan bersumpah bahwa ia sama sekali tidak berbicara apa-apa dengan khalifah menyangkut kebutuhannya.


PENGGUNAAN LAIN DARI TAWASSUL DAN DUKUNGAN IBNU TAIMIYYAH

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi al-Dunya dalam kitab Mujābi al-Du’ā, ia berkata, “Abu Hasyim bercerita kepadaku, ‘Saya mendengar Katsir ibn Muhammad bin Katsir ibn Rifa’ah berkata, ‘Seorang lelaki datang kepada Abdil Malik bin Sa’id bin Abjar. Lalu lelaki itu menyentuh perut Abdil Malik dan berkata, ‘Dalam tubuhmu ada penyakit yang belum sembuh.’ ‘Penyakit apa?’ tanya Abdil Malik. ‘Bisul besar yang muncul di dalam perut yang umumnya mampu membunuh penderita’, jawab sang lelaki itu. Lelaki itu lalu berpaling. Abdul Malik kemudian mengucapkan, “Allah, Allah, Allah Tuhanku. Aku tidak akan menyekutukan-Nya dengan siapapun. Ya Allah aku bertawassul kepadamu dengan Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, aku bertawassul denganmu Tuhanmu dan Tuhanku. Semoga Allah merahmatiku dari apa yang menimpa diriku.“ Lelaki itu pun menyentuh perut Abdul Malik lalu berkata, “Sungguh kamu telah sembuh. Tidak ada penyakit dalam tubuhmu.”
Ibnu Taimiyyah berkata, “Saya berpendapat bahwa doa ini dan doa yang semisal dengan doa tersebut telah diriwayatkan sebagai doa yang dibaca oleh generasi salaf.” (HR. Ibnu Taimiyah dalam Qā’idah Jalīlah hlm. 94).
Sudah dimaklumi bahwa Ibnu Taimiyyah menampilkan hadits ini dengan tujuan untuk menjelaskan maksudnya dan mengarahkannya sesuai keinginan  sendiri. Namun yang penting bagi kami di sini adalah bahwa ia menegaskan penggunaan generasi salaf terhadap doa itu dan tercapainya kesembuhan berkat doa itu. Penegasannya dalam masalah inilah yang penting bagi kami. Adapun komentarnya tentang hadits, itu adalah opininya pribadi. Yang penting bagi kami hanyalah penetapan adanya nash, agar kami bisa berargumentasi dengannya sesuai kehendak kami. Dan Ibnu Taimiyyah bebas untuk berargumentasi sesuai selera dan kehendaknya. ***

UPAYA YANG GAGAL
Sebagian golongan ramai memberi komentar seputar hadits tawassulnya Nabi Adam, Utsman ibn Hunaif, dan yang lain. Dengan sekuat tenaga mereka berusaha menolak hadits itu. Mereka berupaya keras, berdiskusi, berdebat, duduk, berdiri dan bersuara lantang dalam menyikapi masalah ini. Semua perilaku ini tidaklah berguna, karena meskipun mereka menolak hadits-hadits tentang tawassul, namun para tokoh-tokoh mereka yang terdiri dari ulama besar yang memiliki kapasitas intelektual dan spiritual jauh di atas mereka, telah berpendapat dibolehkannya tawassul. Seperti al-Imam Ahmad ibn Hanbal yang berpendapat dibolehkannya tawassul  seperti dikutip oleh Ibnu Taimiyyah dan Izzudin bin ‘Abdissalam. Ibnu Taimiyyah sendiri dalam salah satu pendapatnya secara khusus menerangkan dibolehkannya tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Akhirnya kemudian Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab yang menolak tuduhan orang yang menuduhnya memvonis kufur kaum muslimin. Justru dalam Fatāwā-nya, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa tawassul adalah persoalan furu’ bukan prinsip. Pandangan Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah insya Allah akan dijelaskan dengan rinci dalam kitab ini.
Syaikh al-Allamah al-Muhaddits Abdullah al-Ghimari telah menyusun sebuah risalah khusus berisi kajian tentang hadits-hadits tawassul yang diberi nama Mishbāhu al-Zujājah fī Shalāti al- Hājah. Dalam  risalah ini, beliau menulis dengan baik dan memberi informasi-informasi yang memuaskan dan cukup.

TAWASSUL DENGAN NABI PADA HARI KIAMAT

Adapun tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam di hari kiamat, maka sesungguhnya tidak memerlukan penjelasan panjang lebar. Sebab, hadits-hadits tentang syafa’at telah mencapai derajat mutawātir. Semua hadits ini berisi teks-teks yang jelas menerangkan bahwa mereka yang berada di padang mahsyar ketika merasa sudah terlalu lama berada di tempat itu dan merasa sangat menderita, akan memohon pertolongan untuk mengatasi penderitaan itu dengan para Nabi. Mereka memohon bantuan kepada Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, kemudian Isa yang mengarahkan mereka agar datang kepada junjungan para Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ketika mereka memohon pertolongan kepada beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau segera mengabulkan permohonan ini. “Syafa’at ini adalah untukku, syafa’at ini adalah untukku,” ucap beliau. Selanjutnya beliau bersujud sampai mendapat panggilan, “Tegakkan kepalamu dan berilah syafa’at. Syafa’atmu pasti akan diterima.”
Hadits syafa’at ini telah mendapat konsensus (kesepakatan) dari para Nabi, Rasul dan semua orang mukmin dan merupakan ketetapan dari Allah Tuhan semesta alam. Di mana mereka semua sepakat bahwa memohon pertolongan dengan perantara orang-orang besar yang dekat dengan Allah, di saat mengalami puncak musibah adalah salah satu kunci terbesar bagi munculnya kemudahan dan salah satu hal yang dapat mengantarkan ridha Allah.


LEGALITAS TAWASSUL MENURUT METODE SYAIKH IBNU TAIMIYYAH


Dalam kitabnya Qā’idah Jalīlah fī al-Tawassul wa al-Wasīlah, Ibnu Taimiyyah, ketika membahas firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَة
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri kepada-Nya.( QS. al-Ma’idah: 35).
Ia berkata, “Mencari wasīlah (mediator) kepada Allah hanya bisa dilakukan oleh orang yang bertawassul kepada Allah dengan beriman kepada Muhammad dan pengikut beliau. Tawassul model ini, dengan keimanan kepada Muhammad dan kepatuhan kepada beliau hukumnya fardlu bagi setiap orang dalam kondisi apapun baik lahir maupun batin, semasa hidup beliau atau sesudah wafat, dan pada saat berada bersama beliau atau jauh dengan beliau.
Tawassul dengan iman kepada Muhammad dan kepatuhan kepada beliau mengikat setiap orang dalam situasi dan kondisi apapun setelah tegaknya hujjah atasnya dan juga tidak gugur dengan alasan apapun. Tidak ada jalan menuju kemuliaan dan rahmat Allah, serta selamat dari kehinaan dan adzab-Nya kecuali dengan tawassul dengan Nabi Muhammad dan kepatuhan kepadanya. Nabi Muhammad adalah pemberi syafa’at semua makhluk dan pemilik al-maqam al-mahmûd (kedudukan terpuji) yang membuat iri manusia periode awal dan akhir. Beliau adalah pemberi syafa’at yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah. Berkenaan dengan Nabi Musa, Allah berfirman,
وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا
Dan adalah dia (Musa) seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah. (QS. al-Ahzab: 69)
Dan mengenai ‘Isa  Allah berfirman,
وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
(Isa ibn Maryam) seorang terkemuka di dunia dan di akhirat. (QS. Ali Imran: 45)
Nabi Muhammad lebih tinggi kedudukannya dibanding para Nabi dan Rasul lain. Akan tetapi, syafa’at dan doa beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam hanya berguna bagi orang yang diberi syafa’at dan doa oleh beliau. Orang yang didoakan dan diberi syafa’at oleh beliau itu bertawassul kepada Allah dengan syafa’at dan doa beliau. Sebagaimana bertawassul kepada Allah dengan doa dan syafa’at beliau dan sebagaimana manusia bertawassul kepada Allah di hari kiamat dengan doa dan syafa’at beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Dalam al-Fatāwā al-Kubrā Syaikh Ibnu Taimiyyah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apakah boleh tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam atau tidak?” Ia menjawab, “Alhamdulillah, adapun tawassul dengan iman kepada beliau, kecintaan, ketaatan, shalawat dan salam kepadanya dan dengan doa serta syafa’atnya dan sebagainya, menyangkut hal-hal yang merupakan tindakan Nabi dan tindakan orang-orang yang perbuatannya diperintahkan agama berkaitan dengan beliau, maka tawassul seperti ini disyari’atkan menurut kesepakatan para ulama.”
Menurut saya, berdasarkan dari pendapat Ibnu Taimiyyah di atas, dapat dua poin berikut:
Seorang muslim yang taat, cinta kepada Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, meneladani beliau, dan membenarkan syafa’at beliau disyari’atkan untuk bertawassul dengan kepatuhan, kecintaan, dan pembenarannya kepada beliau.
Jika kita bertawassul dengan Nabi Muhammad, maka Allah bersaksi bahwa sebenarnya kita bertawassul dengan iman dan cinta kita kepada beliau, dan keutamaan serta kemuliaan beliau. Inilah tujuan sesungguhnya dari tawassul. Tidak bisa tawassul seseorang kepada beliau digambarkan selain dalam pengertian ini, dan tidak mungkin dimaksudkan selain pengertian ini dari semua kaum muslimin yang mempraktikkan tawassul. Hanya saja orang yang bertawassul kadang mengucapkan dengan jelas maksud tawassul ini dan kadang tidak, karena berpijak pada maksud sesungguhnya dari tawassul yang merupakan iman dan rasa cinta kepada beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, bukan maksud yang lain.
Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari pandangan Ibnu Taimiyyah adalah bahwa orang yang didoakan Rasulullah, sah baginya untuk bertawassul kepada Allah lewat doa beliau kepadanya, dan terdapat keterangan bahwa beliau mendoakan umatnya sebagaimana terdapat dalam banyak hadits, di antaranya,
Dari ‘‘Aisyah radhiallāhu ‘anha, ia berkata: “Saat aku melihat Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam sedang bersuka hati, saya berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku!” Rasulullah pun berdoa,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَائِشَةَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهَا وَمَا تَأَخَّرَ وَمَا أَسَرَّتْ وَمَا أَعْلَنَتْ, فَضَكِحَتْ عَائِشَةُ حَتَّى سَقَطَ رَأْسُهَا فِيْ حِجْرِهَا مِنَ الضَّحْكِ وَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ : أَيَسُرُّكِ دُعَائِيْ, فَقَالَتْ : وَمَا لِيَّ لاَ يَسُرُّنِيْ دُعَائُكَ, فَقَالَ النَّبِيُّ : إِنَّهَا لَدُعَائِيْ لِأُمَّتِيْ فِيْ كُلِّ صَلاَةٍ
Ya Allah, ampunilah dosa ‘‘Aisyah, baik dosa yang telah lalu dan dosa akan akan datang, yang disembunyikan dan yang dilakukan dengan terang-terangan.  ‘Aisyah tertawa sampai kepalanya jatuh ke dalam pangkuan Nabi. “Apakah doaku membuatmu bahagia?” tanya beliau. “Ada apa gerangan denganku, tidak merasa bahagia dengan doamu?” jawab ‘Aisyah. “Doa itu adalah doaku untuk umatku yang kupanjatkan setiap shalat,” lanjut Nabi.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzaar. Para perawinya adalah para perawi dengan kriteria yang ditetapkan hadits shahih, selain Ahmad ibn al-Manshur al-Ramadi, yang termasuk perawi dapat dipercaya (dikutip dari Majma’ul Zawāid).
Oleh karena itu, sah-sah saja bagi setiap muslim untuk bertawassul kepada Allah dengan doa Nabi untuk umatnya, dengan mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya Nabi-Mu Muhammad telah mendoakan umatnya dan saya adalah salah satu dari mereka. Saya bertawassul kepada-Mu dengan doa ini, agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku ... dst.” Apabila ia mengucapkan doa tawassul seperti ini maka ia tidak keluar dari ajaran yang telah disepakati para ulama. Jika dia mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad,” berarti ia tidak mengucapkan dengan jelas apa yang diniatkan dan tidak menjelaskan apa yang telah menjadi ketetapan hatinya, yang merupakan maksud dan yang dikehendaki setiap muslim yang tidak melebihi batas ini. Sebab, orang yang bertawassul dengan Nabi tidak memiliki tujuan kecuali hal-hal yang bersangkutan dengan beliau menyangkut rasa cinta, kedekatan dengan Allah, kedudukan, keutamaan, doa, dan syafa’at. Apalagi di alam barzakh beliau mendengar shalawat dan salam dan menjawab shalawat dan salam yang disampaikan dengan jawaban yang layak dan relevan yakni membalas salam dan memohonkan ampunan. Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam sebuah hadits dari beliau,
حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ, تَحْدُثُوْنَ وَيَحْدُثُ لَكُمْ, تُعْرَضُ أَعْمَالُكُمْ عَلَيَّ, فَإِنْ وَجَدْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ , وَإِنْ وَجَدْتُ شَرًّا اِسْتَغْفَرْتُ اللهَ لَكُمْ
Hidupku merupakan kebaikan untuk kalian dan matiku juga merupakan kebaikan untuk kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Semua amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan, aku memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian.
 Hadits ini diriwayatkan oelh al-Hafidz Isma’il al-Qadli pada Juz’u al-Shalāti ‘alā al-Nabiyi Shallallāhu ‘alaihi wa salla. Al-Haitsami menyebutkannya dalam Majma’ul Zawāid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih dengan komentarnya, “Hadits diriwayatkan oleh al-Bazzar dan para perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih, sebagaimana akan dijelaskan nanti.”
Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa di alam barzakh, Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam memohonkan ampunan (istighfar) untuk umatnya. Istighfar adalah doa dan umat beliau memperoleh manfaat dengannya.
Terdapat keterangan dalam sebuah hadits bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِيْ حَتَّى أَرُدَّ السَّلاَمَ
Tidak ada satu pun orang muslim yang memberi salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku menjawab salamnya. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah). Mengenai hadits ini, Imam al-Nawawi berkata, “Isnad hadits ini shahih.”
Hadits ini jelas menerangkan bahwa beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam menjawab orang yang memberinya salam. Salam adalah kedamaian yang berarti mendoakan mendapat kedamaian dan orang yang memberi salam mendapat manfaat dari doa beliau ini. ***



DISYARI’ATKANNYA TAWASSUL MENURUT IMAM AHMAD IBN HANBAL DAN IBNU TAIMIYYAH
Dalam beberapa kitabnya, Ibnu Taimiyyah menegaskan diperbolehkannya tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam tanpa membedakan antara semasa hidup dan sesudah wafat dan antara saat berada di tengah-tengah para sahabat atau tidak. Diperkenankannya tawassul dengan Nabi ini juga dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al-Fatāwā al-Kubrā.
Di samping fakta di atas, Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Demikian pula, salah satu hal yang disyari’atkan adalah tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam berdoa sebagaimana terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dan dinilai shahih oleh al-Turmudzi, “Sesungguhnya Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan seseorang untuk berdoa dengan membaca, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad aku bertawassul denganmu kepada Tuhan-Mu, agar Dia menyingkapkan kebutuhanku untuk dipenuhi. Terimalah, Ya Allah, syafa’at Muhammad padaku.” Tawassul dengan Nabi ini adalah baik.” (al-Fatāwā vol. III hlm. 276).
Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Tawassul kepada Allah dengan selain beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, baik disebut istighatsah atau bukan, saya tidak pernah mengetahui salah seorang generasi salaf melakukannya dan meriwayatkan atsarnya. Saya hanya tahu bahwa dalam fatwanya Syaikh mengharamkan tawassul dengan selain Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Adapun tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka terdapat hadits hasan dalam kitab al-Sunan yang diriwayatkan oleh al-Nasai, al-Turmudzi dan yang lain. Hadits tersebut adalah, “Seorang penduduk desa datang kepada Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, mataku terserang musibah, doakanlah kepada Allah untukku,” ia memohon. “Berwudhu’lah dan laksanakan shalat dua roka’at lalu bacalah, “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu dan bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad. Wahai Muhammad, saya memohon syafa’at kepadamu dalam mengembalikan penglihatanku. Ya Allah, terimalah syafa’at Nabi-Mu untukku.” Nabi menjawab, “Jika kamu mempunyai keperluan maka bacalah doa tadi.” Lalu Allah pun mengembalikan penglihatannya.” Berangkat dari hadits ini, Ibnu Taimiyyah mengecualikan tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. (al-Fatāwā vol. 1 hlm. 105).
Dalam bagian lain Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Berangkat dari hadits tersebut, Imam Ahmad berkata dalam al-Mansak-nya (buku tata cara ibadah/manasik) yang ditulis untuk muridnya, al-Marwazi, “Bahwasanya Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bisa dijadikan sebagai objek tawassul dalam doanya.” Namun selain Imam Ahmad berpendapat bahwa tawassul dengan beliau adalah bersumpah kepada Allah dengan beliau, sedangkan tidak diperbolehkan bersumpah kepada Allah dengan makhluk. Hanya saja Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya telah memperbolehkan bersumpah dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu diperbolehkan juga tawassul dengan beliau.” (Al Fatāwā, vol. I hlm. 140).

DIPERBOLEHKANNYA TAWASSUL MENURUT IMAM AL-SYAUKANI
Al-Muhaddits al-Salafi al-Syaikh Muhammad ibn ‘Ali al-Syaukani dalam risalahnya yang berjudul Al-Dlurr al-Nadlīd fī Ikhlāshi Kalimāti al-Tauhīd mengatakan, “Adapun tawassul kepada Allah dengan salah satu makhluk-Nya dalam mencapai sesuatu yang diinginkan seorang hamba, maka al-Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam mengatakan, “Bahwasanya tidak boleh tawassul kepada Allah kecuali dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, jika hadits yang menjelaskan tawassul dengan beliau ini dinilai shahih.” Barangkali Syaikh ‘Izzuddin menunjuk kepada hadits yang dikeluarkan oleh al-Nasa’i dalam Sunan-nya dan al-Turmudzi, dan dikategorikan shahih oleh Ibnu Majah dan yang lain bahwa mengenai hadits tentang seorang tuna netra datang kepada Nabi  Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, para ulama berbeda pendapat. Ia mengatakan, “Para ulama memiliki dua pandangan berbeda menyangkut hadits ini,
Tawassul adalah apa yang diucapkan oleh ‘Umar bin Khaththab ketika ia mengatakan, “Saat kami dulu mengalami paceklik, maka kami bertawassul kepada-Mu dengan perantara keagungan Nabi-Mu, hingga akhirnya Engkau menurunkan hujan buat kami, dan kami bertawassul dengan paman Nabi kami.” Hadits ini tercantum dalam Shahih al-Bukhari dan kitab lain. ‘Umar telah mengatakan bahwa para sahabat dahulu bertawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau untuk memohon hujan kemudian mereka bertawassul dengan paman beliau, ‘Abbas, sepeninggal beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Tawassul para sahabat adalah permintaan mereka akan hujan sekiranya beliau berdoa disertai mereka. Berarti beliau merupakan perantara mereka kepada Allah, dan Nabi dalam hal permemohonan hujan ini adalah orang yang memberi syafa’at dan berdoa untuk mereka.
Bahwa tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bisa dilakukan pada saat beliau masih hidup, telah tiada, ketika beliau ada di tempat atau tidak berada di tempat. Cukup jelas sekarang bagi kita bahwa tawassul dengan beliau semasa masih hidup atau tawassul dengan selain beliau sepeninggal beliau, merupakan amaliah yang berdasarkan ijma’ sukuti para sahabat. Karena tidak ada satu sahabat pun yang menentang pendapat ‘Umar bin Khaththab dalam tawassulnya dengan Sayyidina ‘Abbas radhiallāhu ‘anhu. Dalam pandangan saya sama sekali tidak ada alasan untuk mengkhususkan tawassul hanya dengan beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam, bahwa pendapat tersebut berdasarkan pada dua kenyataan:
Fakta yang telah saya sampaikan kepada Anda adalah bahwa telah terjadi konsensus para sahabat mengenai tawassul ini.
Bahwa tawassul kepada Allah dengan perantara orang-orang yang baik dan para ulama, pada dasarnya adalah tawassul dengan amal baik perbuatan mereka serta keistimewaan-keistimewaan yang mereka miliki. Karena seseorang tidak mungkin menjadi baik kecuali karena amal perbuatannya. Jika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan si Fulan yang ‘alim”, maka ini memandang pada ilmu yang melekat padanya. Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja telah nyata bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengisahkan tentang tiga orang yang terjebak dalam goa yang tertutup batu besar yang masing-masing bertawassul kepada Allah dengan amal perbutan mereka yang paling luhur kemudian batu itu pun bergeser. Seandainya tawassul dengan amal perbuatan baik itu tidak boleh atau dikategorikan syirik sebagaimana penilaian orang-orang yang ekstrem dalam masalah ini seperti Ibnu ‘Abdissalam dan yang sependapat dengannya maka niscaya doa mereka tidak akan terkabul dan Nabi pun tidak akan diam untuk menolak tindakan mereka setelah menceritakan kisah mereka. Berangkat dari kenyataan ini engkau akan mengetahui bahwa ayat-ayat yang dikemukakan mereka yang mengharamkan tawassul dengan para Nabi dan orang-orang shalih seperti ayat,
 مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
Kami tidak menyembah mereka, melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (QS. al-Z’Umar: 3)
فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Maka kamu janganlah menyembah seorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. al-Jin: 18)
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْء ... الآية
Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka....(QS. al-Ra’d: 14)
Dalil-dalil yang merekan lontarkan berada di luar konteks (salah sasaran). Penggunaan ayat-ayat tersebut adalah termasuk beragumentasi atas aspek yang diperselisihkan dengan menggunakan alasan yang berada di luar persoalan. Karena ayat yang mereka kemukakan adalah ayat,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى...   (الزمر : 3)
menjelaskan bahwa mereka menyembah berhala untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan, orang yang bertawassul dengan orang alim misalnya, sama sekali tidak menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa orang alim itu memiliki keistimewaan di sisi Allah dengan memiliki ilmu. Lalu ia bertawassul dengannya karena keistimewaannya tersebut. Demikian pula firman Allah,
فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا...  (الجن : 18)
ayat ini melarang selain Allah dimintaakan doa bersamaan dengan Allah seperti mengatakan “dengan Allah” dan “dengan Fulan”. Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah. Yang terjadi pada dirinya hanyalah tawassul kepada Allah dengan amal shalih yang dilakukan sebagian hamba Allah sebagaimana tiga orang yang terjebak dalam goa yang tertutup batu bertawassul dengan amal shalih mereka. Hal yang sama juga berlaku pada ayat, 
وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ ... الآية
Karena sesungguhnya kaum musyrikin berdoa kepada sesuatu yang tidak mampu mengabulkan permohonan mereka dan tidak berdoa kepada Tuhan yang akan mengabulkan permohonan mereka. Sedangkan, orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah, ia tidak berdoa kepada yang lain dan tidak melibatkan yang lain bersama Allah saat berdoa.
Jika kita telah mengetahui paparan di atas, maka akan tampak kejelasan argumentasi untuk membantah dalil-dalil yang disampaikan kelompok yang menolak tawassul, yang berada di luar konteks dari apa yang telah saya jelaskan di atas sebagaimana argumentasi mereka dengan firman Allah :
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ (17) ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ (18) يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ (19)

Tahukah kamu apa hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu adalah kekuasaan Allah. (QS. al-Infithar: 17-19)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Subhānahu wa ta’āla adalah penguasa tunggal di hari kiamat. Makhluk selain Allah tidak memiliki apa-apa. Orang yang bertawassul dengan salah seorang Nabi atau ulama tidak meyakini bahwa orang yang dijadikan bertawassul memiliki peran bersama Allah dalam urusan hari kiamat. Barangsiapa punya keyakinan bahwa salah seorang hamba, baik Nabi atau bukan, memiliki peran demikian, maka ia berada dalam kesesatan yang nyata. Demikian pula berargumentasi atas diharamkannya tawassul dengan firman Allah,
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ
Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu. (QS. Ali Imran: 128)
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرًّا وَلَا نَفْعًا
Katakanlah, “Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku. (QS. Yunus: 49)
Kedua ayat ini mengindikasikan bahwa Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki peran apapun dalam urusan Allah dan bahwa beliau tidak bisa memberi manfaat dan bahaya kepada dirinya, lalu bagaimana beliau memberi manfaat dan bahaya kepada orang lain. Kedua ayat ini tidak mengandung larangan tawassul dengan Nabi atau orang lain dari para Nabi, wali atau ulama. Allah telah menjadikan Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam al-Maqam al-Mahmûd yakni maqam syafa’ah paling besar, dan menunjukkan kepada makhluk, agar mereka memohon kepada beliau syafa’ah tersebut sekaligus berkata kepada beliau, “Mintalah kamu akan diberi dan berilah syafa’at maka syafa’atmu akan diterima.” Perintah Allah ini  terdapat dalam kitab-Nya yang mulia bahwasanya syafa’at tidak akan ada tanpa seizin Allah dan hanya untuk mendapat ridla-Nya. Demikian pula argumentasi untuk menolak tawassul dengan sabda Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam saat turun firman Allah,
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (QS. al-Syu’araa: 214)
يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ لاَ أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا, يَا فُلاَنَةُ بِنْتُ فُلاَنٍ لاَ أَمْلِكُ لَكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا
Wahai Fulan, aku tidak memiliki apa-apa dari Allah untukmu. Wahai Fulan binti Fulan, aku tidak memiliki apa-apa dari Allah untukmu.
 Ungkapan ini tiada lain kecuali mengandung penjelasan secara transparan bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak mampu memberi manfaat orang yang dikehendaki mendapat bahaya dari-Nya dan juga tidak mampu memberi bahaya orang yang dikehendaki Allah mendapat manfaat, dan juga bahwa beliau tidak memiliki apa-apa dari Allah untuk salah satu kerabatnya, apalagi orang lain. Semua orang muslim mengerti akan hal ini. Dalam hadits ini tidak ada keterangan bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak dijadikan objek tawassul kepada Allah. Karena tawassul adalah meminta sesuatu kepada yang memiliki perintah dan larangan. Dalam tawassul orang yang memohon hanya mengajukan di hadapannya sesuatu yang menjadi faktor terkabulnya doa dari Dzat yang memiliki kekuatan tunggal untuk memberi dan menolak, yakni Penguasa hari pembalasan. Demikianlah pandangan Imam al-Syaukani.

PENDAPAT SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB TENTANG DIPERBOLEHKANNYA TAWASSUL
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab pernah ditanya mengenai pendapat para ulama dalam masalah istisqa’ (meminta hujan) yang mengatakan, “Tidak apa-apa bertawassul dengan perantara orang-orang shalih.” Seperti juga pendapat Imam Ahmad bahwa hanya Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam yang boleh dijadikan media bertawassul. Meskipun  sebagaian para ulama berpendapat bahwa makhluk tidak boleh menjadi media  tawassul.”
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab memberikan jawaban, “Kedua pendapat ini memiliki perbedaan yang sangat jelas. Polemik ini bukan tema yang sedang kami bicarakan. Adapun kenyataan bahwa  sebagian orang yang memperbolehkan tawassul dengan orang-orang shalih dan sebagian mengkhususkan tawassul dengan Nabi, dan mayoritas ulama melarang tawassul dan menilainya makruh, adalah merupakan persoalan fikih. Meskipun yang benar di mata kami adalah pendapat mayoritas ulama, yakni tawassul hukumnya makruh. Namun kami tidak menolak orang yang melakukan tawassul. Sebab, dalam persoalan-persoalan ijtihad fikih tidak perlu ada pengingkaran. Yang kami ingkari hanyalah orang yang berdoa kepada makhluk melebihi berdoa kepada Allah dan orang yang mendatangi kuburan seraya meminta-minta, misalnya meminta-minta di makam Syaikh Abdul Qadir atau makam lain seraya berharap hilangnya kesulitan dan kesedihan serta diberi kebahagiaan.  Adakah korelasi hal seperti itu dengan orang yang tidak menyembah dan tidak berdoa kepada selain Allah, yang dalam doanya ia mengucapkan: “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu dengan perantara keagungan Nabi-Mu, para rasul, atau hamba-hamba-Nya yang shalih.” Atau ia datang ke sebuah kuburan yang telah dikenal atau tidak untuk berdoa di tempat itu, namun ia hanya berdoa kepada Allah semata. Yang demikian ini tidak relevan dengan yang kita ingkari, yang meminta kepada orang yang sudah meninggal.
Demikianlah kutipan dari fatwa-fatwa Syaikh al-Imam Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam kumpulan karya-karya, vol. III hlm. 68 yang diterbitkan oleh Universitas al-Imam Muhammad ibn Sa’ud al-Islamiyyah dalam tulisan mingguan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa beliau memperbolehkan tawassul. Paling jauh beliau berpendapat bahwa tawassul makruh—yang ia akui sebagai pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Dan tentunya perkara yang makruh itu jelas bukan haram apalagi dianggap bid’ah atau syirik.

SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB TIDAK BERTANGGUNG JAWAB ATAS ORANG YANG MENGAFIRKAN ORANG-ORANG YANG BERTAWASSUL
Terdapat sebuah keterangan dari Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab yang ditulis dalam risalah yang ditujukan kepada warga Qashim. Beliau mengingkari orang yang menuduhnya mengafirkan orang yang bertawassul dengan perantara orang-orang shalih. Beliau berkata, “Bahwa Sulaiman ibn Suhaim telah melontarkan fitnah bahwa saya mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah saya ucapkan dan kebanyakan hal-hal itu tidak pernah terlintas dalam benakku. Di antaranya saya dikatakan telah mengafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang shalih, saya mengafirkan Imam Bushiri hanya karena Imam Bushiri pernah berkata dalam syairnya, “Wahai makhkuk paling mulia”, dan juga dituduh membakar kitab Dalāilul Khairāt.”
Jawaban saya atas segala tuduhan di atas adalah, “Subhānaka Hādzā Buhtānun ‘Adhīm.”
Dalam risalah lain, beliau menulis jawaban kepada peserta sebuah perkumpulan. Beliau berkata, “Jika persoalan ini sedah jelas. Maka masalah-masalah yang mendapat stigma negatif dari Sulaiman bin Suhaim, diantaranya ada yang merupakan kebohongan besar, yakni perkataanku bahwa saya telah mengafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang shalih dan bahwa saya telah mengafirkan Imam Bushiri dan sebagainya. Selanjutnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menambahkan, “Jawaban saya atas tuduhan-tuduhan di muka adalah “Subhānaka Hādzā Buhtānun ‘Adhīm.”
Jawaban Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut dapat dilihat dalam risalah yang pertama dan ke sebelas dari risalah-risalah beliau bagian kelima hlm. 12-64.

TAWASSUL DENGAN JEJAK PENINGGALAN NABI
Ada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa para sahabat memohon berkah dengan peninggalan-peninggalan beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Memohon berkah ini tidak ada lain kecuali memberikan satu pengertian, yakni bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, sebab tawassul bisa dilakukan dengan beragam cara bukan hanya dengan satu cara.
Apakah Anda mengira para sahabat hanya bertawassul dengan perantara jejak peninggalan beliau, tidak dengan sosok beliau sendiri? Apakah logis jika cabang bisa dijadikan objek tawassul, tapi yang pokok tidak?
Apakah logis, jika jejak peninggalan beliau yang kemuliaannya disebabkan pemiliknya, yakni Muhammad, bisa dijadikan objek tawassul, lantas ada seseorang berkata, “Sesungguhnya beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak bisa dijadikan objek tawassul.” Subhānaka Hādzā Buhtānun ‘Adhīm.
Dalil-dalil menyangkut tema ini sangatlah banyak jumlahnya. Namun kami hanya akan menyebut nash yang paling populer. Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin ‘Umar ibn al-Khattabsangat ingin untuk dimakamkan di samping makam Rasulullah. Saat ajalnya menjelang tiba, ia mengutus anaknya, Abdullah untuk meminta izin kepada Sayyidah ‘‘Aisyah agar bisa dikubur di samping makam beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Kebetulan ‘‘Aisyah menyatakan keinginan yang sama. “Dulu saya ingin tempat itu menjadi kuburanku, dan saya akan memprioritaskan ‘Umar untuk menempatinya,” kata ‘‘Aisyah. Abdullah pun pulang memberi kabar suka cita yang besar kepada ayahnya. “Alhamdulillah, tidak ada sesuatu yang lebih penting melebihi hal itu,” ucap ‘Umar. Kisah ini secara detail bisa dilihat di Shahih al-Bukhari. Lalu apa arti keinginan besar dari ‘Umar dan ‘‘Aisyah?
Mengapa dimakamkan di dekat Rasulullah menjadi hal yang sangat diinginkan oleh ‘Umar? Hal ini tidak bisa dipahami kecuali semata-mata tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam sesudah wafat seraya mengharap keberkahan dekat dengan beliau.
Dalam riwayat lain disebutkan, Ummu Sulaim memotong mulut geriba (tempat air susu) yang beliau meminum dari wadah itu. Anas berkata, “Potongan mulut geriba itu ada pada kami.”
Bahkan diriwayatkan, para sahabat berebut untuk memungut sehelai rambut kepala beliau, saat beliau mencukurnya.
Asma’ binti Abu Bakar menyimpan jubah beliau dan berkata, “Kami membasuhnya untuk orang-orang sakit dengan harapan memohon kesembuhan dengannya.”
Cincin Rasulullah disimpan oleh Abu Bakar, ‘Umar, dan Utsman setelah beliau wafat. Dan cincin itu akhirnya jatuh ke sumur dari tangan Utsman.
Semua hadits-hadits di atas derajatnya kuat dan shahih sebagaimana akan kami jelaskan dalam bahasan memohon keberkahan (tabarruk). Yang ingin saya katakan adalah ada apa dengan perhatian para sahabat terhadap jejak-jejak peninggalan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam? (mulut geriba, rambut, keringat, jubah, cincin, dan tempat shalat). Apa maksud perhatian mereka terhadapnya? Apakah hanya sekedar kenangan, tidak lebih dan tidak kurang, atau hanya menjaga benda-benda peninggalan bersejarah untuk disimpan di museum? Jika alasan pertama sebagai jawaban, lalu mengapa mereka sangat menaruh perhatian dengannya ketika berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah saat tertimpa musibah atau penyakit? Jika alasan kedua sebagai jawaban, lalu di manakah museum itu berada dan dari mana ide baru itu sampai kepada mereka ? Subhānaka Hādzā Buhtānun ‘Adhīm.
Tidak ada tujuan lain dari para sahabat dengan menggunakan jejak-jejak peninggalan Nabi untuk dijadikan media tawassul kepada Allah saat berdoa. Hal ini karena Allah adalah Dzat Pemberi dan tempat meminta. Semua makhluk adalah hamba-Nya dan di bawah kendali-Nya, yang tidak bisa memberi apapun kepada diri mereka sendiri apalagi orang lain, kecuali atas izin Allah.

TAWASSUL DENGAN JEJAK PENINGGALAN PARA NABI ‘ALAIHIMU AL-SALĀM
Allah berfirman,    
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka, ‘Sesungguhnya tanda ia (Thalut) akan menjadi raja ialah kembalinya tabut (peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan) kepadamu. Di dalamnya terdapat ketenangan (sakinah) dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Nabi Musa dan Harun. Tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. al-Baqarah: 248)
Ibnu Katsir dalam kitab al-Tarikh-nya mengatakan, “Mengenai Tabut dalam ayat di atas Ibnu Jarir mengatakan, “Dahulu Bani Israil jika berperang dengan salah seorang musuh, maka mereka senantiasa membawa tabut al-mitsāq (peti perjanjian) yang berada dalam Qubbat al-Zaman (Qubah Zaman) sebagaimana telah dijelaskan di atas. Mereka mendapat kemenangan sebab keberkahan dari tabut al-mitsāq itu dan sebab kedamaian dan sisa-sisa peninggalan Nabi Musa dan Harun yang berada di dalamnya. Ketika dalam salah satu peperangan mereka melawan penduduk Ghaza dan ‘Asqalan, musuh berhasil mengalahkan mereka dan merebut tabut al-mitsāq dari tangan mereka.”
Ibnu Katsir juga berkata, “Dahulu Bani Israil mengalahkan musuh-musuhnya berkat tabut al-mitsāq, yang di dalamnya ada bokor dari emas yang digunakan untuk membasuh dada para Nabi.” (al-Bidayah wa al-Nihayah vol. II hlm. 8).
Dalam tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan, “Di dalam tabut itu ada tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dua papan dari Taurat, dan beberapa baju Nabi Harun. Sebagian ulama berpendapat di dalamnya ada tongkat dan sepasang sandal.” (Tafsir Ibnu Katsir vol. I hlm. 313).
Menurut Imam al-Qurthubi, bahwa Tabut diturunkan Allah kepada Nabi Adam. Tabut tersebut tetap berada di tangan Nabi Adam sampai akhirnya berada di tangan Nabi Ya’qub. Selanjutnya ia berada di tangan Bani Israil, yang dengannya mereka mampu mengalahkan orang yang menyerang mereka. Ketika mereka durhaka kepada Allah, mereka dikalahkan oleh kaum raksasa yang juga merebut Tabut tersebut (Tafsir al-Qurthubi vol. III hlm. 247).
Perlakukan kaum terdahulu terhadap Tabut ini sejatinya tidak lain adalah bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan para Nabi karena tidak ada artinya meletakkan Tabut di depan mereka kecuali dipahami sebagai bentuk tawassul. Allah Subhānahu wa ta’āla sendiri meridhai tawassul seperti ini dengan bukti Dia mengembalikannya kepada mereka dan dijadikan sebagai indikasi atas keabsahan Thalut menjadi raja. Allah tidak pernah mengingkari perlakuan mereka terhadap Tabut.

TAWASSUL NABI DENGAN KEMULIAAN DIRINYA DAN KEMULIAAN PARA NABI SERTA SHALIHIN
Dalam biografi Fathimah binti Asad, ibu dari Ali ibn Abi Thalib terdapat keterangan bahwa ketika ia meninggal, Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam menggali liang lahatnya dengan tangannya sendiri dan mengeluarkan tanahnya dengan tangannya sendiri. Ketika selesai beliau masuk dan tidur dalam posisi miring di dalamnya, lalu berkata, “Allah Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup tidak akan mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad, ajarilah ia hujjah (jawaban pertanyaan), lapangkanlah tempatnya di sana dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku, karena Engkau adalah Dzat yang paling penyayang.”
Rasulullah kemudian membacakan takbir untuk Fathimah empat kali. Kemudian beliau bersama ‘Abbas dan Abu Bakar Shiddiq radhiallāhu ‘anhuma memasukkannya ke dalam liang lahat.” (HR Thabarani dalam al-Kabīr dan al-Awsath).
Dalam sanad hadits tersebut di atas, terdapat perawi bernama Rauh ibn Sholah yang dinilai tsiqah (dapat dipercaya) oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadits ini mengandung kelemahan. Namun perawi lain adalah perawi yang shahih, sehingga disebut hadits shahih. (Majma’ al-Zawāid vol. 9 hlm. 257).
Sebagian ahli hadits berbeda pendapat menyikapi status Rauh ibn Shalah, salah seorang perawi hadits di atas. Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi tsiqah (dapat dipercaya). Pendapat al-Hakim adalah, “Ia dapat dipercaya.” Keduanya sama-sama mengkategorikan hadits tersebut sebagai hadits shahih. Demikian pula al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawāid. Perawi hadits ini sesuai dengan kriteria hadits shahih.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Thabarani dan  Ibnu ‘Abdil Barr dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu Abi Syaibah dari Jabir, dan juga diriwayatkan oleh al-Dailami dan Abu Nu’aim. Jalur-jalur periwayatan hadits ini saling menguatkan dengan kokoh dan dipercaya.
Dalam kitab Ithāfu al-Adzkiyā’ halaman 20, Syaikh al-Hafidh al-Ghimari mengatakan, “Rauh ibn Shalah ini kadar kedlaifannya tipis menurut mereka yang menilainya lemah. Seperti yang dipahami dari ungkapan-ungkapan ahli hadits. Karena itu, al-Hafidh al-Haitsami menggambarkan kedlaifan Rauh bibn Shalah dengan bahasa yang mengesankan kadar ke-dhaif-an yang ringan, sebagaimana diketahui jelas oleh orang yang biasa mengkaji kitab-kitab hadits. Hadits di atas tidak kurang dari kategori hasan, malah dalam kriteria yang ditetapkan Ibnu Hibban diklasifikasikan sebagai hadits shahih.
Hadits tersebut dapat disimpulkan di sini bahwa Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah bertawassul dengan kemuliaan para Nabi yang telah wafat. Maka dapat ditegaskan, diperbolehkannya tawassul kepada Allah dengan kemuliaan (bi al-haq) dan dengan mereka yang memiliki kemuliaan (ahlu al-haq) baik masih hidup maupun sesudah wafat.

TAWASSUL NABI SHALLALLĀHU ‘ALAIHI WA SALLAM DENGAN KEMULIAAN PARA PEMINTA
Diriwayatkan dari Abi Said al-Khudri radhiallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Siapapun yang keluar dari rumahnya untuk shalat, sambil berdoa, “Ya Allah sungguh saya memohon kepada-Mu dengan kemuliaan para peminta kepada-Mu dan dengan kemuliaan langkahku ini, karena saya tidak keluar  untuk berfoya-foya, melakukan kesombongan, pamer atau mencari prestise. Saya keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridha-Mu. Saya memohon kepada-Mu agar melindungiku dari neraka, dan mengampuni dosaku. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain Engkau,” maka Allah akan menyambutnya dan 70.000 malaikat akan memohonkan ampunan untuknya.”
Dalam kitab al-Targhīb wa al-Tarhīb vol. III hlm. 119 Imam al-Mundziri berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang mengandung pembicaraan (maqāl). Syaikhuna al-Hafidh Abu al-Hasan mengkategorikan sanad ini sebagai sanad shahih.
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Natāiju al-Afkār vol. I hlm. 727 mengatakan, “Derajat hadits ini adalah hasan yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah dalam Kitabu al-Tauhīd, juga diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dan Ibnu al--Sunni.
Imam al-‘Iraqi dalam Takhrīju Ahādits al-Ihyā’ vol. I hlm. 323 berpendapat bahwa hadits di atas sebagai hadits hasan.
Al-Hafidh al-Bushiri—dalam Zawāid Imam Ibnu Majah yang disebut Mishbāhu al-Zujājah vol. I hlm. 98—mengatakan, “Al-Hafidz Syarafuddin al-Dimyathi dalam al-Matjar al-Rābih hlm. 471 mengatakan bahwa sanad hadits di atas itu adalah hasan.
Al-Allamah al-Muhaqqiq al-Muhaddits al-Sayyid ‘Ali ibn Yahya al-‘Alawi dalam risalah kecilnya Hidāyatul Mutakhabbithīn menyatakan, “Bahwa al-Hafid Abdul Ghani al-Maqdisi menilai hadits itu sebagai hadits hasan dan Ibnu Abi Hatim menerimanya.” Dari fakta ini jelaslah bagi Anda bahwa hadits di atas telah dinilai shahih dan hasan oleh sejumlah hafidz dan imam besar hadits. Mereka adalah Ibnu Khuzaimah, al-Mundziri dan gurunya Abu al-Hasan, al-‘Iraqi, al-Bushairi (bukan penyusun Burdah), Ibnu Hajar, al-Syaraf al-Dimyathi, Abdul Ghani al-Maqdisi, dan Ibnu Abi Hatim.
Setelah pendapat para pakar di atas terungkap, adakah ruang yang tersisa untuk menilai terhadap hadits yang kredibilitasnya harus kita akui? Apakah logis bagi orang yang berakal untuk membuang penilaian yang telah ditetapkan oleh para pakar hadits besar di atas dan mengambil ucapan mereka yang bersikap tidak dewasa dalam menilai hadits.
قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْر
Musa berkata, “Maukah kamu mengambil sesuatu yang lebih rendah sebagai pengganti (dari) yang lebih baik? (QS. al-Baqarah: 61).
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada. (QS. al-Hajj: 46).

TAWASSUL DENGAN KUBURAN NABI  SHALLALLĀHU ‘ALAIHI WA SALLAM BERDASARKAN PETUNJUK SAYYIDAH ‘AISYAH
Al-Imam al-Hafidz al-Darimi dalam kitabnya al-Sunan bab Mā Akramahullāh Ta’āla Nabiyyahu Shallallāhu ‘alaihi wa sallam ba’da Mautihi berkata, “Abu Nu’man bercerita kepada kami, Sa’id ibn Zaid bercerita kepada kami, ‘Amr bin Malik al-Nukri bercerita kepada kami, Abu al-Jauzaa’ Aus bin Abdillah bercerita kepada kami, “Penduduk Madinah mengalami paceklik hebat. Kemudian mereka mengadu kepada ‘‘Aisyah. “Lihatlah kuburan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan buatlah lubang dari tempat itu menghadap ke atas hingga tidak ada penghalang antara kuburan dan langit,” perintah ‘‘Aisyah. Abu al-Jauza’ berkata, “Lalu mereka melaksanakan perintah ‘‘Aisyah. Kemudian hujan turun kepada kami hingga rumput tumbuh dan unta gemuk (unta menjadi gemuk karena pengaruh lemak, lalu disebut tahun gemuk).” (Sunan al-Daarimi vol. I hlm 43)
Jadi, tawassul dengan perantara makam Rasulullah pengertiannya bukan karena kuburan itu sendiri,  tapi dari aspek yang ada dalam kuburan itu adalah jasad makhluk paling mulia dan kekasih Tuhan semesta alam. Jadi, kuburan itu menjadi mulia sebab kedekatan agung ini dan karenanya  berhak mendapat keistimewaan yang mulia.
Berikut penjelasan tentang kualitas hadits di atas. Abu Nu’man adalah Muhammad ibn Fadhl yang dijuluki al-‘Arim. Beliau adalah guru Imam Bukhari. Dalam al-Taqrīb, al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa beliau adalah yang dipercaya namun di akhir umurnya mengalami perubahan kekuatan sehingga hapalannya melemah.
Menurut saya, kondisi di atas tidak mempengaruhi periwayatannya. Sebab, Imam Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan lebih dari 100 hadits darinya. Setelah ingatannya melemah pada masa tua, tidak ada lagi riwayat darinya. Pandangan ini dikemukakan oleh al-Daruquthni, ”Tidak ada yang memberimu informasi melebihi keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Al-Fathir: 14).
Imam al-Dzahabi membantah komentar Ibnu Hibban yang pernah menyatakan, “Bahwasanya banyak hadits munkar ada padanya.” Terkait dengan komentar Ibnu Hibban, al-Dzahabi berpendapat: “Ibnu Hibban gagal menyebutkan satu hadits munkarnya. Lalu di manakah dugaannya?” (Mizānu al-I’tidal vol. IV hlm. 8).
Adapun Sa’id ibn Zaid, ia adalah figur yang sangat jujur namun terkadang salah mengutip kalimat hadits. Demikian pula profil ‘Amr ibn Malik al-Nukri. Sebagaimana penilaian Ibnu Hajar mengenai keduanya dalam dalam kitab al-Taqrib.
Ulama menetapkan bahwa ungkapan Shaduuq Yahimu  (orang jujur, tapi msih dicurigai) adalah termasuk ungkapan-ungkapan untuk memberikan kepercayaan bukan ungkapan untuk menilai lemah. (Tadribur Raawi).
Adapun Abul Jauzaa’—yakni Aus ibn Abdillah al-Rib’i—ia termasuk figur yang dapat dipercaya dari para perawi Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Berarti sanad hadits di atas tidak mengandung masalah, malah dalam pandangan saya dapat dikategorikan baik. Para ulama menerima dan menjadikan penguat banyak sanad semisalnya dan dengan para perawi yang kualitasnya lebih rendah dari sanad hadits ini.

Sayyidah ‘‘Aisyah dan Pandangan Beliau terhadap Kuburan Nabi
Sebagian ulama ada yang berpendapat, “Persoalan tawassul dengan perantara makam Nabi Muhammad itu disandarkan pada ‘‘Aisyah. Beliau adalah seorang sahabat. Padahal, perbuatan sahabat bukan hujjah.” Terhadap pendapat ini, maka jawabannya adalah bahwa atsar tersebut berstatus hadits mauquf. Meskipun itu opini ‘‘Aisyah, namun beliau dikenal sebagai perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang luas dan tindakannya dilakukan di kota Madinah di tengah lingkungan para sahabat. Dari kisah yang terkandung dalam atsar ini cukup bagi kita untuk menjadikannya sebagai dalil bahwa ‘‘Aisyah Ummul Mukminin mengetahui bahwa sesudah wafat, Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam senantiasa menyayangi dan memberi syafa’at pada umatnya, dan bahwa orang yang berziarah ke kuburannya dan memohon syafa’atnya akan diberi syafa’at oleh beliau, sebagaimana praktek yang telah dilakukan Ummul Mukminin ‘‘Aisyah.
Tindakan ‘‘Aisyah membuat lubang pada tempat makam Rasulullah tidak dikategorikan kemusyrikan atau perantara kemusyrikan sebagaimana tuduhan yang disuarakan orang-orang yang suka mengafirkan dan menuduh sesat. Sebab, ‘‘Aisyah dan orang yang menyaksikannya bukan termasuk mereka yang buta terhadap kemusyrikan dan hal-hal yang mengantar kepada kemusyrikan.
Kisah di atas membantah pandangan kalangan kelompok yang berpendapat haram. Kisah ini juga menegaskan bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, di dalam kuburnya, sangat memperhatikan umatnya sampai sesudah wafat. Salah satu buktinya adalah riwayat dari ‘‘Aisyah. Ummul Mukminin ‘‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami dan ayahku. Ketika ‘Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar.” (HR. Ahmad).
Al-Hafidz al-Haitsami menyatakan, “Para perawi atsar di atas itu sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih.” (Majma’ al-Zawāid vol. VIII hlm. 26). Al-Hakim meriwayatkanya dalam  al-Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih sesuai kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Al-Dzahabi sama sekali tidak mengkritiknya. (Majma’ al-Zawāid vol. IV hlm. 7 ).
‘‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa tujuan, justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui siapakah yang orang yang berada di dekat kuburan mereka. Nabi pernah bersabda kepada Mu’adz saat diutus  ke Yaman,
فَلَعَلَّكَ تَمُرُّ بِقَبْرِيْ وَمَسْجِدِيْ
Semoga engkau kelak bisa melewati kuburan dan masjidku ini. (HR Ahmad dan Thabarani).
Para  perawi dari keduanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya kecuali Yazid yang tidak pernah mendengar dari Mu’adz. (Majma’ al-Zawāid vol. X hlm. 55). Ketika Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, Mu’adz mendatangi kuburannya sambil menangis. Tindakan Mu’adz ini diketahui oleh ‘Umar ibn al-Khattab. Lalu keduanya terlibat dalam pembicaraan sebagaimana diriwayatkan oleh Zaid ibn Aslam dari ayahnya yang berkata, “‘Umar pergi ke masjid dan melihat Mu’adz sedang menangis di dekat kuburan Nabi.“ “Apa yang membuatmu menangis?” tanya ‘Umar. Saya mendengar hadits Rasulullah yaitu,
اليَسِيْرُ مِنَ الرِّيَاءِ شِرْكٌ
Sedikit dari riya adalah syirik.
Hakim berkata, ”Hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illah (keganjilan atau kecacatan dalam teks atau isnad). Imam al-Dzahabi juga sependapat dengan al-Hakim bahwa hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illah. (Al-Mustadrok vol. I hlm. 4 ).
Imam al-Mundziri berkata dalam kitab al-Targhib al-Tarhib bahwa hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Baihaqi, dan al-Hakim. Al-Hakim  berkata, “Hadits ini shahih dan tidak memiliki ‘illah.” dan al-Mundziri sepakat dengan pandangan al-Hakim (al-Targhib al-Tarhib vol. I hlm. 32 ).

TAWASSUL DENGAN PERANTARA MAKAM NABI PADA ERA KHALIFAH ‘UMAR
Al-Hafidz Abu Bakar al-Baihaqi mengatakan, “Abu Nashr ibn Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi memberi kabar kepadaku. Keduanya mengatakan bahwa Abu ‘Umar ibn Mathar telah menceritakan kepada mereka, dari Ibrahim ibn ‘Ali al-Dzuhali, dari Yahya ibn Yahya, dari Abu Mu’awiyah dari A’masy dari Abi Shalih dari Malik, ia berkata, “Pada masa khalifah ‘Umar ibn al- Khaththab penduduk mengalami paceklik, lalu seorang lelaki datang ke kuburan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah karena umatmu banyak yang meninggal dunia.” Rasulullah pun datang kepadanya dalam mimpi dan berkata,
إِئْتِ عُمَرَ فَاقْرَئْهُ مِنِّيْ السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ مَسْقُوْنَ, وَقَالَ لَهُ : عَلَيْكَ بِالْكَيْسِ الْكَيْسِ
Datangilah ‘Umar, sampaikanlah salam untuknya dariku dan kabarkan penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan pada ‘Umar, “Kamu harus tetap dengan orang yang pintar, orang yang pintar! 
Lelaki itu pun mendatangi ‘Umar menceritakan apa yang dialaminya. “Ya Tuhanku, saya tidak bermalas-malasan kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu mengerjakannya,” kata ‘Umar. Demikian dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah vol. I hlm. 91 pada bab Hawādits ‘Aam  Tsamāniyata ‘Asyarā.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah—dengan sanad shahih—dari Abu Shalih al-Samman, dari Malik al-Dari, sekretaris pribadi ‘Umar ibn al-Khattab. Dia mengatakan, “Pernah terjadi pada musim kemarau pada masa ‘Umar bin Khattab. Lalu datanglah seorang laki-laki ke makam Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk umatmu karena mereka telah menderita. Kemudian dia bermimpi didatangi Rasulullah yang bersabda,
إِئْتِ عُمَرَ... الحديث
Datangilah ‘Umar...”
Saif dalam al-Futûh meriwayatkan bahwa lelaki yang bermimpi bertemu Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah Bilal ibn al-Harits al-Muzani, salah seorang sahabat. Ibnu Hajar berpendapat bahwa sanad hadits ini shahih. (Shahih al-Bukhāri dalam Kitābu al-Istisqā’dan Fathul Bāri vol. II hlm. 415).
Tidak seorang imam pun dari para perawi hadits di atas dan para imam berikutnya yang telah disebutkan dengan beberapa karya mereka yang berpendapat bahwa tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah tindakan kufur dan sesat dan tidak ada seorang pun yang menilai matan (teks) hadits mengandung cacat. Ibnu Hajar al-‘Asqalani telah mengemukakan hadits ini dan menilainya sebagai hadits shahih dan beliau adalah sosok yang kapasitas keilmuan, kelebihan, dan bobotnya di antara para pakar hadits telah diakui.

KAUM MUSLIMIN BERTAWASSUL DENGAN PERANTARA NABI DALAM PERANG YAMAMAH
Al-Hafidz Ibnu Katsir menceritakan bahwa slogan kaum muslimin dalam perang Yamamah adalah ucapan YĀ MUHAMMADĀH (Wahai Nabi Muhammad, tolonglah kami). Ibnu Katsir juga berkata, “Khalid ibn al-Walid melakukan serangan hingga melampaui pasukan Musailimah dan bergerak menuju Musailamah. Ia berusaha mencari celah untuk sampai kepada Musailamah kemudian membunuhnya lalu kembali dan berdiri di antara dua barisan. Ia menyeru mengajak duel. Ia berkata: “Saya anak al-Walid al-‘Aud, saya anak ‘Amir dan Zaid”. Lalu Khalid mengumandangkan slogan kaum muslimin dimana slogannya adalah YĀ MUHAMMADĀH.” (al-Bidāyah wa al-Nihāyah vol. VI hlm. 324).



TAWASSUL DENGAN NABI KETIKA SEDANG SAKIT DAN MENGALAMI MUSIBAH
Diriwayatkan dari al-Haitsam ibn Khanas, ia berkata, “Saya berada bersama Abdullah ibn ‘Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami kram. “Sebutlah orang yang paling kamu cintai!” saran seorang lelaki kepadanya. “Yā Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu ‘Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu ‘Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya. (Disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Kalim al-Thayyib pada bab al-Faslh al-Sābi’ wa al- Arba’īn hlm. 165). Inilah contoh tawassul dengan menggunakan ungkapan “Ya Muhammad” yang disebut tawassul berbentuk panggilan (nidā’). ***

TAWASSUL DENGAN PERANTARA SELAIN NABI SHALLALLĀHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Dari ‘Utbah ibn Ghazwan dari Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata,
إِذَا أَضَلَّ أَحَدُكُمْ شَيْئًا أَوْ اَرَادَ عَوْنًا وَهُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ بِهَا اَنِيْسٌ فَلْيَقُلْ : يَا عِبَادَ اللهِ أَغِيْثُوْنِيْ, فَإِنَّ لِلَّهِ عِبَادًا لاَ نَرَاهُمْ
Jika salah satu dari kalian kehilangan sesuatu atau mengharapkan pertolongan pada saat ia berada di tempat tak berpenghuni, maka bacalah, “Wahai para hamba Allah, berilah aku pertolongan. Karena Allah memiliki para hamba yang kalian tidak mampu melihatnya.”
Bacaan doa ini telah dibuktikan mujarab. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Thabarani. Para perawinya dikategorikan dapat dipercaya hanya saja ada sebagian dianggap lemah. Namun Yazid ibn ‘Ali tidak pernah berjumpa dengan ‘Utbah.
Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً فِيْ الْأَرْضِ سِوَى الْخَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ مَا يَسْقُطُ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ, فَإِذَا أَصَابَ اَحَدُكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ : "اَعِيْنُوْنِيْ يَا عِبَادَ اللهِ !"
Sesungguhnya Allah mempunyai para malaikat yang bertugas mencatat daun yang jatuh dari pohon. Jika salah seorang dari kalian mengalami kepincangan di padang pasir maka berserulah, “Bantulah aku, wahai para hamba Allah!”
 Hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabarani dan para perawinya dapat dipercaya.
Dari Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata, "Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا انْفَلَتَتْ جَابَّةُ أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ : "يَا عِبَادَ اللهِ, إِحْبِسُوْا ! يَا عِبَادَ اللهِ, إِحْبِسُوْا !"  فَإِنَّ لِلَّهِ حَاضِرًا فِيْ اْلأَرْضِ سَيَحْبِسُهُ 
Jika binatang tunggangan kamu lepas di padang sahara, maka berteriaklah : Wahai para hamba Allah tangkaplah, wahai para hamba Allah tangkaplah !, karena ada malaikat Allah di bumi yang akan menangkapnya. (HR Abu Ya’la). Al-Thabarani menambahkan,
وَسَيَحْبِسُهُ عَلَيْكُمْ
Malaikat itu akan menangkapnya untuk kalian.
Dalam hadits ini ada Ma’ruf bin Hassan yang statusnya lemah. Majma’ul Zawāid wa Manba’ul Fawāid karya al-Hafidh bin ‘Ali ibn Abi Bakar al-Haitsami Vol. X hlm. 132. Ini juga termasuk tawassul dengan cara memanggil.
Terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam setelah dua rakaat fajar membaca doa,
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيْلَ وَإِسْرَفِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَ مُحّمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ
Ya Allah, Tuhan Jibril, Israfil, Mikail, dan Muhammad, saya berlindung kepada-Mu dari api neraka.
Imam al-Nawawi dalam al-Adzkar mengatakan, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu al- Sunni.” Setelah melakukan penelitian hadits, al-Hafidz Imam al-Nawawi mengatakan, “Hadits ini adalah hadits hasan.” (Syarhul Adzkār karya Ibnu ‘Ilān vol. II hlm. 139).
Penyebutan secara khusus Jibril, Israfil, Mikail, dan Muhammad mengandung arti tawassul dengan mereka. Seolah-olah Nabi berkata, “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan Jibril dan seterusnya....”
Ibnu ‘Ilan telah mengisyaratkan hal ini dalam Syarah al-Adzkār bahwa dalam hadits itu terkandung makna disyariatkannya bertawassul kepada Allah dengan sifat ketuhanan-Nya, dengan ruh-ruh yang agung. Ibnu ‘Ilan dalam Syarah al-Adzkār vol. II hlm. 29 menegaskan disyari’atkannya tawassul. Ia menyatakan, “Hadits ini mengandung tawassul dengan kemuliaan orang-orang baik secara umum dari para peminta/orang yang suka berdoa. Apalagi jika orang-orang baik itu dari kelompok para Nabi dan Rasul.” ***

MAKNA TAWASSUL ‘UMAR DENGAN PERANTARA ‘ABBAS
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan sebuah hadits dari Anas radhiallāhu ‘anhu bahwa ketika penduduk Madinah mengalami paceklik, ‘Umar ibn al-Khattabmemohon hujan dengan bertawassul melalui perantara keagungan ‘Abbas ibn ‘Abdil Muththallib. Ia berdoa, “Ya Allah, dulu kami bertawassul kepada-Mu dengan keagungan Nabi-Mu, lalu Engkau turunkan hujan untuk kami. Dan sekarang saya bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu. Maka mohon berilah kami hujan.”
Zubair ibn al-Bakkar meriwayatkan kisah tersebut di atas dalam al-Ansāb, melalui jalur periwayatan selain Anas ibn Malik dengan redaksi hadits yang lebih lengkap daripada riwayat yang ada pada Shahih al-Bukhari. Dan disebutkan secara ringkas, “Dari Abdillah ibn ‘Umar, ia berkata, “Pada tahun paceklik, ‘Umar bin al-Khattabmemohon hujan dengan bertawassul pada al-’Abbas bin ‘Abdil Muththallib. ‘Umar berbicara di depan kaum muslimin, “Saudara sekalian, sesungguhnya Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam memandang ‘Abbas sebagaimana anak memandang orang tua. Maka, wahai saudara sekalian, teladanilah Rasulullah menyangkut paman beliau ‘Abbas dan jadikanlah ia sebagai perantara kepada Allah. Berdoalah wahai ‘Abbas!” Di antara doa ‘Abbas adalah,
اللَّهُمَّ إِنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَ لَمْ يَكْشِفْ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ, وَقَدْ تَوَجَّهَ الْقَوْمُ بِيْ إِلَيْكَ لِمَكَانِيْ مِنْ نَبِيِّكَ وَهَذِهِ أَيْدِيْنَا إِلَيْكَ بِالذُّنُوْبِ وَنَوَاصِيْنَا إِلَيْكَ بِالتَّوْبَةِ فَاسْقِنَا الْغَيْثَ وَاحْفَظْ اللَّهُمَّ نَبِيَّكَ فِيْ عَمِّهِ
Ya Allah, sesungguhnya bencana tidak menimpa kecuali akibat dosa dan tidak akan hilang bencana itu kecuali dengan bertaubat. Dan masyarakat telah bertawassul denganku kepada-Mu karena kedudukanku di sisi Nabi-Mu.  Ini adalah tangan-tangan kami yang berlumuran dosa datang kepada-Mu dan inilah ubun-ubun kami yang ingin bertaubat kepada-Mu. Siramilah kami dengan air hujan dan jagalah, ya Allah, kemuliaan Nabi-Mu pada pamannya.
Akhirnya, langit pun menjadi mendung seperti gunung yang menurunkan hujan hingga bumi menjadi subur dan masyarakat bisa hidup. Mereka datang dan mengusap-usap ‘Abbas sambil berkata, “Selamat untukmu, wahai pemberi siraman hujan tanah Haramain. Kemudian ‘Umar ibn al-Khattab berkata, “Demi Allah, ‘Abbas ini adalah perantara menuju kepada Allah dan kedudukan mulia di sisi Allah diberikan kepadanya.” Berkenaan dengan ini, ‘Abbas ibn ‘Utbah putra saudara lelaki ‘Abbas lau melantunkan bait-bait syair, diantaranya berbunyi,
بِعَمِّيْ سَقَى اللهُ الْحِجَازَ وَأَهْلَهُ                          عَشِيَّةً يَسْتَقِى بِشَيْبَتِهِ عُمَرُ
Karena kemuliaan pamanku, Allah menyirami Hijaz dan penduduknya,
Di sore hari ‘Umar dengan ubannya memohon hujan.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, dalam sebagian riwayat disebutkan, setalah dibacakan tawassul langit pun mendung penuh awan seperti tumpukan gunung sehingga lubang-lubang rata dengan anak bukit, bumi subur, dan manusia bisa hidup. ‘Umar berkata, “Demi Allah, ‘Abbas ini adalah perantara menuju kepada Allah dan kedudukannya mulia di sisi Allah.” Hassan ibn Tsabit menyatakan,
سَأَلَ الْإِمَامُ وَقَدْ تَتَابَعَ جَدْبُنَا                                        فَسَقَى الْغَمَامُ بِغُرَّةِ الْعَبَّاسِ
عَمِّ النَّبِيِّ وَصُنْوِ وَالِدِهِ الَّذِيْ                                        وَرِثَ النَّبِيَّ بِذَاكَ دُوْنَ النَّاسِ
أَحْيَا الْإِلَهُ بِهِ الْبِلاَدَ فَأَصْبَحَتْ                                      مُخْضَرَةَ الْأَجْنَابِ بَعْدَ الْيَاسِ 
Sang Imam (‘Umar bin Khattab) memohon pada saat paceklik datang bertubi-tubi.
Akhirnya mendung menyiramkan airnya berkat kemuliaan cahaya wajah ‘Abbas,
Paman Nabi, dan saudara ayah Nabi
Yang mewarisi beliau, bukan orang lain
Berkat ‘Abbas, Allah menghidupkan negara
Hingga sudut-sudut negara menjadi hijau sesudah merana.”

Fadhl ibn ‘Abbas ibn ‘Utbah berkata,
بِعَمِّى سَقَى اللهُ الْحَجَازَ وَأَهْلَهَ                          عَشِيَّةً يَسْتَقِى بِشَيْتَتِهِ عُمَرُ
تَوَجَّهَ بِالْعَبَّاسِ فِيْ الْجَدْبِ رَاغِبًا                                  فَمَاكَرَّ حَتَّى جَاءَ بِالدَّيْمَةِ الْمَطَرُ
Berkat pamanku, Allah menurunkan hujan untuk Hijaz dan penduduknya.
Di saat sore hari, ‘Umar memohon hujan dengan ubannya.
‘Umar bertawassul dengan ‘Abbas pada musim paceklik seraya memohon.
‘Umar belum beranjak pergi hingga hujan turun terus-menerus turun ke bumi.
Dalam salah satu riwayat diterangkan, orang-orang mendatangi ‘Abbas sambil mengusap-usap kaki dan tangannya seraya berkata, “Selamat untukmu, wahai orang yang menyirami tanah Haramain.” Demikianlah keterangan dari al-Isti’ab karya Abdul Barr yang menceritakan tentang biografi Ibnu ‘Abbas.
Sebenarnya, ‘Umar berhak memimpin kaum muslimin  dalam istisqa’. Namun, ‘Umar melepas haknya dan mendorong ‘Abbas untuk istisqa’ sebagai bentuk penghormatan terhadap Rasulullah dan keluarga beliau dan mempriotaskan paman beliau atas dirinya sebagai upaya maksimal dalam bertawassul dengan Rasulullah. ‘Umar juga menganjurkan kaum muslimin untuk menjadikan ‘Abbas sebagai mediator kepada Allah. Demikian pula ‘Umar menjadikan ‘Abbas sebagai perantaraan dengan memprioritaskannya untuk berdoa dalam rangka memposisikannya dalam posisi Rasulullah saat beliau masih hidup. Kemudian ‘Abbas memohonkan hujan untuk kaum muslimin di tempat shalat ‘Id agar lebih maksimal dalam memuliakan Nabi dan menyanjung keutamaan keluarga beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
‘Umar menegaskan sikapnya itu dalam sebuah doanya, “Ya Allah, dulu kami bertawassul kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu, lalu Engkau memberi kami hujan. Dan kini kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu, maka turunkanlah kami hujan.” Yakni, dulu kami bertawassul kepada-Mu dengan keluarnya beliau bersama kaum muslimin ke tempat shalat, doa beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam buat mereka dan shalat beliau bersama mereka. Dan ketika hal ini tidak bisa kami realisasikan akibat wafatnya beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka saya mengajukan figur dari keluarga beliau agar doa lebih diterima dan dikabulkan.
Ketika ‘Abbas berdoa, ia bertawassul dengan Rasulullah dimana ia berdoa, “Kaum muslimin ber-taqarrub denganku karena kedudukanku dari Nabi yakni hubungan familiku dengannya. Maka, jagalah Nabi-Mu, Ya Allah, menyangkut paman Nabinya (yakni terimalah doaku karena kemuliaan Nabi-Mu Shallallāhu ‘alaihi wa sallam)”.
Persoalan di atas merupakan persoalan yang menyangkut istisqa’ dan tidak ada relasinya dengan tawassul yang menjadi tema diskusi kami dan terjadi pro-kontra di dalamnya. Fakta ini adalah persoalan yang diketahui oleh setiap orang yang memiliki dua mata. Karena peristiwa di atas mengindikasikan dengan jelas fakta ini. Karena penduduk Madinah tertimpa paceklik dan membutuhkan pertolongan dengan shalat istisqa’. Shalat istisqa’ membutuhkan seorang imam yang memimpin shalat dan mendoakan mereka mereka serta menegakkan syi’ar islam yang dahulu telah ditegakkan Nabi semasa hidup di dunia, sebagaimana syi’ar-syi’ar islam yang lain seperti imamah, shalat jum’at, dan khutbah. Ketiganya merupakan tugas-tugas taklifiyah yang tidak bisa dikerjakan oleh mereka yang berada di alam barzakh, akibat terputusnya taklif dan kesibukan mereka dengan sesuatu yang lebih besar.
Siapa saja yang memahami ucapan Amirul Mukminin, ‘Umar ibn al-Khattab, bahwasanya ia hanya bertawassul dengan ‘Abbas—tidak dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam—karena ‘Abbas masih hidup sedang Nabi telah wafat – berarti pemahamannya sungguh salah, dikuasai oleh keraguannya, dan terpengaruh oleh fanatisme pendapatnya sendiri. Sebab, ‘Umar tidak bertawassul dengan ‘Abbas kecuali karena ada hubungan kekerabatan dengan Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Hal ini bisa diketahui dalam ucapan ‘Umar, “Sesungguhnya saya bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu, maka mohon turunkan hujan kepada kami.” Dengan demikian, ‘Umar telah bertawassul dengan Rasulullah dengan cara paling maksimal.
Sungguh sangat jauh dari kebenaran mereka yang memvonis musyrik seseorang yang bertawassul dengan orang mati padahal mereka memperbolehkan tawassul dengan orang hidup. Sebab, jika tawassul dikategorikan kemusyrikan maka tidak akan diperbolehkan baik dengan orang hidup atau mati. Bayangkan saja, bukankah meyakini ketuhanan dan penyembahan kepada selain Allah dari Nabi, raja, atau wali adalah tindakan syirik dan kufur yang tidak diperkenankan baik dalam keadaan hidup atau sudah mati.
Apakah Anda pernah mendengar seseorang berkata bahwa meyakini ketuhanan kepada selain Allah diperbolehkan jika ia masih hidup. Jika telah mati dikategorikan musyrik.
Anda telah mengetahui bahwa menjadikan orang yang diagungkan sebagai mediator kepada Allah bukan berarti penyembahan terhadap mediator itu kecuali jika orang yang bertawassul meyakini bahwa perantara itu adalah Tuhan, sebagaimana keyakinan para penyembah berhala terhadap berhala mereka. Jika tidak memiliki keyakinan demikian dan karena ia diperintahkan Allah untuk menjadikan mediator, maka tindakan ini berarti penyembahan terhadap yang memberi perintah (Allah).

KISAH AL-‘UTBI DALAM BERTAWASSUL
Al-Imam al-Hafidz al-Syaikh ‘Imaduddin Ibnu Katsir mengatakan, “Sekelompok ulama, di antaranya Syaikh Abu al-Manshur al-Shabbagh dalam kitabnya al-Syāmil menuturkan sebuah kisah dari al-‘Utbi yang mengatakan, “Saya sedang duduk di samping kuburan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Lalu datanglah seorang A’rabi (penduduk pedalaman Arab) kepadanya, “Assalamu’alaika, ya Rasulullah! Saya mendengar Allah berfirman,
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Sesungguhnya jika mereka menganiaya dirinya datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentu mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. (QS. al-Nisa: 64)
dan saya datang kepadamu untuk memohonkan ampunan atas dosaku dan memohon syafa’at denganmu kepada Tuhanku.” Selanjutnya A’rabi tersebut mengumandangkan bait-bait syair,
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ                                   فَطَابَ مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ
نَفْسِيْ الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ                           فِيْهِ الْعَفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ
Wahai orang yang tulang belulangnya dikubur di tanah datar,
berkat keharumannya, tanah rata dan bukit semerbak mewangi.
Diriku jadi tebusan untuk kuburan yang engkau tinggal di dalamnya.
Di dalam kuburmu terdapat sifat bersih dan kedermawanan.
Kemudian A’rabi tadi pergi. Sesudah kepergiannya, saya tertidur dan bermimpi bertemu Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Kejarlah si A’rabi dan berilah kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Nawawi dalam kitabnya yang populer al-Īdhāh pada bab VI hlm. 498. juga diriwayatkan oleh al-Hafidz ‘Imaduddin Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang masyhur ketika menafsirkan ayat,
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ...  الآية
Syaikh Abu Muhammad Ibnu Qudamah juga meriwayatkannya dalam kitabnya al-Mughni vol. III hlm. 556. Syaikh Abu Al-Faraj Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Syarah al-Kabīr vol. III hlm. 495, dan Syaikh Manshur ibn Yunus al-Bahuti dalam kitabnya yang dikenal dengan nama Kasysyāf al-Qinā  vol. V hlm. 30, yang merupakan salah satu kitab paling populer dalam madzhab Hanbali vol. V hlm. 30 juga mengutip kisah dalam hadits di atas.
Al-Imam al-Qurthubi—mufassir kenamaan dan rujukan para mufassir—menyebutkan sebuah kisah serupa dalam tafsirnya yang dikenal dengan nama al-Jāmi’ li Ahkām. Ia mengatakan, “Abu Shadiq meriwayatkan dari Ali yang berkata, “Tiga hari setelah kami mengubur jasad Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, datang kepadaku seorang A’rabi. Ia merebahkan tubuhnya pada kuburan beliau dan menabur-naburkan tanah kuburan di atas kepalanya sambil berkata, “Wahai Rasulullah! Engkau bersabda maka kami mendengar sabdamu. Engkau hapal firman Tuhanmu maka kami pun hapal apa yang dari Allah dan darimu. Dan salah satu ayat yang turun kepadamu  adalah,
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ... الآية
Sungguh saya telah berbuat dzalim kepada diriku sendiri dan saya datang kepadamu untuk memohonkan ampunan untukku." Kemudian dari arah kubur muncul suara, “Sesungguhnya engkau telah mendapat ampunan.” (Tafsir al-Qurthubi vol. V hlm. 265)
Kisah di atas adalah kisah al-‘Utbi dan telah dikutip oleh para ulama seperti disebut di atas . Baik kisah ini dikategorikan shahih atau dhaif dari aspek sanad yang dijadikan pijakan para pakar hadits dalam menentukan hukum hadits apa saja, maka kami bertanya-tanya, “Apakah para ulama di muka telah mengutip kekufuran dan kesesatan? Atau mengutip keterangan yang mendorong menuju penyembahan berhala dan kuburan?” Jika faktanya memang demikian, lalu di manakah kredibilitas mereka dan kitab-kitab karya mereka? Subhānaka Hādzā Buhtānun ‘Aadhīm.

BAIT SYAIR AL-‘UTBI PADA JENDELA MAKAM NABI
Berikut dua bait yang disenandungkan oleh orang Arab Baduwi ketika ia berkunjung kepada Nabi yang telah diriwatkan oleh ‘Utba yaitu,
Wahai orang yang tulang belulangnya dikubur di tanah datar.
berkat keharumannya, tanah rata dan bukit semerbak mewangi.
Diriku jadi tebusan untuk kuburan yang engkau tinggal di dalamnya.
Di dalam kuburmu terdapat sifat bersih dan kedermawanan.
Karena karunia Allah, bait-bait ini tertulis dalam al-muwajjahah al-Nabawiyyah al-Syarifah pada tiang yang terletak antara jeruji kamar Nabi yang dapat dilihat oleh orang yang berada dalam jarak jauh atau dekat semenjak ratusan tahun silam sampai pada era almarhum Raja ‘Abdul ‘Aziz, Raja Sa’ud, Raja Faishal, Raja Khalid, dan Raja Fahd, pelayan “al-Haramaian al-Syarifain”. Dan atas izin Allah, berdasarkan instruksi khādimul haramain, tulisan itu akan tetap dilestarikan pada setiap sesuatu yang tercantum di Masjid Nabawi dan tidak menghilangkan peninggalan apapun dari peninggalan masa lalu. ***

KESIMPULAN TENTANG HAKIKAT TAWASSUL
Kesimpulan dari paparan di atas adalah tidak disangsikan lagi bahwa Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan yang tinggi dan derajat yang luhur di sisi Allah. Lalu, faktor syar’i atau logika apa yang menghalangi untuk bertawassul dengan beliau? Apalagi ada dalil-dalil yang menetapkan bolehnya bertawassul dengan beliau di dunia dan akhirat. Saat bertawassul kami tidak memohon kepada selain Allah dan tidak berdoa kecuali kepada-Nya. Kami memohon kepada Allah dengan perantaraan sesuatu yang dicintai Allah, apapun bentuknya. Suatu kali kami memohon kepada Allah dengan perantaraan amal shalih, karena Allah mencintainya. Dan dalam waktu yang lain kami memohon kepada-Nya dengan perantaraan makhluknya yang Dia cintai, sebagaimana dalam hadits tentang Nabi Adam yang telah disebutkan sebelumnya, hadits tentang Fathimah binti Asad yang telah kami sebutkan dan dalam hadits ‘Utsman ibn Hanif di muka. Adakalanya kami juga memohon kepada Allah dengan perantaraan asmaul husna, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللهُ
Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan Engkau adalah Allah
atau dengan sifat-Nya atau perbuatan-Nya seperti dalam hadits lain,
أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ
Aku berlindung kepadamu dengan perantaraan ridha-Mu dari murka-Mu dan dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu.
 Tawassul tidak terbatas pada ruang sempit sebagaimana asumsi mereka yang keras kepala.
Rahasia dari tawassul di atas adalah bahwa segala sesuatu yang dicintai Allah sah untuk dijadikan objek tawassul. Demikian pula setiap orang yang dicintai Allah, baik Nabi atau wali. Hal ini adalah sesuatu yang jelas bagi setiap orang yang memiliki fitrah yang baik dan tidak bertentangan dengan logika serta nash. Justru akal dan nash saling memperkuat dalam membolehkan tawassul. Dalam seluruh tawassul di muka, yang diminta adalah Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bukan Nabi, wali, orang hidup, atau orang mati.
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
Katakanlah, “Semuanya (datng) dari sisi Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun? (QS. al-Nisaa: 78)
Jika tawassul diperkenankan dengan amal shalih, lebih-lebih dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam karena beliau adalah makhluk paling utama sedang amal shalih termasuk makhluk, dan kecintaan Allah kepada beliau lebih besar daripada kepada amal shalih dan yang lain. Maka, cukup aneh ada yang mengingkari hukum tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam sedang teks hadits tidak memberikan kesimpulan lebih dari bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan di sisi Allah, dan orang yang melakukan tawassul tidak menghendaki kecuali pengertian seperti ini. Barangsiapa mengingkari kedudukan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam di sisi Allah, ia telah kafir sebagaimana kami kemukakan sebelumnya.
Walhasil, persoalan tawassul mengindikasikan keluhuran dan kecintaan objek yang dijadikan tawassul. Bertawassul dengan Nabi pada substansinya adalah karena keluhurannya di sisi Allah dan kecintaan Allah kepadanya. Hal ini adalah sesuatu yang tidak diragukan lagi, di samping bahwa tawassul dengan amal shalih telah disepakati bersama. Maka mengapa kita tidak mengatakan bahwa orang yang bertawassul dengan para Nabi atau orang-orang shalih adalah bertawassul dengan amal perbuatan mereka yang dicintai Allah, dan sungguh telah ada hadits tentang orang-orang yang terjebak dalam goa, sehingga dicapai titik temu dari dua pandangan yang berseberangan?
Tidak disangsikan lagi bahwa orang yang bertawassul dengan orang-orang shalih pada dasarnya bertawassul dengan mereka dari aspek bahwa mereka adalah orang shalih, sehingga pada akhirnya persoalan ini kembali kepada amal shalih yang disepakati boleh dijadikan objek tawassul, sebagaimana saya kemukakan pada awal pembahasan masalah ini.

SYUBHAT YANG HARUS DITOLAK
 Beberapa hadits dan atsar di atas semuanya menetapkan dan menguatkan adanya tawassul. Jika dikatakan bahwa tawassul khusus pada saat beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam  masih hidup, maka harus diketahui bahwa pengkhususan ini tidak memiliki argumentasi yang kuat. Apalagi ruh—yang dengannya ada perasaan dan gerakan—tetap hidup meskipun jasadanya telah mati.
Dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah, mayat itu sesungguhnya bisa mendengar, merasakan, memiliki kesadaran, memperoleh manfaat dari kebaikan, bergembira, merasa sakit karena keburukan, dan sedih. Hal ini berlaku untuk semua manusia. Karena itu pada saat perang Badar, Nabi memanggil-manggil orang-orang kafir Quraisy yang dikubur di dalam sumur Badar. “Wahai ‘Utbah! Wahai Syaibah! Wahai Rabi’ah!” teriak Nabi. “Mengapa engkau memanggil manggil mereka yang telah menjadi bangkai?” tanya seseorang. “Kalian tidak lebih mendengar dibanding mereka, tetapi mereka tidak mampu menjawab,” jawab Nabi.
Jika kondisi yang dialami mayat itu berlaku umum untuk semua manusia, maka bagaimana dengan manusia paling utama, paling mulia, dan paling agung? Tidak diragukan lagi bahwa beliau lebih sempurna perasaan dan persepsinya dan lebih kuat kesadarannya. Ditambah lagi terdapat penjelasan dalam banyak hadits bahwa Nabi mampu mendengar percakapan, menjawab salam, disampaikanya amal perbuatan umat kepada beliau dan bahwasanya beliau memohonkan ampunan atas dosa-dosa umatnya dan memuji Allah atas amal-amal baik mereka.
Kualitas seseorang pada dasarnya terletak pada tingkat kesadaran, perasaan, dan persepsinya, bukan pada hidupnya. Karena itu kita melihat banyak orang hidup dicabut oleh Allah perasaan dan kesadaran kemanusiannya ditambah karakter yang bodoh dan minimnya perasaan, namun mereka tidak bisa diambil manfaat malah mereka berada dalam barisan orang-orang yang telah meninggal dunia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar