Tulisan ini dinukil dari buku Mafahim Yajibu an Tushahhah (Pemahaman Yang Harus Diluruskan) karya Prof. Dr. Allamah as-Sayyid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Hasani
Pengertian Tawasul
Banyak orang keliru dalam memahami hakikat
tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam
pandangan kami. Namun sebelumnya, akan kami jelaskan dulu beberapa poin penting
berikut ini, Tawassul adalah salah satu metode berdoa
dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah Subhānahu wa ta’āla.
Yang menjadi tujuan doa sesungguhnya adalah Allah, bukan makhluk. Sedangkan
objek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah
musyrik.
Orang yang melakukan tawassul sebenarnya
tidaklah bertawassul dengan menggunakan perantara kecuali karena ia memang
mencintainya dan meyakini bahwa Allah mencintai perantara tersebut. Jika
ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling
menjauhinya dan paling membencinya.
Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa
media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah itu bisa memberi manfaat
dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah, atau meyakini bisa mendatangkan
manfaat tanpa izin-Nya, maka ia menjadi musyrik.
Tawassul bukanlah suatu keharusan dan
terkabulnya doa tidaklah ditentukan
dengan tawassul. Dan sesungguhnya, doa yang dikabulkan justru ditentukan oleh
doa kepada Allah secara mutlak, sebagaimana firman Allah,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي
فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي
وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. al-Baqarah: 186).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا
الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ
بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا
Katakanlah, "Serulah Allah atau
serulah al-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru. Dia mempunyai al-Asmaul
Husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam
shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara
kedua hal itu. (QS. al-Isra’: 110).
Bentuk Tawasul Yang Disepakati Ulama
Tidak ada seorang pun kaum Muslimin yang
menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa,
shalat, membaca al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan
puasa, shalat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar
peluangnya untuk diterima dan dikabulkan
keinginannya. Tidak ada yang mengingkari hal ini.
Dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal
shalih adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap
dalam goa. Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua
orangtua, yang lain dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah
kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga
harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun
menyingkirkan persoalan yang mendera mereka. Tawassul model ini telah dikaji,
dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah
dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qā’idah Jalilah
fīt Tawassul wal Wasīlah”.
Aspek yang Menjadi Titik Perbedaan
Sumber perbedaan dalam masalah tawassul di
kalangan kaum Muslimin terletak pada persoalan hukum tawassul dengan selain
amal shalih. Seperti tawassul dengan benda. Misalnya dengan mengatakan: “Ya
Allah, aku bertawassul dengan keagungan Nabi-Mu Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa
sallam, atau dengan Abu Bakar, ‘Umar bin Khaththab, ‘Utsman, atau Ali radhiallāhu
‘anhu. Tawassul model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama. Kami memandang bahwa pro-kontra tentang
hukum tawassul seperti itu tidak menyentuh substansi atau sesuatu yang paling
inti. Karena tawassul dengan dzat (benda) pada dasarnya berasal dari
tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya. Tawassul yang begini yang telah
disepakati, merupakan hal yang diperbolehkan. Seandainya orang yang keras
kepala menolak tawassul melihat persoalan dengan mata hati jernih, niscaya
persoalan menjadi jelas, kerumitan persoalan bisa terurai dan fitnah yang
menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan
sesat pun akan hilang.
Di sini, saya akan menjelaskan, bahwa sesungguhnya
orang yang tawassul dengan menggunakan perantara orang lain pada dasarnya
adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya. Dan amal perbuatannya tersebut termasuk hasil
usahanya sendiri. Saya katakan, ketahuilah bahwa orang yang
bertawassul dengan perantara siapa pun itu semata karena ia mencintai perantara
tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian, dan keutamaan orang yang
ditawasuli tersebut, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia
meyakini bahwa orang yang dijadikan perantara dalam tawassul itu orang yang
mencintai Allah Subhānahu wa ta’āla, yang berjihad di jalan Allah. Atau karena
ia meyakini bahwa Allah Subhānahu wa ta’āla mencintai orang yang dijadikan
media tawassul itu, sebagaimana firman Allah,
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
Allah mencintai mereka dan mereka pun
mencintai-Nya. (QS. al-Ma’idah: 54).
atau karena sifat-sifat di atas seluruhnya
berada pada orang yang dijadikan objek tawassul. Jika Anda mencermati persoalan ini dengan
baik, maka Anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk
amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang
telah melekat dalam hatinya yang dinisbatkan kepada dirinya. Dia akan
mempertanggungjawabkannya dan akan mendapat pahala karenanya. Orang yang
bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya
meyakini bahwa ia mencintai-Mu. Ia orang yang ikhlas kepada-Mu dan berjihad di
jalan-Mu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridla terhadapnya. Maka
saya bertawassul untuk menuju kepada-Mu dengan rasa cintaku kepadanya dan
dengan keyakinanku padanya, agar Engkau mengabulkan permonanku”. Namun
mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan secara rinci ungkapan ini dan
merasa cukup dengan keyakinan bahwa Allah Maha Tahu terhadap segala hal di alam
ini, dan mengetahui apa yang tampak di depan mata maupun hal yang samar. Dia
Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersembunyi sekali pun.
Orang yang berkata, “Ya Allah, saya
bertawassul menuju kepada-Mu dengan perantara keagungan Nabi-Mu”, itu
sebenarnya sama dengan orang yang mengatakan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu
dengan menggunakan perantara rasa cintaku kepada Nabi-Mu.” Sebab, orang yang
bertawassul dengan menggunakan kalimat yang
pertama tadi tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan
kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi
ini tidak ada, maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang
terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat dari paparan di atas, maka
jelaslah bahwa pro-kontra masalah tawassul sesungguhnya hanya berkutat pada persoalan
kulit, bukan substansial, yang semestinya tidak berdampak perpecahan dan
perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang
bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam.
Dalil-Dalil Tawasul Yang Dipraktekkan Kaum Muslimin
Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan carilah wasilah (perantara) untuk menuju kepada-Nya. (QS. al-Ma’idah:
35).
Wasīlah adalah segala sesuatu yang
dijadikan Allah sebagai faktor untuk mendekatkan kepada-Nya dan sebagai media
untuk menuju kepada Allah. Karena itu, perantara yang dijadikan media wasīlah
itu mesti memiliki kedudukan dan kemuliaan di hadapan Allah.
Lafadz al-wasīlah dalam ayat di atas
bersifat umum sebagaimana Anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan
sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan orang-orang shalih baik di dunia
maupun sesudah mati. Dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan
ketentuannya. Bahkan, amal shalih yang telah dikerjakan juga dapat dijadikan
sebagai wasīlah.
Berikut ini, terdapat beberapa hadits dan atsar
sahabat (perkataan sahabat Nabi) yang menjelaskan keumuman dalil tawassul di
atas. Dengan mencermati dalil-dalil tersebut, maka Anda akan bisa melihat bahwa
telah terjadi tawassul dengan perantaraan Nabi sebelum beliau wujud di dunia
dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah
dibangkitkan di hari kiamat.
Tawasul dengan Nabi Muhammad Sebelum Kelahirannya di Dunia
Nabi Adam pernah bertawassul dengan Nabi
Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam . Di dalam sebuah hadits terdapat
keterangan bahwa Nabi Adam ‘alaihi al-salām bertawassul dengan keagungan Nabi Muhammad.
Dalam kitab al-Mustadrak, Imam al-Hakim berkata, “Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad
al-‘Adlu menceritakan kepadaku, Abu al-Hasan Muhammad bin Ishak bin Ibrahim
al-Handhari menceritakan kepadaku, Abu al-Harits ‘Abdullah bin Muslim al-Fihri
menceritakan kepadaku, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menceritakan kepadaku,
dari ayahnya dari kakeknya dari ‘Umar radhiallāhu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah
shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ
الْخَطِيْئَةَ قَالَ : يَا رَبِّ ! أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لِمَا غَفَرْتَ
لِيْ, فَقَالَ اللهُ : يَاآدَمُ ! وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ
أَخْلُقْهُ؟ قَالَ : يَا رَبِّ ! لِأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِيْ بِيَدِكَ
وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوْحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِيْ فَرَأَيْتُ عَلَى قَوَائِمِ
الْعَرْشِ مَكْتُوْبًا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ, فَعَلِّمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ
إِلَى اسْمِكَ إِلاَّ أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ, فَقَالَ اللهُ : صَدَقْتَ
يَاآدَمُ, إِنَّهُ لَأَحَبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ, أُدْعُنِيْ بِحَقِّهِ فَقَدْ
غَفَرْتُ لَكَ, وَلَوْ لاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata, “Ya Tuhanku, Aku mohon kepada-Mu
dengan keagungan Nabi Muhammad agar Engkau mengampuniku.” Allah berkata, “Wahai
Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya.”
“Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuasaan-Mu dan
Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku mengangkat kepalaku
lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa Ilaha illa Allahu
Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan nama-Mu
kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. Kemudian Allah
berfirman, “Benar kamu wahai Adam. Muhammad adalah makhluk yang paling Aku
cintai. Berdoalah kepada-Ku dengan hakknya Muhammad, maka Aku ampuni kamu.
Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits tersebut di atas diriwayatkan oleh
Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak dan ia menilai sebagai hadits shahih
(vol. II hlm. 615). Al-Hafidz al-Suyuthi juga meriwayatkan hadis tersebut dalam
kitab al Khashāis al-Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam
al-Baihaqi mmeriwayatkanya dalam kitab Dalāil Nubuwah, dan beliau tidak
meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia
jelaskan dalam pengantar kitabnya. Kemudian Imam al-Qasthalani dan
al-Zarqani dalam al-Mawāhib al-Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih
(vol. I hlm. 62). Imam al-Subuki dalam kitabnya Syifāu al-saqām juga menilainya
sebagai hadits shahih. Al-Hafidz al-Haitami berkata, “Al-Tabbarani meriwayatkan
hadits di atas dalam al-Awsath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang
tidak saya kenal.” (Majma al-Zawāid vol. 8 hlm. 253). Juga terdapat hadits dari jalur lain dari
Ibnu ‘Abbas dengan redaksi,
فَلَوْ لاَ مَحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ
وَلاَ الْجَنَّةَ وَلاَ النَّارَ
Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan
menciptakan Adam, surga, dan neraka. (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak dengan isnad
yang menurutnya shahih). Syaikhul Islam al-Bulqini dalam Fatawi-nya juga
menilai hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi
dalam al-Wafā pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidāyah
vol. 1 hlm. 180.
Sebagian ulama tidak sepakat atas
keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya, dan
memvonisnya sebagai hadits palsu (maudhu’) seperti Imam al-Dzahabi dan pakar
hadits lain. Sebagian menilainya sebagai hadits dha’if dan sebagian lagi
menganggapnya sebagai hadits mungkar. Dari penjelasan ini, tampak bahwa para
pakar hadits tidak satu suara dalam menilainya. Karena itu persoalan ini
menjadi polemik antara yang pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka
menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi
hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.
Bukti-Bukti Dalil dari Hadits Nabi tentang Tawasulnya Nabi Adam
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut
dua hadits dan menjadikan keduanya sebagai argumentasi. Ia berkata, “Abu
al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah
berkata,
قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! مَتَى
كُنْتَ نَبِيًّا , قَالَ : لَمَّا خَلَقَ اللهُ الْأَرْضَ وَاسْتَوَى إِلَى
السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ, وَخَلَقَ الْعَرْشَ كَتَبَ عَلَى
سَاقِ الْعَرْشِ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ خَاتَمُ الْأَنْبِيَاءِ, وَخَلَقَ اللهُ
الْجَنَّةَ الَّتِيْ أَسْكَنَهَا آدَمَ وَحَوَاءَ فَكَتَبَ إِسْمِيْ عَلَى
الْأَبْوَابِ وَالْأَوْرَاقِ وَالْقِبَابِ وَالْخِيَامِ, وَآدَمُ بَيْنَ الرُّوْحِ
وَالْجَسَدِ, فَلَمَّا أَحْيَاهُ اللهُ تَعَالَى نَظَرَ إِلَى الْعَرْشِ فَرَأَى
إِسْمِيْ فَأَخْبَرَهُ اللهُ إِنَّهُ سَيِّدُ وَلَدِكَ, فَلَمَّا غَرَّهُمَا
الشَّيْطَانُ تَابَا وَاسْتَفْشَعَا بَإِسْمِيْ إِلَيْهِ
Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan
engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit
dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘Arsy maka Allah
menulis di atas kaki ‘Arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah
menciptakan surga yang ditempati oleh Adam dan Hawa. Lalu Dia menulis namaku
pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan
jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘Arsy dan melihat namaku.
Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang tercatat pada ‘Arsy)
junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawa’ terpedaya oleh setan, keduanya
bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.
Abu Nu’aim al-Hafidz meriwayatkan dalam
kitab Dalāilu al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan
kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid,
menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah
ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar
ibn al-Khattab, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَمَّا أَصَابَ آدَمُ الْخَطِيْئَةَ
رَفَعَ رَأْسَهُ فَقَالَ : يَا رَبِّ ! بِحَقِّ مُحَمَّدٍ إِلاَّ غَفَرْتَ لِيْ,
فَأَوْحَى إَلَيْهِ : وَمَا مُحَمَّدٌ وَمَنْ مُحَمَّدٌ؟ فَقَالَ : يَا رَبِّ !
إِنَّكَ لَمَّا أَتْمَمْتَ خَلْقِيْ رَفَعْتُ رَأْسِيْ إِلَى عَرْشِكَ فَإِذًا
عَلَيْهِ مَكْتُوْبٌ : لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ,
فَعَلِمْتُ أَنَّهُ أَكْرَمُ خَلْقِكَ عَلَيْكَ إِذْ قَرَنْتَ إِسْمَهُ مَعَ
إِسْمِكَ, فَقَالَ : نَعَمْ, قَدْ غَفَرْتُ لَكَ, وَهُوَ آخِرُ الْأَنْبِيَاءِ
مِنْ ذُرِّيَّتِكَ, وَلَوْ لاَهُ مَا خَلَقْتُكَ
Ketika Adam melakukan kesalahan, ia
mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak Muhammad, mohon Engkau
ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan
siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku
mendongakkan kepalaku ke arah ‘Arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan
“Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad
adalah makhluk Engkau yang paling mulia di sisi-Mu karena Engkau merangkai
namanya dengan nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah
mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku
tidak akan menciptakanmu.” Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya,
dan keduanya seperti menafsirkan beberapa hadits shahih lainnya (al-Fatawa,
vol. II hlm. 150).
Pendapat saya, fakta ini menunjukkan bahwa
hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi. Karena hadits maudhu’
atau bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata para pakar hadits. Dan Anda
melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya sebagai penguat atas
penafsiran.
IBNU TAIMIYYAH MEMBENARKAN ADANYA
KEISTIMEWAAN KHUSUS PADA NABI MUHAMMAD
Dalam konteks ini, Ibnu Taimiyyah
mengetengahkan pandangan positif yang mengindikasikan kecerdasan, kepandaian, dan
kebijaksanaan yang besar. Meskipun Ibnu Taimiyyah sebelumnya menolak keberadaan
hadits Nabi menyangkut tema ini (sesuai dengan informasi yang dimiliki pada
saat itu) tetapi ia mencabut pandangan ini dan menguatkan makna hadits, menginterpretasikannya
dengan tafsir yang rasional, dan menetapkan kebenaran maknanya. Dengan fakta
ini, Ibnu Taimiyyah menolak dengan keras mereka yang beranggapan kandungan
hadits mengandung kemusyrikan atau kekufuran, dan mereka mengira bahwa
kandungan makna hadits itu keliru dan sesat, serta mereka yang menilai bahwa
kandungan hadits mencederai status tauhid dan pensucian. Anggapan-anggapan
keliru ini tidak lain sekedar hawa nafsu, kebutaan, salah paham, dan
kedangkalan pikiran. Semoga Allah senantiasa menerangi mata hati kita dan
membimbing kita menuju kebenaran. Allah adalah Dzat yang menunjukkan jalan yang
lurus. Dalam al-Fatāwā vol. XI hlm 96 Ibnu
Taimiyyah menulis,
“Nabi Muhammad adalah junjungan/pemimpin
semua manusia. Ia makhluk paling utama
dan mulia di sisi Allah. Karena itu, ada orang berpendapat bahwa karena beliau
Allah menciptakan alam semesta atau kalau bukan karena beliau Allah tidak akan
menciptakan ‘Arsy, al-Kursi, langit, bumi, matahari, dan bulan”. Tapi pandangan
ini bukanlah hadits Nabi, bukan hadits shahih juga bukan hadits dha’if dan tidak ada seorang ulama pun yang
mengutipnya sebagai hadits Nabi. Bahkan juga tidak diketahui apakah bersumber
dari para sahabat atau tidak. Pendapat ini hanyalah ungkapan yang tidak
diketahui orang yang mengatakannya. Namun bisa ditafsirkan dengan benar,
sebagaimana firman Allah,
أَلَمْ تَرَوْا
أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً وَمِنَ النَّاسِ مَنْ
يُجَادِلُ فِي اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَلَا هُدًى وَلَا كِتَابٍ مُنِير
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah
telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi
dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia
ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk
dan tanpa kitab yang memberi penerangan. (QS. Luqman: 20).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ
رِزْقًا لَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ
وَسَخَّرَ لَكُمُ الْأَنْهَارَ (32) وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ
دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ (33) وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ
مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ
الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ (34)
Allah-lah yang telah menciptakan langit dan
bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air
hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki
untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu,
berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu
sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang
terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan
siang.
(QS. Ibrahim: 32-34).
Dan masih banyak ayat lain yang menjelaskan
bahwa Allah menciptakan makhluk untuk kemaslahatan manusia. Sudah maklum, bahwa
di samping demi kepentingan anak cucu Adam, Allah memiliki hikmah-hikmah lain
yang lebih besar dalam ayat-ayat tersebut. Namun, di dalam ayat-ayat tersebut
Allah menjelaskan kepada anak cucu Adam manfaat dan nikmat yang tercakup di
dalamnya.
Jika ada yang mengatakan bahwa Allah
melakukan sesuatu untuk sesuatu, maka tidak berarti di dalamnya tidak ada
hikmah lain. Demikian pula ucapan seseorang, “Jika tidak karena ini maka Allah
tidak akan menciptakan itu,” bukan berarti tidak ada hikmah lain yang besar di
dalamnya. Justru hal itu menyimpulkan bahwa jika dalam ungkapan tersebut yang
dimaksud adalah anak cucu Adam yang shalih dan yang paling utama, yakni
Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, di mana penciptaan beliau adalah tujuan
yang dicari dan hikmah yang besar yang lebih besar dari yang lain. Kesempurnaan
makhluk dan puncak kesempurnaan tercapai dengan Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa
sallam. Dikutip dari kitab al-Fatāwā karya
Ibnu Taimiyah. ***
Analisis Pentig Terhadap Pandangan ibnu Taimiyyah Yang tidak Diketahui Para Pengikutnya
Mari kita cermati pandangan Ibnu Taimiyyah
yang memiliki wawasan dan pemahaman yang dalam dalam memberikan interpretasi
terhadap keistimewaan yang telah tersebar dan populer ini. Dalam masalah ini
terdapat hadits yang menerangkan bahwa Nabi Adam bertawassul dengan menggunakan
perantara Nabi Muhammad, yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan dinilai shahih
oleh mereka yang mengategorikannya sebagai shahih, dinilai hasan oleh mereka
yang mengklasifikasikannya sebagai hasan, dan diterima oleh para pakar hadits
yang menerimanya. Cobalah perhatikan, Ibnu Taimiyyah sendiri
mengatakan, “Sesungguhnya pendapat ini memiliki sudut pandang yang benar.”
Bandingkan pendapat Ibnu Taimiyah ini
dengan pendapat orang yang mendudukkan dan memberdirikan dunia, dan
mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam, menuduh mereka sesat dan musyrik atau
bid’ah dan khurafat, kemudian dengan berbohong mengklaim sebagai pengikut
madzhab salafi dan Ibnu Taimiyyah, padahal ia sungguh jauh dari Ibnu Taimiyyah
dan salafiyyah. Tindakan negatif orang seperti ini tidak hanya pada persoalan
di atas saja. Justru yang menjadi fokus adalah ia senantiasa bersama Ibnu
Taimiyyah dalam semua persoalan kecuali dalam hal-hal yang menyangkut
pengagungan terhadap Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam atau menguatkan
kemuliaan, keagungan, dan kedudukan beliau. Karena dalam hal-hal mereka ragu,
berpikir, dan merenung. Dari sini saja, akan tampak usaha menjaga status tauhid
atau fanatisme terhadap tauhid. Mahasuci Engkau, wahai Tuhan kami. Inilah
kedustaan yang sangat besar.
Hadits Ketiga yang Mendukung Hukum Tawassul
Hadits ketiga yang mendukung hadits
tawassulnya Nabi Adam adalah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu al-Mundzir dalam
tafsirnya, dari Muhammad bin ‘Ali bin Husain, ia berkata, “Ketika Adam berbuat
kesalahan, ia sangat sedih dan menyesal. Lalu Jibril datang kepadanya dan
berkata, “Wahai Adam, Apakah engkau mau aku tunjukkan pintu taubat yang Allah
menerima taubatmu darinya?”
“Mau, wahai Jibril.”
“Berdirilah di tempat engkau bermunajat
kepada Tuhanmu. Lalu agungkalah Dia dan berikanlah Dia pujian. Karena tidak ada
sesuatu yang lebih dicintai Allah melebihi pujian.”
“Apa yang harus saya ucapkan, wahai
Jibril?”
لاَ إِلَهَ إِلاذَ اللهُ وَحْدَهُ
لاَ شَرِيْكَ لَهُ, لَهُ الْمُلْكُ وَ لَهُ الْحَمْدُ يُحْيِيْ وَيُمِيْتُ وَ هُوَ
حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ بِيَدِهِ الْجَيْرُ كُلُّهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيْرٌ
Tiada Tuhan kecuali Allah semata, tidak ada
sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kekuasaan dan pujian. Dia Dzat yang menghidupkan dan
mematikan. Dia hidup dan tidak akan mati. Di tangannya segala kebaikan. Dan
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
“Selanjutnya, akuilah kesalahanmu dan
bacalah,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ رَبِّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ وَعَلِمْتُ السُّوْءَ
فَاغْفِرْ لِيْ إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إلاَّ أَنْتَ, اللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِجَاهِ مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَكَرَامَتِهِ عَلَيْكَ أَنْ
تَغْفِرَ لِيْ خَطِيْئَتِيْ
Maha Suci Engkau, Ya Allah, dan dengan
memuji-Mu. Tiada Tuhan selain Engkau. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berbuat
aniaya terhadap diriku sendiri dan berbuat buruk, maka ampunilah aku, karena
tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau. Ya Allah, sungguh aku memohon
kepada-Mu dengan perantara kedudukan Nabi-Mu Muhammad dan kemuliaan beliau di
sisi-Mu, agar Engkau mengampuni kesalahanku.
Nabi bercerita, “Lalu Adam melakukan
perintah Jibril. “Wahai Adam, siapakah yang mengajarimu demikian?” tanya Allah.
“Ya Tuhanku, sesungguhnya ketika Engkau meniupkan nyawa pada tubuhku lalu saya
berdiri sebagai manusia sempurna yang bisa mendengar, melihat, berpikir, dan
merenung, maka saya melihat pada kaki ‘Arsy-Mu terdapat tulisan “Dengan nama
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tiada Tuhan selain Allah semata, tiada
sekutu bagi-Nya. Muhammad utusan Allah”. Karena saya tidak melihat nama
malaikat muqarrab (yang didekatkan) dan Nabi & Rasul lain selain Muhammad
sesudah nama-Mu, maka saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk paling mulia di
sisi-Mu. Allah berfirman, “Engkau benar, dan Aku telah menerima taubatmu dan
telah mengampunimu.” Dikutip dari Al-Durr al-Mantsûr vol. 1 hlm.
146 karya Imam al-Suyuthi. Muhammad ibn ‘Ali ibn Hushain adalah Abu
Bakar al-Baqir, salah satu tabi’in terpercaya dan tokoh mereka. Enam Imam
hadits (al-Sittah) meriwayatkan hadits darinya. Ia meriwayatkan hadits dari
Jabir, Abi Sa’id, Ibnu ‘Umar dan lain-lain.
Hadits Keempat Tentang Tawassul
Hadits keempat pendukung tawassulnya Nabi
Adam adalah hadits riwayat Abu Bakar al-Aajuri dalam Kitab al-Syarī’ah. Ia
berkata, “Harun bin Yusuf al-Tajir bercerita kepadaku.” Harun berkata, “Abu
Marwan al-‘Utsmani bercerita kepadaku.” Abu Marwan berkata, “Abu ‘Utsman ibn
Khalid menceritakan kepadaku dari ‘Abdurrahman bin Abi al-Zinad dari ayahnya,
bahwa sang ayah berkata, “Salah satu kalimat yang menyebabkan diterimanya
taubat Nabi Adam oleh Allah adalah Ya Allah, Sesungguhnya saya memohon dengan
kemuliaan Muhammad pada-Mu. “Apa yang memberitahukanmu siapa Muhammad?” “Ya
Tuhanku, saya menengadahkan kepalaku lalu saya melihat ada tulisan pada ‘Arsy-Mu,
‘Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Utusan Allah.’ Maka saya tahu, ia adalah
makhluk-Mu yang paling mulia,” jawab Adam.
Sebagaimana diketahui, menggabungkan atsar tersebut
dengan hadits dari Abdurrahman ibn Zaid membuat status hadits ini lebih kuat.
Surga Haram Dimasuki Para Nabi Sebelum Nabi
Muhammad Memasukinya
Salah satu contoh karunia Allah kepada Nabi
Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa surga haram dimasuki para
Nabi sebelum dimasuki Nabi Muhammad sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits
dari ‘Umar ibn al-Khattab radhiallāhu ‘anhu dari Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi
wa sallam, beliau bersabda,
الْجَنَّةُ حُرِّمَتْ عَلَى
الأَنْبِيَاءِ حَتَّى أَدْخُلَهَا وَحُرِّمَتْ عَلَى الأُمَمِ حَتَّى تَدْخُلَهَا
أُمَّتِيْ
Surga diharamkan untuk para Nabi sampai aku
masuk ke dalamnya dan diharamkan untuk semua umat sampai umatku masuk ke
dalamnya. Diriwayatkan oleh Imam al-Thabarani dalam al-Awsath. Menurut al
Haitsami sanad hadits ini hasan. Dikutip dari Majma’ al-Zawā’id vol. 10 hlm.
69.
Keterkaitan Alam Semesta dengan Nama
Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam
Salah satu contoh keistimewaan Nabi
Muhammad yang dikaruniakan oleh Allah adalah menyebarnya nama Muhammad di al-Mala’
al-A’lā (alam Malaikat Muqarrabûn) sebagaimana terdapat dalam banyak atsar.
Ka’ad ibn al-Ahbar berkata, “Sesungguhnya Allah Subhānahu wa ta’āla menurunkan
tongkat kepada Nabi Adam sebanyak jumlah para Nabi dan Rasul. Lalu Nabi Adam
mendatangi putranya, Syits, dan berkata, “Anakku, engkau adalah penggantiku
sepeninggalku. Ambillah tongkat-tongkat ini dengan meningkatkan ketakwaan dan
ikatan yang kokoh. Setiap kali engkau menyebut Allah, sebutkanlah selalu nama
Muhammad karena aku melihat namanya tertulis pada kaki ‘Arsy pada saat aku
dalam kondisi antara roh dan tanah liat. Kemudian aku menjelajahi langit. Pada
setiap tempat di langit, aku melihat nama Muhammad tertulis padanya. Dan
Tuhanku telah menempatkanku di surga dan di surga aku tidak melihat istana dan
kamarnya kecuali tertera nama Muhammad di situ. Dan saya juga melihat namanya
tertulis pada dada-dada bidadari, daun bambu belukar surga, daun pohon thuba,
daun sidratul muntahā, di tepi-tepi hijab dan di antara mata para malaikat.
Maka, perbanyaklah menyebut nama Muhammad karena para Malaikat selalu menyebut
namanya setiap waktu” (Al-Mawāhib al-Lāduniyyah vol. 1 hlm. 187).
Saya katakan bahwa Ibnu Taimiyyah juga
telah menyebut hadits di atas. Ia menulis, “Terdapat riwayat bahwa Allah Subhānahu
wa ta’āla telah menulis nama Muhammad di
atas ‘Arsy, pintu, kubah, dan dedaunan surga.”
Tertulisnya nama Nabi Muhammad ini telah
diriwayatkan dalam beberapa atsar yang sesuai dengan hadits-hadits di atas yang
juga menjelaskan keagungan nama Muhammad dan ketinggian nama beliau.
Dalam salah satu riwayat dari Ibnu al-Jauzi
dari Maysarah, ia berkata, “Saya bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi
Nabi?’ Beliau menjawab, ‘Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit
dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan ketika Allah menciptakan ‘Arsy
maka Dia menulis di atas kaki ‘Arsy “Muhammad Rasulullāh Khātamul Anbiyā’.” Dan
Allah menciptakan surga yang ditempati oleh Adam dan Hawa’. Lalu Dia menulis
namaku pada pintu, daun, kubah, dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara
ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘Arsy dan melihat
namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad (yang tercatat
pada ‘Arsy) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawa’ terpedaya oleh syetan,
kedua bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.” (Ibnu Taimiyah,
al-Fatāwā vol. II hlm. 150).
Manfaat-Manfaat Penting dari Hadits
Tawassulnya Nabi Adam
Hadits di atas, tentang tawassul dengan
perantara Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam sebelum beliau lahir di alam
semesta, menunjukkan bahwa ukuran keabsahan bertawassul itu adalah bahwa orang
yang dijadikan objek tawassul harus memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah,
serta yang dijadikan perantara tidak disyaratkan ia harus masih hidup di dunia.
Dari hadits tersebut diketahui bahwa opini
yang menyatakan tawassul dengan siapa pun tidak sah kecuali saat ia masih hidup
di dunia adalah pendapat orang yang mengikuti hawa nafsunya yang tidak mendapat hidayah Allah.
Kesimpulan dari Analisa terhadap Status
Hadits Tawassulnya Nabi Adam
Dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut di
atas dikategorikan hadits shahih, sebab keberadaan hadits yang mendukung
riwayat tentang tawassulnya Nabi Adam cukup banyak. Bahkan banyak dikutip oleh
pembesar ulama dan para pakar dan penghafal hadits yang memiliki kualitas dan
kedudukan tinggi. Mereka adalah orang-orang yang kredibel dalam ilmu hadis Nabi
seperti Imam al-Hakim, al-Suyuthi, al-Subki, dan al-Bulqini.
Hadits tersebut juga dikutip oleh Imam
al-Bulqini dalam kitabnya, di mana kitabnya tidak memuat hadits maudhu’, dan
dikomentari oleh al-Dzahabi dengan berkata, “Berpeganglah dengannya, karena
kitab itu sepenuhnya petunjuk dan cahaya.” (dikutip dari Syarhul Mawāhib dan
kitab lain).
Hadits tersebut juga dikutip oleh Ibnu
Katsir dalam kitab al-Bidāyah dan dijadikan argumentasi oleh Ibnu Taimiyah
dalam kitab al-Fatāwā. Adapun pro-kontra
dan ikhtilaf dari para ‘ulama menyangkut hadits tersebut bukanlah hal yang
aneh. Hal ini karena banyak hadits yang menimbulkan ikhtilaf lebih besar dengan
kritikan lebih tajam.
Dari perdebatan dan ikhtilaf para ulama itu
lahirlah karangan-karangan besar yang berisi argumentasi, penelitian,
peninjauan, dan beragam tuntutan. Namun semua itu tidak sampai melontarkan
tuduhan syirik, kufur, sesat, dan keluar dari lingkaran iman karena perbedaan
tersebut seputar ikhlitaf menyangkut status salah satu dari beberapa hadits. Dan hadits tawassul Adam ini,
termasuk hadits-hadits yang memicu perbedaan seperti itu.
ORANG YAHUDI BERTAWASSUL DENGAN PERANTARA
NABI SHALLALLĀHU ‘ALAIHI WA SALLAM
Allah berfirman,
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ
عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ
عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ
فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran
dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka
biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang
kafir. Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka
lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (QS.
al-Baqarah: 89).
Imam al-Qurtubi berkata, “Firman Allah “Walamma
jā’ahum”, yakni ketika datang kepada orang-orang Yahudi, Kitābun yakni al-Qur’an,
Min ‘indillāhi mushaddiqun, dari sisi Allah yang membenarkan sifat dari kitābun.
Untuk kata selain al-Quran boleh dibaca nashab sebagai hal (bentuk keterangan).
Demikian juga pada mushaf Ubay, dalam sebuah riwayat mushaddiqun dibaca nashab.
Lima ma’ahum, yakni Taurat dan Injil di mana al-Qur’an mengkabarkan kepada
orang Yahudi tentang isi kedua kitab tersebut. Wakānu min qablu yastaftihûna,
yakni memohon pertolongan. Dalam sebuah hadits Nabi memohon pertolongan dengan
orang-orang muhajirin yang fakir ; melalui doa dan shalat mereka. Dalam Al-Quran
terdapat ayat,
فَعَسَى اللَّهُ أَنْ يَأْتِيَ
بِالْفَتْحِ أَوْ أَمْرٍ مِنْ عِنْدِهِ
Semoga Allah memberikan kemenangan atau
memberikan perintah dari-Nya. (QS. al-Maaidah: 52)
Al-Nashr bermakna membuka sesuatu yang
tertutup. Dan pengertian tersebut kembali kepada perkataan orang Arab “fatahtu
albāba” (aku membuka pintu yang terkunci).
Imam al-Nasa’i meriwayatkan dari Abu Sa’id
al-Khudri bahwa Nabi bersabda,
إِنَّمَا نَصَرَ اللهُ هَذِهِ
الأُمَّةَ بِضُعَفَائِهَا بِدَعْوَتِهِمْ وَصَلاَتِهِمْ وَإِخْلاَصِهِمْ
Sesungguhnnya Allah menolong umat ini
karena berkah umatnya yang lemah karena doa, shalat, dan keikhlasan mereka.
Imam al-Nasa’i juga meriwayatkan dari Abu
Darda’, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah bersabda,
أَبْغُوْنِيْ الضَّعِيْفَ
فَإِنَّكُمْ إِنَّمَا تَنْصُرُوْنَ وَتَرْزُقُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ
Carilah keridhaanku dengan berbuat baik
kepada orang lemah karena kalian akan mendapatkan pertolongan dan rezeki berkat mereka.
Ibnu ‘Abbas berkata, “Dahulu kaum Yahudi
Khaibar memerangi kaum Ghathafan. Ketika kedua seteru ini bertemu, Yahudi
kalah. Kemudian orang Yahudi berdoa dengan ungkapan, “Sesungguhnya
kami memohon kepada-Mu dengan kemuliaan Nabi yang ummi, yang Engkau janjikan
kepada kami akan Engkau keluarkan untuk kami pada akhir zaman untuk menolong kami mengalahkan kaum
Ghathafan.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Maka jika bertemu orang Ghathafan, orang
Yahudi akan mengumandangkan doa ini dan berhasil mengalahkan Ghathafan. Ketika
Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah diutus mereka malah mengingkarinya,
lalu turun firman Allah,
وَكَانُوْا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ
عَلَى الَّذِ يْنَ كَفَرُوا
Lafadz الَّذِيْنَ
كَفَرُوْا yakni kafir
kepadamu, ya Muhammad sampai pada firman Allah,
فَلَعْنَةُ اللهِ عَلَى الكَافِرِيْنَ
“Maka laknat Allah-lah atas orang-orang
kafir.” (Tafsir al-Qurtubi vol. 2 hal. 26-27 )
TAWASSUL DENGAN NABI KETIKA MASIH HIDUP DAN
SESUDAH WAFAT
Diriwayatkan dari ‘Utsman ibn Hunaif
radhiallāhu ‘anhu, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah didatangi seorang
lelaki tuna netra yang hendak mengadukan kondisi penglihatannya. ‘Wahai
Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan’, katanya
lelaki tuna netra tersebut. Kemudian Rasulullah bersabda,
أَئْتِ الْمِيْضَاةَ فَتَوَضَّأْ
ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثَمَّ قُلْ : اللَّهُمَّ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ
إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَبِيِّ
الرَّحْمَةِ, يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّكَ فَيُجْلِيْ
لِيْ عَنْ بَصَرِيْ, اللَّهُمَّ شَفِّعْهُ فِيَّ وَشَفِّعْنِيْ فِيْ نَفْسِيْ,
قَالَ عُثْمَانُ : فَوَاللهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَلاَ طَالَ بَنَا الْحَدِيْثُ
حَتَّى دَخَلَ الرَّجُلُ وَكَأَنَّهُ لَمْ
يَكُنْ بِهِ ضُرٌّ
Datanglah ke tempat wudhu,’ lalu
berwudhulah kemudian shalatlah dua raka’at. Sesudah itu bacalah doa, "Ya Allah, sungguh saya memohon
kepada-Mu dan dan tawassul kepada-Mu dengan keagungan Nabi-Mu Muhammad, Nabi
pembawa rahmat. Wahai Muhammad saya bertawassul denganmu kepada Tuhanmu agar
Dia menyembuhkan penglihatanku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untuk
menolongku dan terimalah syafa’atku untuk diriku.” Utsman berkata lagi, “Maka
demi Allah, sebelum kami berpisah dan belum banyak obrolan yang kami lakukan
tiba-tiba lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.”
Imam al-Hakim berkata, “Hadits ini adalah
hadits yang sanadnya shahih, meski tidak diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan
Muslim.” Menurut Imam al-Dzahabi status hadits itu shahih. Imam al-Turmudzi
berkata dalam kitab Abwābu al-Da’awāt pada bagian akhir dari kitab Sunan
al-Turmudzi, “Hadits ini adalah hadits hasan, shahih, dan gharib, yang tidak
saya kenal kecuali lewat jalur ini dari hadits yang diriwayatkan oleh Abi
Ja’far, yang maksudnya bukan Abu Ja’far al-Khathmi.
Menurut saya, yang dimaksud Abu Ja’far di
sini adalah al-Khathmi al-Madani, sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam
riwayat-riwayat al-Thabarani, al-Hakim, dan al-Baihaqi. Dalam al- Mu’jam
al-Shaghīr, al-Thabarani menambahkan bahwa nama Abu Ja’far adalah ‘Umair ibn
Yazid, seorang yang dapat dipercaya. Al-‘Allamah al-Muhaddits al-Ghimari dalam
risalahnya Ithāful Adzkiyā berkata, “Tidaklah logis jika para hafidz (para
penghafal hadits) sepakat untuk menilai shahih sebuah hadits yang dalam
sanadnya terdapat rawi majhul (misterius). Apalagi para imam hadits seperti
al-Dzahabi, al-Mundziri, dan al-Hafidz Ibnu Hajar.”
Imam al-Mundziri berkata, “Hadits di atas
juga diriwayatkan oleh al-Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Khuzaimah dalam kitab
shahihnya.” (al-Targhīb, kitab al-Nawāfil, bab al-Targhīb fī shalātil hajat
vol. I hlm. 438).
Tawassul dengan kalimat seperti tersebut di
atas tidak khusus hanya pada saat Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam masih
hidup. Justru sebagian shahabat menggunakan ungkapan tawassul di atas sesudah
beliau wafat. Hadits ini telah diriwayatkan oleh al-Thabarani dan menyebutkan
pada awalnya sebuah kisah sebagai berikut, “Seorang lelaki berulang-ulang
datang kepada ‘Utsman ibn ‘Affan untuk keperluannya. ‘Utsman sendiri tidak
pernah menoleh kepadanya dan tidak mempedulikan keperluannya. Lalu lelaki itu
bertemu dengan ‘Utsman bin Hunaif. Kepada Utsman bin Hunaif ia mengadukan sikap
Utsman ibn ‘Affan kepadanya. Utsman bin Hunaif menyuruh lelaki itu, “Pergilah
ke tempat wudhu, lalu masuklah ke masjid untuk shalat dua raka’at. Kemudian
bacalah doa,’
اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ
وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
نَبِيِّ الرَّحْمَةِ, يَا مُحَمَّدُ ! إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ فَيُقْضِيْ
حَاجَتِيْ, وَتَذْكُرُ حَاجَتَكَ....!
Ya Allah sungguh saya memohon kepada-Mu
bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad,
saya bertawassul kepada Tuhanmu lewat engkau. Maka kabulkanlah keperluanku.... Dan sebutkanlah keperluanmu itu....!”
Setelah mendengar saran Utsman ibn Hunaif,
lelaki itu pun pergi melaksanakan saran dari Utsman ibn Hunaif. Ia datang
menuju pintu gerbang Utsman ibn Affan yang langsung disambut oleh penjaga
pintu. Dengan memegang tangannya, sang penjaga langsung memasukkannya menemui Khalifah
Utsman ibn Affan. Utsman ibn Affan mempersilahkan duduk di atas permadani bersama dirinya. “Apa keperluanmu?”
tanya Utsman. Lelaki itu pun menyebutkan keperluannya kemudian Utman
memenuhinya. “Engkau tidak pernah menyebutkan keperluanmu hingga tiba saat ini,”
kata Utsman. “Jika kapan-kapan ada keperluan datanglah kepada saya,” lanjut
Utsman. Setelah keluar, lelaki itu berjumpa dengan Utsman bin Hunaif dan
menyapanya, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Utsman ibn Affan
sebelumnya tidak pernah mempedulikan keperluanku dan tidak pernah menoleh
kepadaku sampai engkau berbicara dengannya.” Utsman ibn Hunaif langsung
menimpali, “Demi Allah, saya tidak pernah berbicara dengan Utsman bin Affan.
Namun aku pernah menyaksikan Rasulullah didatangi seorang lelaki buta yang
mengadukan matanya yang buta. “Adakah kamu mau bersabar?” kata beliau. “Wahai
Rasulullah, saya tidak memiliki penuntun dan saya merasa kerepotan,” katanya. “Datanglah
ke tempat wudhu’ lalu berwudhu’lah kemudian shalatlah dua raka’at. Sesudahnya
bacalah doa ini.” “Maka demi Allah, kami belum bubar dan belum lama obrolan
selesai sampai lelaki buta itu masuk seolah ia belum pernah mengalami kebutaan.”
Demikian kata Utsman bin Hunaif.
Imam al-Mundziri berkata, “Hadits di atas
diriwayatkan oleh al-Thabarani.” Setelah
menyebut hadits ini, al-Thabarani berkomentar, “Status hadits ini shahih.” (al-Targhīb
vol. I hlm. 440. Demikian pula disebutkan dalam Majma’ al-Zawāid. vol. II hlm.
279).
Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata,
“Al-Thabarani berkata, ‘Hadits ini diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abu Ja’far
yang nama aslinya ‘Umair ibn Yazid, seorang yang dapat dipercaya’. Utsman ibn ‘Umar
sendirian meriwayatkan hadits ini dari Syu’bah. Abu Abdillah al-Maqdisi
mengatakan, “Hadits ini shahih.”
Berkaitan dengan riwayat ini saya
berkomentar, “Ibnu Taimiyyah mengatakan, ‘Al-Thabarani menyebut hadits ini
diriwayatkan sendirian oleh Utsman bin ‘Umar sesuai informasi yang ia miliki
dan tidak sampai kepadanya riwayat Rauh bin Ubadah dari Syu’bah. Riwayat Rauh
dari Syu’bah ini adalah shahih yang menjelaskan bahwa Utsman tidak sendirian
meriwayatkan hadits.” (Qā’idah Jalīlah fī al-Tawassul wal Wasīlah. hlm 106).
Dari paparan di atas, telah menjadi jelas
bahwa kisah di muka dinilai shahih oleh sejumlah ahli hadits seperti
al-Thabarani al-Hafidz Abu Abdillah al-Maqdisi. Penilaian shahih ini juga
dikutip oleh al-Hafidz al-Mundziri, al-Hafidz Nuruddin al-Haitsami, dan Syaikh
Ibnu Taimiyyah.
Kesimpulan dari kisah di atas adalah bahwa
Utsman ibn Hunaif, sang perawi hadits
yang menjadi saksi dari kisah tersebut, telah mengajarkan doa yang berisi
tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan memanggil beliau untuk
memohon pertolongan setelah beliau wafat, kepada orang yang mengadukan
kelambanan khalifah Utsman ibn Affan untuk mengabulkan keperluannya. Ketika
lelaki itu mengira bahwa kebutuhannya dipenuhi berkat ucapan Utsman ibn Hunaif
kepada khlaifah, Utsman segera menolak anggapan ini dan menceritakan hadits
yang telah ia dengar dan ia saksikan untuk menegaskan kepadanya bahwa
kebutuhannya dikabulkan berkat tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa
sallam, panggilan dan permohonan bantuannya kepada beliau (Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam). Utsman juga meyakinkan lelaki itu dengan bersumpah bahwa ia
sama sekali tidak berbicara apa-apa dengan khalifah menyangkut kebutuhannya.
PENGGUNAAN LAIN DARI TAWASSUL DAN DUKUNGAN
IBNU TAIMIYYAH
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi al-Dunya dalam
kitab Mujābi al-Du’ā, ia berkata, “Abu Hasyim bercerita kepadaku, ‘Saya
mendengar Katsir ibn Muhammad bin Katsir ibn Rifa’ah berkata, ‘Seorang lelaki
datang kepada Abdil Malik bin Sa’id bin Abjar. Lalu lelaki itu menyentuh perut
Abdil Malik dan berkata, ‘Dalam tubuhmu ada penyakit yang belum sembuh.’ ‘Penyakit
apa?’ tanya Abdil Malik. ‘Bisul besar yang muncul di dalam perut yang umumnya
mampu membunuh penderita’, jawab sang lelaki itu. Lelaki itu lalu berpaling.
Abdul Malik kemudian mengucapkan, “Allah, Allah, Allah Tuhanku. Aku tidak akan
menyekutukan-Nya dengan siapapun. Ya Allah aku bertawassul kepadamu dengan
Nabi-Mu, Muhammad, Nabi pembawa rahmat. Wahai Muhammad, aku bertawassul denganmu
Tuhanmu dan Tuhanku. Semoga Allah merahmatiku dari apa yang menimpa diriku.“ Lelaki
itu pun menyentuh perut Abdul Malik lalu berkata, “Sungguh kamu telah sembuh.
Tidak ada penyakit dalam tubuhmu.”
Ibnu Taimiyyah berkata, “Saya berpendapat
bahwa doa ini dan doa yang semisal dengan doa tersebut telah diriwayatkan
sebagai doa yang dibaca oleh generasi salaf.” (HR. Ibnu Taimiyah dalam Qā’idah
Jalīlah hlm. 94).
Sudah dimaklumi bahwa Ibnu Taimiyyah
menampilkan hadits ini dengan tujuan untuk menjelaskan maksudnya dan
mengarahkannya sesuai keinginan sendiri.
Namun yang penting bagi kami di sini adalah bahwa ia menegaskan penggunaan
generasi salaf terhadap doa itu dan tercapainya kesembuhan berkat doa itu.
Penegasannya dalam masalah inilah yang penting bagi kami. Adapun komentarnya
tentang hadits, itu adalah opininya pribadi. Yang penting bagi kami hanyalah
penetapan adanya nash, agar kami bisa berargumentasi dengannya sesuai kehendak
kami. Dan Ibnu Taimiyyah bebas untuk berargumentasi sesuai selera dan kehendaknya.
***
UPAYA YANG GAGAL
Sebagian golongan ramai memberi komentar
seputar hadits tawassulnya Nabi Adam, Utsman ibn Hunaif, dan yang lain. Dengan
sekuat tenaga mereka berusaha menolak hadits itu. Mereka berupaya keras,
berdiskusi, berdebat, duduk, berdiri dan bersuara lantang dalam menyikapi
masalah ini. Semua perilaku ini tidaklah berguna, karena meskipun mereka
menolak hadits-hadits tentang tawassul, namun para tokoh-tokoh mereka yang
terdiri dari ulama besar yang memiliki kapasitas intelektual dan spiritual jauh
di atas mereka, telah berpendapat dibolehkannya tawassul. Seperti al-Imam Ahmad
ibn Hanbal yang berpendapat dibolehkannya tawassul seperti dikutip oleh Ibnu Taimiyyah dan
Izzudin bin ‘Abdissalam. Ibnu Taimiyyah sendiri dalam salah satu pendapatnya
secara khusus menerangkan dibolehkannya tawassul dengan Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam. Akhirnya kemudian Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab yang
menolak tuduhan orang yang menuduhnya memvonis kufur kaum muslimin. Justru
dalam Fatāwā-nya, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa tawassul adalah persoalan
furu’ bukan prinsip. Pandangan Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah insya Allah
akan dijelaskan dengan rinci dalam kitab ini.
Syaikh al-Allamah al-Muhaddits Abdullah
al-Ghimari telah menyusun sebuah risalah khusus berisi kajian tentang
hadits-hadits tawassul yang diberi nama Mishbāhu al-Zujājah fī Shalāti al-
Hājah. Dalam risalah ini, beliau menulis
dengan baik dan memberi informasi-informasi yang memuaskan dan cukup.
TAWASSUL DENGAN NABI PADA HARI KIAMAT
Adapun tawassul dengan Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam di hari kiamat, maka sesungguhnya tidak memerlukan penjelasan
panjang lebar. Sebab, hadits-hadits tentang syafa’at telah mencapai derajat mutawātir.
Semua hadits ini berisi teks-teks yang jelas menerangkan bahwa mereka yang
berada di padang mahsyar ketika merasa sudah terlalu lama berada di tempat itu
dan merasa sangat menderita, akan memohon pertolongan untuk mengatasi
penderitaan itu dengan para Nabi. Mereka memohon bantuan kepada Nabi Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa, kemudian Isa yang mengarahkan mereka agar datang kepada
junjungan para Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Sehingga ketika mereka
memohon pertolongan kepada beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau segera
mengabulkan permohonan ini. “Syafa’at ini adalah untukku, syafa’at ini adalah
untukku,” ucap beliau. Selanjutnya beliau bersujud sampai mendapat panggilan,
“Tegakkan kepalamu dan berilah syafa’at. Syafa’atmu pasti akan diterima.”
Hadits syafa’at ini telah mendapat konsensus
(kesepakatan) dari para Nabi, Rasul dan semua orang mukmin dan merupakan
ketetapan dari Allah Tuhan semesta alam. Di mana mereka semua sepakat bahwa memohon
pertolongan dengan perantara orang-orang besar yang dekat dengan Allah, di saat
mengalami puncak musibah adalah salah satu kunci terbesar bagi munculnya
kemudahan dan salah satu hal yang dapat mengantarkan ridha Allah.
LEGALITAS TAWASSUL MENURUT METODE SYAIKH
IBNU TAIMIYYAH
Dalam kitabnya Qā’idah Jalīlah fī
al-Tawassul wa al-Wasīlah, Ibnu Taimiyyah, ketika membahas firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَة
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan carilah wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri kepada-Nya.( QS.
al-Ma’idah: 35).
Ia berkata, “Mencari wasīlah (mediator)
kepada Allah hanya bisa dilakukan oleh orang yang bertawassul kepada Allah
dengan beriman kepada Muhammad dan pengikut beliau. Tawassul model ini, dengan
keimanan kepada Muhammad dan kepatuhan kepada beliau hukumnya fardlu bagi
setiap orang dalam kondisi apapun baik lahir maupun batin, semasa hidup beliau
atau sesudah wafat, dan pada saat berada bersama beliau atau jauh dengan
beliau.
Tawassul dengan iman kepada Muhammad dan
kepatuhan kepada beliau mengikat setiap orang dalam situasi dan kondisi apapun
setelah tegaknya hujjah atasnya dan juga tidak gugur dengan alasan apapun. Tidak
ada jalan menuju kemuliaan dan rahmat Allah, serta selamat dari kehinaan dan
adzab-Nya kecuali dengan tawassul dengan Nabi Muhammad dan kepatuhan kepadanya.
Nabi Muhammad adalah pemberi syafa’at semua makhluk dan pemilik al-maqam
al-mahmûd (kedudukan terpuji) yang membuat iri manusia periode awal dan akhir.
Beliau adalah pemberi syafa’at yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah.
Berkenaan dengan Nabi Musa, Allah berfirman,
وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا
Dan adalah dia (Musa) seorang yang
mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah. (QS. al-Ahzab: 69)
Dan mengenai ‘Isa Allah berfirman,
وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا
وَالْآخِرَةِ
(Isa ibn Maryam) seorang terkemuka di dunia
dan di akhirat. (QS. Ali Imran: 45)
Nabi Muhammad lebih tinggi kedudukannya
dibanding para Nabi dan Rasul lain. Akan tetapi, syafa’at dan doa beliau Shallallāhu
‘alaihi wa sallam hanya berguna bagi orang yang diberi syafa’at dan doa oleh
beliau. Orang yang didoakan dan diberi syafa’at oleh beliau itu bertawassul
kepada Allah dengan syafa’at dan doa beliau. Sebagaimana bertawassul kepada
Allah dengan doa dan syafa’at beliau dan sebagaimana manusia bertawassul kepada
Allah di hari kiamat dengan doa dan syafa’at beliau Shallallāhu ‘alaihi wa
sallam.
Dalam al-Fatāwā al-Kubrā Syaikh Ibnu
Taimiyyah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apakah boleh tawassul dengan
Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam atau tidak?” Ia menjawab, “Alhamdulillah,
adapun tawassul dengan iman kepada beliau, kecintaan, ketaatan, shalawat dan
salam kepadanya dan dengan doa serta syafa’atnya dan sebagainya, menyangkut
hal-hal yang merupakan tindakan Nabi dan tindakan orang-orang yang perbuatannya
diperintahkan agama berkaitan dengan beliau, maka tawassul seperti ini
disyari’atkan menurut kesepakatan para ulama.”
Menurut saya, berdasarkan dari pendapat
Ibnu Taimiyyah di atas, dapat dua poin berikut:
Seorang muslim yang taat, cinta kepada
Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, meneladani beliau, dan membenarkan
syafa’at beliau disyari’atkan untuk bertawassul dengan kepatuhan, kecintaan,
dan pembenarannya kepada beliau.
Jika kita bertawassul dengan Nabi Muhammad,
maka Allah bersaksi bahwa sebenarnya kita bertawassul dengan iman dan cinta
kita kepada beliau, dan keutamaan serta kemuliaan beliau. Inilah tujuan
sesungguhnya dari tawassul. Tidak bisa tawassul seseorang kepada beliau
digambarkan selain dalam pengertian ini, dan tidak mungkin dimaksudkan selain
pengertian ini dari semua kaum muslimin yang mempraktikkan tawassul. Hanya saja
orang yang bertawassul kadang mengucapkan dengan jelas maksud tawassul ini dan
kadang tidak, karena berpijak pada maksud sesungguhnya dari tawassul yang
merupakan iman dan rasa cinta kepada beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam,
bukan maksud yang lain.
Salah satu kesimpulan yang bisa ditarik
dari pandangan Ibnu Taimiyyah adalah bahwa orang yang didoakan Rasulullah, sah
baginya untuk bertawassul kepada Allah lewat doa beliau kepadanya, dan terdapat
keterangan bahwa beliau mendoakan umatnya sebagaimana terdapat dalam banyak
hadits, di antaranya,
Dari ‘‘Aisyah radhiallāhu ‘anha, ia
berkata: “Saat aku melihat Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam sedang bersuka
hati, saya berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku!”
Rasulullah pun berdoa,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَائِشَةَ مَا
تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهَا وَمَا تَأَخَّرَ وَمَا أَسَرَّتْ وَمَا أَعْلَنَتْ,
فَضَكِحَتْ عَائِشَةُ حَتَّى سَقَطَ رَأْسُهَا فِيْ حِجْرِهَا مِنَ الضَّحْكِ
وَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ : أَيَسُرُّكِ دُعَائِيْ, فَقَالَتْ : وَمَا لِيَّ
لاَ يَسُرُّنِيْ دُعَائُكَ, فَقَالَ النَّبِيُّ : إِنَّهَا لَدُعَائِيْ
لِأُمَّتِيْ فِيْ كُلِّ صَلاَةٍ
Ya Allah, ampunilah dosa ‘‘Aisyah, baik
dosa yang telah lalu dan dosa akan akan datang, yang disembunyikan dan yang
dilakukan dengan terang-terangan. ‘Aisyah
tertawa sampai kepalanya jatuh ke dalam pangkuan Nabi. “Apakah doaku membuatmu
bahagia?” tanya beliau. “Ada apa gerangan denganku, tidak merasa bahagia dengan
doamu?” jawab ‘Aisyah. “Doa itu adalah doaku untuk umatku yang kupanjatkan
setiap shalat,” lanjut Nabi.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzaar.
Para perawinya adalah para perawi dengan kriteria yang ditetapkan hadits
shahih, selain Ahmad ibn al-Manshur al-Ramadi, yang termasuk perawi dapat
dipercaya (dikutip dari Majma’ul Zawāid).
Oleh karena itu, sah-sah saja bagi setiap
muslim untuk bertawassul kepada Allah dengan doa Nabi untuk umatnya, dengan
mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya Nabi-Mu Muhammad telah mendoakan umatnya
dan saya adalah salah satu dari mereka. Saya bertawassul kepada-Mu dengan doa
ini, agar Engkau mengampuniku dan merahmatiku ... dst.” Apabila ia mengucapkan
doa tawassul seperti ini maka ia tidak keluar dari ajaran yang telah disepakati
para ulama. Jika dia mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu dengan
Nabi-Mu Muhammad,” berarti ia tidak mengucapkan dengan jelas apa yang diniatkan
dan tidak menjelaskan apa yang telah menjadi ketetapan hatinya, yang merupakan
maksud dan yang dikehendaki setiap muslim yang tidak melebihi batas ini. Sebab,
orang yang bertawassul dengan Nabi tidak memiliki tujuan kecuali hal-hal yang
bersangkutan dengan beliau menyangkut rasa cinta, kedekatan dengan Allah,
kedudukan, keutamaan, doa, dan syafa’at. Apalagi di alam barzakh beliau
mendengar shalawat dan salam dan menjawab shalawat dan salam yang disampaikan
dengan jawaban yang layak dan relevan yakni membalas salam dan memohonkan
ampunan. Berdasarkan keterangan yang terdapat dalam sebuah hadits dari beliau,
حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ
خَيْرٌ لَكُمْ, تَحْدُثُوْنَ وَيَحْدُثُ لَكُمْ, تُعْرَضُ أَعْمَالُكُمْ عَلَيَّ, فَإِنْ
وَجَدْتُ خَيْرًا حَمِدْتُ اللهَ , وَإِنْ وَجَدْتُ شَرًّا اِسْتَغْفَرْتُ اللهَ
لَكُمْ
Hidupku merupakan kebaikan untuk kalian dan
matiku juga merupakan kebaikan untuk kalian. Kalian bercakap-cakap dan
mendengarkan percakapan. Semua amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika
aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan,
aku memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian.
Hadits ini diriwayatkan oelh al-Hafidz Isma’il
al-Qadli pada Juz’u al-Shalāti ‘alā al-Nabiyi Shallallāhu ‘alaihi wa salla. Al-Haitsami
menyebutkannya dalam Majma’ul Zawāid dan mengkategorikannya sebagai hadits
shahih dengan komentarnya, “Hadits diriwayatkan oleh al-Bazzar dan para
perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih, sebagaimana akan dijelaskan
nanti.”
Hadits di atas jelas menunjukkan bahwa di
alam barzakh, Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam memohonkan ampunan
(istighfar) untuk umatnya. Istighfar adalah doa dan umat beliau memperoleh
manfaat dengannya.
Terdapat keterangan dalam sebuah hadits
bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ
إِلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوْحِيْ حَتَّى أَرُدَّ السَّلاَمَ
Tidak ada satu pun orang muslim yang
memberi salam kepadaku kecuali Allah akan mengembalikan nyawaku hingga aku
menjawab salamnya. (HR. Abu Dawud dari Abu Hurairah). Mengenai
hadits ini, Imam al-Nawawi berkata, “Isnad hadits ini shahih.”
Hadits ini jelas menerangkan bahwa beliau Shallallāhu
‘alaihi wa sallam menjawab orang yang memberinya salam. Salam adalah kedamaian
yang berarti mendoakan mendapat kedamaian dan orang yang memberi salam mendapat
manfaat dari doa beliau ini. ***
DISYARI’ATKANNYA TAWASSUL MENURUT IMAM
AHMAD IBN HANBAL DAN IBNU TAIMIYYAH
Dalam beberapa kitabnya, Ibnu Taimiyyah
menegaskan diperbolehkannya tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam
tanpa membedakan antara semasa hidup dan sesudah wafat dan antara saat berada
di tengah-tengah para sahabat atau tidak. Diperkenankannya tawassul dengan Nabi
ini juga dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al-Fatāwā al-Kubrā.
Di samping fakta di atas, Ibnu Taimiyyah
juga berkata, “Demikian pula, salah satu hal yang disyari’atkan adalah tawassul
dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam berdoa sebagaimana terdapat
dalam hadits yang diriwayatkan dan dinilai shahih oleh al-Turmudzi,
“Sesungguhnya Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan seseorang untuk
berdoa dengan membaca, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan
bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad aku
bertawassul denganmu kepada Tuhan-Mu, agar Dia menyingkapkan kebutuhanku untuk
dipenuhi. Terimalah, Ya Allah, syafa’at Muhammad padaku.” Tawassul dengan Nabi
ini adalah baik.” (al-Fatāwā vol. III hlm. 276).
Ibnu Taimiyyah juga berkata, “Tawassul
kepada Allah dengan selain beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, baik disebut
istighatsah atau bukan, saya tidak pernah mengetahui salah seorang generasi salaf
melakukannya dan meriwayatkan atsarnya. Saya hanya tahu bahwa dalam fatwanya
Syaikh mengharamkan tawassul dengan selain Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Adapun tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka terdapat hadits
hasan dalam kitab al-Sunan yang diriwayatkan oleh al-Nasai, al-Turmudzi dan
yang lain. Hadits tersebut adalah, “Seorang penduduk desa datang kepada Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, mataku terserang musibah, doakanlah
kepada Allah untukku,” ia memohon. “Berwudhu’lah dan laksanakan shalat dua
roka’at lalu bacalah, “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu dan bertawassul
kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad. Wahai Muhammad, saya memohon syafa’at
kepadamu dalam mengembalikan penglihatanku. Ya Allah, terimalah syafa’at
Nabi-Mu untukku.” Nabi menjawab, “Jika kamu mempunyai keperluan maka bacalah
doa tadi.” Lalu Allah pun mengembalikan penglihatannya.” Berangkat dari hadits
ini, Ibnu Taimiyyah mengecualikan tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa
sallam. (al-Fatāwā vol. 1 hlm. 105).
Dalam bagian lain Ibnu Taimiyyah
mengatakan, “Berangkat dari hadits tersebut, Imam Ahmad berkata dalam al-Mansak-nya
(buku tata cara ibadah/manasik) yang ditulis untuk muridnya, al-Marwazi, “Bahwasanya
Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bisa dijadikan sebagai objek tawassul dalam
doanya.” Namun selain Imam Ahmad berpendapat bahwa tawassul dengan beliau
adalah bersumpah kepada Allah dengan beliau, sedangkan tidak diperbolehkan
bersumpah kepada Allah dengan makhluk. Hanya saja Imam Ahmad dalam salah satu
riwayatnya telah memperbolehkan bersumpah dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa
sallam. Oleh karena itu diperbolehkan juga tawassul dengan beliau.” (Al Fatāwā,
vol. I hlm. 140).
DIPERBOLEHKANNYA TAWASSUL MENURUT IMAM AL-SYAUKANI
Al-Muhaddits al-Salafi al-Syaikh Muhammad ibn
‘Ali al-Syaukani dalam risalahnya yang berjudul Al-Dlurr al-Nadlīd fī Ikhlāshi
Kalimāti al-Tauhīd mengatakan, “Adapun tawassul kepada Allah dengan salah satu
makhluk-Nya dalam mencapai sesuatu yang diinginkan seorang hamba, maka
al-Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam mengatakan, “Bahwasanya tidak boleh
tawassul kepada Allah kecuali dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, jika
hadits yang menjelaskan tawassul dengan beliau ini dinilai shahih.” Barangkali
Syaikh ‘Izzuddin menunjuk kepada hadits yang dikeluarkan oleh al-Nasa’i dalam Sunan-nya
dan al-Turmudzi, dan dikategorikan shahih oleh Ibnu Majah dan yang lain bahwa
mengenai hadits tentang seorang tuna netra datang kepada Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam, para ulama
berbeda pendapat. Ia mengatakan, “Para ulama memiliki dua pandangan berbeda
menyangkut hadits ini,
Tawassul adalah apa yang diucapkan oleh ‘Umar
bin Khaththab ketika ia mengatakan, “Saat kami dulu mengalami paceklik, maka kami
bertawassul kepada-Mu dengan perantara keagungan Nabi-Mu, hingga akhirnya
Engkau menurunkan hujan buat kami, dan kami bertawassul dengan paman Nabi kami.”
Hadits ini tercantum dalam Shahih al-Bukhari dan kitab lain. ‘Umar telah
mengatakan bahwa para sahabat dahulu bertawassul dengan Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam semasa hidup beliau untuk memohon hujan kemudian mereka
bertawassul dengan paman beliau, ‘Abbas, sepeninggal beliau Shallallāhu ‘alaihi
wa sallam. Tawassul para sahabat adalah permintaan mereka akan hujan sekiranya
beliau berdoa disertai mereka. Berarti beliau merupakan perantara mereka kepada
Allah, dan Nabi dalam hal permemohonan hujan ini adalah orang yang memberi
syafa’at dan berdoa untuk mereka.
Bahwa tawassul dengan Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam bisa dilakukan pada saat beliau masih hidup, telah tiada,
ketika beliau ada di tempat atau tidak berada di tempat. Cukup jelas sekarang
bagi kita bahwa tawassul dengan beliau semasa masih hidup atau tawassul dengan
selain beliau sepeninggal beliau, merupakan amaliah yang berdasarkan ijma’
sukuti para sahabat. Karena tidak ada satu sahabat pun yang menentang pendapat ‘Umar
bin Khaththab dalam tawassulnya dengan Sayyidina ‘Abbas radhiallāhu ‘anhu.
Dalam pandangan saya sama sekali tidak ada alasan untuk mengkhususkan tawassul
hanya dengan beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana
diterangkan oleh Syaikh ‘Izzuddin ibn ‘Abdissalam, bahwa pendapat tersebut
berdasarkan pada dua kenyataan:
Fakta yang telah saya sampaikan kepada Anda
adalah bahwa telah terjadi konsensus para sahabat mengenai tawassul ini.
Bahwa tawassul kepada Allah dengan
perantara orang-orang yang baik dan para ulama, pada dasarnya adalah tawassul
dengan amal baik perbuatan mereka serta keistimewaan-keistimewaan yang mereka
miliki. Karena seseorang tidak mungkin menjadi baik kecuali karena amal
perbuatannya. Jika seseorang mengucapkan, “Ya Allah, saya bertawassul kepada-Mu
dengan si Fulan yang ‘alim”, maka ini memandang pada ilmu yang melekat padanya.
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim saja telah nyata bahwa Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam mengisahkan tentang tiga orang yang terjebak dalam goa yang
tertutup batu besar yang masing-masing bertawassul kepada Allah dengan amal
perbutan mereka yang paling luhur kemudian batu itu pun bergeser. Seandainya
tawassul dengan amal perbuatan baik itu tidak boleh atau dikategorikan syirik
sebagaimana penilaian orang-orang yang ekstrem dalam masalah ini seperti Ibnu
‘Abdissalam dan yang sependapat dengannya maka niscaya doa mereka tidak akan
terkabul dan Nabi pun tidak akan diam untuk menolak tindakan mereka setelah
menceritakan kisah mereka. Berangkat dari kenyataan ini engkau akan mengetahui
bahwa ayat-ayat yang dikemukakan mereka yang mengharamkan tawassul dengan para
Nabi dan orang-orang shalih seperti ayat,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ
زُلْفَى
Kami tidak menyembah mereka, melainkan
supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. (QS.
al-Z’Umar: 3)
فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
Maka kamu janganlah menyembah seorang pun
di dalamnya di samping (menyembah) Allah. (QS. al-Jin: 18)
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ
يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لَا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْء ... الآية
Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa
yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat
memperkenankan sesuatu pun bagi mereka....(QS. al-Ra’d: 14)
Dalil-dalil yang merekan lontarkan berada
di luar konteks (salah sasaran). Penggunaan ayat-ayat tersebut adalah termasuk
beragumentasi atas aspek yang diperselisihkan dengan menggunakan alasan yang
berada di luar persoalan. Karena ayat yang mereka kemukakan adalah ayat,
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا
لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى... (الزمر : 3)
menjelaskan bahwa mereka menyembah berhala
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan, orang yang bertawassul dengan
orang alim misalnya, sama sekali tidak menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa
orang alim itu memiliki keistimewaan di sisi Allah dengan memiliki ilmu. Lalu
ia bertawassul dengannya karena keistimewaannya tersebut. Demikian pula firman
Allah,
فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا... (الجن : 18)
ayat ini melarang selain Allah dimintaakan
doa bersamaan dengan Allah seperti mengatakan “dengan Allah” dan “dengan Fulan”.
Sedang orang yang bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali
kepada Allah. Yang terjadi pada dirinya hanyalah tawassul kepada Allah dengan
amal shalih yang dilakukan sebagian hamba Allah sebagaimana tiga orang yang
terjebak dalam goa yang tertutup batu bertawassul dengan amal shalih mereka.
Hal yang sama juga berlaku pada ayat,
وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ ... الآية
Karena sesungguhnya kaum musyrikin berdoa
kepada sesuatu yang tidak mampu mengabulkan permohonan mereka dan tidak berdoa
kepada Tuhan yang akan mengabulkan permohonan mereka. Sedangkan, orang yang
bertawassul dengan orang alim misalkan tidak berdoa kecuali kepada Allah, ia
tidak berdoa kepada yang lain dan tidak melibatkan yang lain bersama Allah saat
berdoa.
Jika kita telah mengetahui paparan di atas,
maka akan tampak kejelasan argumentasi untuk membantah dalil-dalil yang
disampaikan kelompok yang menolak tawassul, yang berada di luar konteks dari
apa yang telah saya jelaskan di atas sebagaimana argumentasi mereka dengan
firman Allah :
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ
(17) ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ (18) يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ
لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ (19)
Tahukah kamu apa hari pembalasan itu?
Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika)
seseorang tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain. Dan segala
urusan pada hari itu adalah kekuasaan Allah. (QS. al-Infithar: 17-19)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Subhānahu
wa ta’āla adalah penguasa tunggal di hari kiamat. Makhluk selain Allah tidak
memiliki apa-apa. Orang yang bertawassul dengan salah seorang Nabi atau ulama
tidak meyakini bahwa orang yang dijadikan bertawassul memiliki peran bersama
Allah dalam urusan hari kiamat. Barangsiapa punya keyakinan bahwa salah seorang
hamba, baik Nabi atau bukan, memiliki peran demikian, maka ia berada dalam
kesesatan yang nyata. Demikian pula berargumentasi atas diharamkannya tawassul
dengan firman Allah,
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ
Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam
urusan mereka itu. (QS. Ali Imran: 128)
قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي ضَرًّا
وَلَا نَفْعًا
Katakanlah, “Aku tidak berkuasa
mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku. (QS.
Yunus: 49)
Kedua ayat ini mengindikasikan bahwa
Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki peran apapun dalam
urusan Allah dan bahwa beliau tidak bisa memberi manfaat dan bahaya kepada
dirinya, lalu bagaimana beliau memberi manfaat dan bahaya kepada orang lain. Kedua
ayat ini tidak mengandung larangan tawassul dengan Nabi atau orang lain dari
para Nabi, wali atau ulama. Allah telah menjadikan Rasulullah Shallallāhu
‘alaihi wa sallam dalam al-Maqam al-Mahmûd yakni maqam syafa’ah paling besar, dan
menunjukkan kepada makhluk, agar mereka memohon kepada beliau syafa’ah tersebut
sekaligus berkata kepada beliau, “Mintalah kamu akan diberi dan berilah
syafa’at maka syafa’atmu akan diterima.” Perintah Allah ini terdapat dalam kitab-Nya yang mulia
bahwasanya syafa’at tidak akan ada tanpa seizin Allah dan hanya untuk mendapat
ridla-Nya. Demikian pula argumentasi untuk menolak tawassul dengan sabda Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam saat turun firman Allah,
وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ
الْأَقْرَبِينَ
Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat. (QS. al-Syu’araa: 214)
يَا فُلاَنُ بْنُ فُلاَنٍ لاَ
أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا, يَا فُلاَنَةُ بِنْتُ فُلاَنٍ لاَ أَمْلِكُ
لَكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا
Wahai Fulan, aku tidak memiliki apa-apa
dari Allah untukmu. Wahai Fulan binti Fulan, aku tidak memiliki apa-apa dari
Allah untukmu.
Ungkapan ini tiada lain kecuali mengandung
penjelasan secara transparan bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak
mampu memberi manfaat orang yang dikehendaki mendapat bahaya dari-Nya dan juga
tidak mampu memberi bahaya orang yang dikehendaki Allah mendapat manfaat, dan
juga bahwa beliau tidak memiliki apa-apa dari Allah untuk salah satu
kerabatnya, apalagi orang lain. Semua orang muslim mengerti akan hal ini. Dalam
hadits ini tidak ada keterangan bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak
dijadikan objek tawassul kepada Allah. Karena tawassul adalah meminta sesuatu kepada
yang memiliki perintah dan larangan. Dalam tawassul orang yang memohon hanya
mengajukan di hadapannya sesuatu yang menjadi faktor terkabulnya doa dari Dzat
yang memiliki kekuatan tunggal untuk memberi dan menolak, yakni Penguasa hari
pembalasan. Demikianlah pandangan Imam al-Syaukani.
PENDAPAT SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB TENTANG
DIPERBOLEHKANNYA TAWASSUL
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab pernah
ditanya mengenai pendapat para ulama dalam masalah istisqa’ (meminta hujan)
yang mengatakan, “Tidak apa-apa bertawassul dengan perantara orang-orang shalih.”
Seperti juga pendapat Imam Ahmad bahwa hanya Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam
yang boleh dijadikan media bertawassul. Meskipun sebagaian para ulama berpendapat bahwa
makhluk tidak boleh menjadi media
tawassul.”
Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab memberikan
jawaban, “Kedua pendapat ini memiliki perbedaan yang sangat jelas. Polemik ini
bukan tema yang sedang kami bicarakan. Adapun kenyataan bahwa sebagian orang yang memperbolehkan tawassul
dengan orang-orang shalih dan sebagian mengkhususkan tawassul dengan Nabi, dan
mayoritas ulama melarang tawassul dan menilainya makruh, adalah merupakan
persoalan fikih. Meskipun yang benar di mata kami adalah pendapat mayoritas
ulama, yakni tawassul hukumnya makruh. Namun kami tidak menolak orang yang
melakukan tawassul. Sebab, dalam persoalan-persoalan ijtihad fikih tidak perlu
ada pengingkaran. Yang kami ingkari hanyalah orang yang berdoa kepada makhluk
melebihi berdoa kepada Allah dan orang yang mendatangi kuburan seraya
meminta-minta, misalnya meminta-minta di makam Syaikh Abdul Qadir atau makam
lain seraya berharap hilangnya kesulitan dan kesedihan serta diberi
kebahagiaan. Adakah korelasi hal seperti
itu dengan orang yang tidak menyembah dan tidak berdoa kepada selain Allah,
yang dalam doanya ia mengucapkan: “Ya Allah, saya memohon kepada-Mu dengan
perantara keagungan Nabi-Mu, para rasul, atau hamba-hamba-Nya yang shalih.”
Atau ia datang ke sebuah kuburan yang telah dikenal atau tidak untuk berdoa di
tempat itu, namun ia hanya berdoa kepada Allah semata. Yang demikian ini tidak
relevan dengan yang kita ingkari, yang meminta kepada orang yang sudah
meninggal.
Demikianlah kutipan dari fatwa-fatwa Syaikh
al-Imam Muhammad ibn Abdul Wahhab dalam kumpulan karya-karya, vol. III hlm. 68
yang diterbitkan oleh Universitas al-Imam Muhammad ibn Sa’ud al-Islamiyyah
dalam tulisan mingguan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa beliau
memperbolehkan tawassul. Paling jauh beliau berpendapat bahwa tawassul makruh—yang
ia akui sebagai pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Dan tentunya perkara yang
makruh itu jelas bukan haram apalagi dianggap bid’ah atau syirik.
SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB TIDAK
BERTANGGUNG JAWAB ATAS ORANG YANG MENGAFIRKAN ORANG-ORANG YANG BERTAWASSUL
Terdapat sebuah keterangan dari Syaikh
Muhammad ibn Abdul Wahhab yang ditulis dalam risalah yang ditujukan kepada
warga Qashim. Beliau mengingkari orang yang menuduhnya mengafirkan orang yang
bertawassul dengan perantara orang-orang shalih. Beliau berkata, “Bahwa
Sulaiman ibn Suhaim telah melontarkan fitnah bahwa saya mengatakan hal-hal yang
sebenarnya tidak pernah saya ucapkan dan kebanyakan hal-hal itu tidak pernah
terlintas dalam benakku. Di antaranya saya dikatakan telah mengafirkan orang
yang bertawassul dengan orang-orang shalih, saya mengafirkan Imam Bushiri hanya
karena Imam Bushiri pernah berkata dalam syairnya, “Wahai makhkuk paling mulia”,
dan juga dituduh membakar kitab Dalāilul Khairāt.”
Jawaban saya atas segala tuduhan di atas
adalah, “Subhānaka Hādzā Buhtānun ‘Adhīm.”
Dalam risalah lain, beliau menulis jawaban
kepada peserta sebuah perkumpulan. Beliau berkata, “Jika persoalan ini sedah
jelas. Maka masalah-masalah yang mendapat stigma negatif dari Sulaiman bin
Suhaim, diantaranya ada yang merupakan kebohongan besar, yakni perkataanku
bahwa saya telah mengafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang shalih
dan bahwa saya telah mengafirkan Imam Bushiri dan sebagainya. Selanjutnya
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menambahkan, “Jawaban saya atas
tuduhan-tuduhan di muka adalah “Subhānaka Hādzā Buhtānun ‘Adhīm.”
Jawaban Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
tersebut dapat dilihat dalam risalah yang pertama dan ke sebelas dari
risalah-risalah beliau bagian kelima hlm. 12-64.
TAWASSUL DENGAN JEJAK PENINGGALAN NABI
Ada sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa
para sahabat memohon berkah dengan peninggalan-peninggalan beliau Shallallāhu
‘alaihi wa sallam. Memohon berkah ini tidak ada lain kecuali memberikan satu
pengertian, yakni bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan beliau Shallallāhu
‘alaihi wa sallam, sebab tawassul bisa dilakukan dengan beragam cara bukan
hanya dengan satu cara.
Apakah Anda mengira para sahabat hanya
bertawassul dengan perantara jejak peninggalan beliau, tidak dengan sosok
beliau sendiri? Apakah logis jika cabang bisa dijadikan objek tawassul, tapi
yang pokok tidak?
Apakah logis, jika jejak peninggalan beliau
yang kemuliaannya disebabkan pemiliknya, yakni Muhammad, bisa dijadikan objek
tawassul, lantas ada seseorang berkata, “Sesungguhnya beliau Shallallāhu
‘alaihi wa sallam tidak bisa dijadikan objek tawassul.” Subhānaka Hādzā
Buhtānun ‘Adhīm.
Dalil-dalil menyangkut tema ini sangatlah
banyak jumlahnya. Namun kami hanya akan menyebut nash yang paling populer.
Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin ‘Umar ibn al-Khattabsangat ingin untuk
dimakamkan di samping makam Rasulullah. Saat ajalnya menjelang tiba, ia
mengutus anaknya, Abdullah untuk meminta izin kepada Sayyidah ‘‘Aisyah agar
bisa dikubur di samping makam beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Kebetulan ‘‘Aisyah
menyatakan keinginan yang sama. “Dulu saya ingin tempat itu menjadi kuburanku,
dan saya akan memprioritaskan ‘Umar untuk menempatinya,” kata ‘‘Aisyah.
Abdullah pun pulang memberi kabar suka cita yang besar kepada ayahnya.
“Alhamdulillah, tidak ada sesuatu yang lebih penting melebihi hal itu,” ucap ‘Umar.
Kisah ini secara detail bisa dilihat di Shahih al-Bukhari. Lalu apa arti
keinginan besar dari ‘Umar dan ‘‘Aisyah?
Mengapa dimakamkan di dekat Rasulullah
menjadi hal yang sangat diinginkan oleh ‘Umar? Hal ini tidak bisa dipahami
kecuali semata-mata tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam sesudah
wafat seraya mengharap keberkahan dekat dengan beliau.
Dalam riwayat lain disebutkan, Ummu Sulaim
memotong mulut geriba (tempat air susu) yang beliau meminum dari wadah itu.
Anas berkata, “Potongan mulut geriba itu ada pada kami.”
Bahkan diriwayatkan, para sahabat berebut
untuk memungut sehelai rambut kepala beliau, saat beliau mencukurnya.
Asma’ binti Abu Bakar menyimpan jubah
beliau dan berkata, “Kami membasuhnya untuk orang-orang sakit dengan harapan
memohon kesembuhan dengannya.”
Cincin Rasulullah disimpan oleh Abu Bakar, ‘Umar,
dan Utsman setelah beliau wafat. Dan cincin itu akhirnya jatuh ke sumur dari
tangan Utsman.
Semua hadits-hadits di atas derajatnya kuat
dan shahih sebagaimana akan kami jelaskan dalam bahasan memohon keberkahan (tabarruk).
Yang ingin saya katakan adalah ada apa dengan perhatian para sahabat terhadap
jejak-jejak peninggalan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam? (mulut geriba,
rambut, keringat, jubah, cincin, dan tempat shalat). Apa maksud perhatian
mereka terhadapnya? Apakah hanya sekedar kenangan, tidak lebih dan tidak
kurang, atau hanya menjaga benda-benda peninggalan bersejarah untuk disimpan di
museum? Jika alasan pertama sebagai jawaban, lalu mengapa mereka sangat menaruh
perhatian dengannya ketika berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah saat
tertimpa musibah atau penyakit? Jika alasan kedua sebagai jawaban, lalu di
manakah museum itu berada dan dari mana ide baru itu sampai kepada mereka ? Subhānaka
Hādzā Buhtānun ‘Adhīm.
Tidak ada tujuan lain dari para sahabat
dengan menggunakan jejak-jejak peninggalan Nabi untuk dijadikan media tawassul
kepada Allah saat berdoa. Hal ini karena Allah adalah Dzat Pemberi dan tempat
meminta. Semua makhluk adalah hamba-Nya dan di bawah kendali-Nya, yang tidak
bisa memberi apapun kepada diri mereka sendiri apalagi orang lain, kecuali atas
izin Allah.
TAWASSUL DENGAN JEJAK PENINGGALAN PARA NABI
‘ALAIHIMU AL-SALĀM
Allah berfirman,
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ
آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ
وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka,
‘Sesungguhnya tanda ia (Thalut) akan menjadi raja ialah kembalinya tabut (peti
tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan) kepadamu. Di dalamnya terdapat
ketenangan (sakinah) dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Nabi Musa
dan Harun. Tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. al-Baqarah: 248)
Ibnu Katsir dalam kitab al-Tarikh-nya mengatakan,
“Mengenai Tabut dalam ayat di atas Ibnu Jarir mengatakan, “Dahulu Bani Israil
jika berperang dengan salah seorang musuh, maka mereka senantiasa membawa tabut
al-mitsāq (peti perjanjian) yang berada dalam Qubbat al-Zaman (Qubah Zaman)
sebagaimana telah dijelaskan di atas. Mereka mendapat kemenangan sebab
keberkahan dari tabut al-mitsāq itu dan sebab kedamaian dan sisa-sisa
peninggalan Nabi Musa dan Harun yang berada di dalamnya. Ketika dalam salah
satu peperangan mereka melawan penduduk Ghaza dan ‘Asqalan, musuh berhasil
mengalahkan mereka dan merebut tabut al-mitsāq dari tangan mereka.”
Ibnu Katsir juga berkata, “Dahulu Bani
Israil mengalahkan musuh-musuhnya berkat tabut al-mitsāq, yang di dalamnya ada
bokor dari emas yang digunakan untuk membasuh dada para Nabi.” (al-Bidayah wa
al-Nihayah vol. II hlm. 8).
Dalam tafsirnya Ibnu Katsir menjelaskan,
“Di dalam tabut itu ada tongkat Nabi Musa, tongkat Nabi Harun, dua papan dari
Taurat, dan beberapa baju Nabi Harun. Sebagian ulama berpendapat di dalamnya
ada tongkat dan sepasang sandal.” (Tafsir Ibnu Katsir vol. I hlm. 313).
Menurut Imam al-Qurthubi, bahwa Tabut
diturunkan Allah kepada Nabi Adam. Tabut tersebut tetap berada di tangan Nabi
Adam sampai akhirnya berada di tangan Nabi Ya’qub. Selanjutnya ia berada di
tangan Bani Israil, yang dengannya mereka mampu mengalahkan orang yang
menyerang mereka. Ketika mereka durhaka kepada Allah, mereka dikalahkan oleh
kaum raksasa yang juga merebut Tabut tersebut (Tafsir al-Qurthubi vol. III hlm.
247).
Perlakukan kaum terdahulu terhadap Tabut
ini sejatinya tidak lain adalah bertawassul dengan jejak-jejak peninggalan para
Nabi karena tidak ada artinya meletakkan Tabut di depan mereka kecuali dipahami
sebagai bentuk tawassul. Allah Subhānahu wa ta’āla sendiri meridhai tawassul
seperti ini dengan bukti Dia mengembalikannya kepada mereka dan dijadikan
sebagai indikasi atas keabsahan Thalut menjadi raja. Allah tidak pernah
mengingkari perlakuan mereka terhadap Tabut.
TAWASSUL NABI DENGAN KEMULIAAN DIRINYA DAN
KEMULIAAN PARA NABI SERTA SHALIHIN
Dalam biografi Fathimah binti Asad, ibu
dari Ali ibn Abi Thalib terdapat keterangan bahwa ketika ia meninggal,
Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam menggali liang lahatnya dengan
tangannya sendiri dan mengeluarkan tanahnya dengan tangannya sendiri. Ketika
selesai beliau masuk dan tidur dalam posisi miring di dalamnya, lalu berkata,
“Allah Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup tidak akan mati.
Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad, ajarilah ia hujjah (jawaban pertanyaan),
lapangkanlah tempatnya di sana dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku,
karena Engkau adalah Dzat yang paling penyayang.”
Rasulullah kemudian membacakan takbir untuk
Fathimah empat kali. Kemudian beliau bersama ‘Abbas dan Abu Bakar Shiddiq radhiallāhu
‘anhuma memasukkannya ke dalam liang lahat.” (HR Thabarani dalam al-Kabīr dan
al-Awsath).
Dalam sanad hadits tersebut di atas,
terdapat perawi bernama Rauh ibn Sholah yang dinilai tsiqah (dapat dipercaya)
oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadits ini mengandung kelemahan. Namun perawi
lain adalah perawi yang shahih, sehingga disebut hadits shahih. (Majma’
al-Zawāid vol. 9 hlm. 257).
Sebagian ahli hadits berbeda pendapat
menyikapi status Rauh ibn Shalah, salah seorang perawi hadits di atas. Namun
Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi tsiqah (dapat dipercaya).
Pendapat al-Hakim adalah, “Ia dapat dipercaya.” Keduanya sama-sama
mengkategorikan hadits tersebut sebagai hadits shahih. Demikian pula
al-Haitsami dalam Majma’ al-Zawāid. Perawi hadits ini sesuai dengan kriteria
hadits shahih.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam
Thabarani dan Ibnu ‘Abdil Barr dari Ibnu
‘Abbas, Ibnu Abi Syaibah dari Jabir, dan juga diriwayatkan oleh al-Dailami dan
Abu Nu’aim. Jalur-jalur periwayatan hadits ini saling menguatkan dengan kokoh
dan dipercaya.
Dalam kitab Ithāfu al-Adzkiyā’ halaman 20,
Syaikh al-Hafidh al-Ghimari mengatakan, “Rauh ibn Shalah ini kadar kedlaifannya
tipis menurut mereka yang menilainya lemah. Seperti yang dipahami dari
ungkapan-ungkapan ahli hadits. Karena itu, al-Hafidh al-Haitsami menggambarkan
kedlaifan Rauh bibn Shalah dengan bahasa yang mengesankan kadar ke-dhaif-an
yang ringan, sebagaimana diketahui jelas oleh orang yang biasa mengkaji
kitab-kitab hadits. Hadits di atas tidak kurang dari kategori hasan, malah
dalam kriteria yang ditetapkan Ibnu Hibban diklasifikasikan sebagai hadits
shahih.
Hadits tersebut dapat disimpulkan di sini
bahwa Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam telah bertawassul dengan
kemuliaan para Nabi yang telah wafat. Maka dapat ditegaskan, diperbolehkannya tawassul
kepada Allah dengan kemuliaan (bi al-haq) dan dengan mereka yang memiliki
kemuliaan (ahlu al-haq) baik masih hidup maupun sesudah wafat.
TAWASSUL NABI SHALLALLĀHU ‘ALAIHI WA SALLAM
DENGAN KEMULIAAN PARA PEMINTA
Diriwayatkan dari Abi Said al-Khudri radhiallāhu
‘anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Siapapun yang keluar dari rumahnya untuk shalat, sambil berdoa, “Ya Allah
sungguh saya memohon kepada-Mu dengan kemuliaan para peminta kepada-Mu dan
dengan kemuliaan langkahku ini, karena saya tidak keluar untuk berfoya-foya, melakukan kesombongan,
pamer atau mencari prestise. Saya keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap
ridha-Mu. Saya memohon kepada-Mu agar melindungiku dari neraka, dan mengampuni
dosaku. Karena sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa selain Engkau,” maka
Allah akan menyambutnya dan 70.000 malaikat akan memohonkan ampunan untuknya.”
Dalam kitab al-Targhīb wa al-Tarhīb vol.
III hlm. 119 Imam al-Mundziri berkata, “Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu
Majah dengan sanad yang mengandung pembicaraan (maqāl). Syaikhuna al-Hafidh Abu
al-Hasan mengkategorikan sanad ini sebagai sanad shahih.
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Natāiju al-Afkār
vol. I hlm. 727 mengatakan, “Derajat hadits ini adalah hasan yang diriwayatkan
oleh Ahmad dan Ibnu Majah dalam Kitabu al-Tauhīd, juga diriwayatkan oleh Abu
Nu’aim dan Ibnu al--Sunni.
Imam al-‘Iraqi dalam Takhrīju Ahādits
al-Ihyā’ vol. I hlm. 323 berpendapat bahwa hadits di atas sebagai hadits hasan.
Al-Hafidh al-Bushiri—dalam Zawāid Imam Ibnu
Majah yang disebut Mishbāhu al-Zujājah vol. I hlm. 98—mengatakan, “Al-Hafidz
Syarafuddin al-Dimyathi dalam al-Matjar al-Rābih hlm. 471 mengatakan bahwa
sanad hadits di atas itu adalah hasan.
Al-Allamah al-Muhaqqiq al-Muhaddits al-Sayyid
‘Ali ibn Yahya al-‘Alawi dalam risalah kecilnya Hidāyatul Mutakhabbithīn
menyatakan, “Bahwa al-Hafid Abdul Ghani al-Maqdisi menilai hadits itu sebagai
hadits hasan dan Ibnu Abi Hatim menerimanya.” Dari fakta ini jelaslah bagi Anda
bahwa hadits di atas telah dinilai shahih dan hasan oleh sejumlah hafidz dan
imam besar hadits. Mereka adalah Ibnu Khuzaimah, al-Mundziri dan gurunya Abu
al-Hasan, al-‘Iraqi, al-Bushairi (bukan penyusun Burdah), Ibnu Hajar, al-Syaraf
al-Dimyathi, Abdul Ghani al-Maqdisi, dan Ibnu Abi Hatim.
Setelah pendapat para pakar di atas
terungkap, adakah ruang yang tersisa untuk menilai terhadap hadits yang
kredibilitasnya harus kita akui? Apakah logis bagi orang yang berakal untuk
membuang penilaian yang telah ditetapkan oleh para pakar hadits besar di atas
dan mengambil ucapan mereka yang bersikap tidak dewasa dalam menilai hadits.
قَالَ أَتَسْتَبْدِلُونَ الَّذِي
هُوَ أَدْنَى بِالَّذِي هُوَ خَيْر
Musa berkata, “Maukah kamu mengambil
sesuatu yang lebih rendah sebagai pengganti (dari) yang lebih baik? (QS.
al-Baqarah: 61).
فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ
وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta,
tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada. (QS. al-Hajj: 46).
TAWASSUL DENGAN KUBURAN NABI SHALLALLĀHU ‘ALAIHI WA SALLAM BERDASARKAN
PETUNJUK SAYYIDAH ‘AISYAH
Al-Imam al-Hafidz al-Darimi dalam kitabnya al-Sunan
bab Mā Akramahullāh Ta’āla Nabiyyahu Shallallāhu ‘alaihi wa sallam ba’da
Mautihi berkata, “Abu Nu’man bercerita kepada kami, Sa’id ibn Zaid bercerita
kepada kami, ‘Amr bin Malik al-Nukri bercerita kepada kami, Abu al-Jauzaa’ Aus
bin Abdillah bercerita kepada kami, “Penduduk Madinah mengalami paceklik hebat.
Kemudian mereka mengadu kepada ‘‘Aisyah. “Lihatlah kuburan Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam dan buatlah lubang dari tempat itu menghadap ke atas hingga
tidak ada penghalang antara kuburan dan langit,” perintah ‘‘Aisyah. Abu
al-Jauza’ berkata, “Lalu mereka melaksanakan perintah ‘‘Aisyah. Kemudian hujan
turun kepada kami hingga rumput tumbuh dan unta gemuk (unta menjadi gemuk
karena pengaruh lemak, lalu disebut tahun gemuk).” (Sunan al-Daarimi vol. I hlm
43)
Jadi, tawassul dengan perantara makam
Rasulullah pengertiannya bukan karena kuburan itu sendiri, tapi dari aspek yang ada dalam kuburan itu
adalah jasad makhluk paling mulia dan kekasih Tuhan semesta alam. Jadi, kuburan
itu menjadi mulia sebab kedekatan agung ini dan karenanya berhak mendapat keistimewaan yang mulia.
Berikut penjelasan tentang kualitas hadits
di atas. Abu Nu’man adalah Muhammad ibn Fadhl yang dijuluki al-‘Arim. Beliau
adalah guru Imam Bukhari. Dalam al-Taqrīb, al-Hafidz Ibnu Hajar berpendapat
bahwa beliau adalah yang dipercaya namun di akhir umurnya mengalami perubahan
kekuatan sehingga hapalannya melemah.
Menurut saya, kondisi di atas tidak
mempengaruhi periwayatannya. Sebab, Imam Bukhari dalam Shahih-nya meriwayatkan
lebih dari 100 hadits darinya. Setelah ingatannya melemah pada masa tua, tidak
ada lagi riwayat darinya. Pandangan ini dikemukakan oleh al-Daruquthni, ”Tidak
ada yang memberimu informasi melebihi keterangan kepadamu seperti yang
diberikan oleh Yang Maha Mengetahui.” (QS. Al-Fathir: 14).
Imam al-Dzahabi membantah komentar Ibnu
Hibban yang pernah menyatakan, “Bahwasanya banyak hadits munkar ada padanya.”
Terkait dengan komentar Ibnu Hibban, al-Dzahabi berpendapat: “Ibnu Hibban gagal
menyebutkan satu hadits munkarnya. Lalu di manakah dugaannya?” (Mizānu
al-I’tidal vol. IV hlm. 8).
Adapun Sa’id ibn Zaid, ia adalah figur yang
sangat jujur namun terkadang salah mengutip kalimat hadits. Demikian pula
profil ‘Amr ibn Malik al-Nukri. Sebagaimana penilaian Ibnu Hajar mengenai
keduanya dalam dalam kitab al-Taqrib.
Ulama menetapkan bahwa ungkapan Shaduuq
Yahimu (orang jujur, tapi msih
dicurigai) adalah termasuk ungkapan-ungkapan untuk memberikan kepercayaan bukan
ungkapan untuk menilai lemah. (Tadribur Raawi).
Adapun Abul Jauzaa’—yakni Aus ibn Abdillah
al-Rib’i—ia termasuk figur yang dapat dipercaya dari para perawi Shahih al-Bukhari
dan Shahih Muslim. Berarti sanad hadits di atas tidak mengandung masalah, malah
dalam pandangan saya dapat dikategorikan baik. Para ulama menerima dan
menjadikan penguat banyak sanad semisalnya dan dengan para perawi yang
kualitasnya lebih rendah dari sanad hadits ini.
Sayyidah ‘‘Aisyah dan Pandangan Beliau terhadap
Kuburan Nabi
Sebagian ulama ada yang berpendapat,
“Persoalan tawassul dengan perantara makam Nabi Muhammad itu disandarkan pada ‘‘Aisyah.
Beliau adalah seorang sahabat. Padahal, perbuatan sahabat bukan hujjah.”
Terhadap pendapat ini, maka jawabannya adalah bahwa atsar tersebut berstatus hadits
mauquf. Meskipun itu opini ‘‘Aisyah, namun beliau dikenal sebagai perempuan
yang memiliki kapasitas keilmuan yang luas dan tindakannya dilakukan di kota
Madinah di tengah lingkungan para sahabat. Dari kisah yang terkandung dalam atsar
ini cukup bagi kita untuk menjadikannya sebagai dalil bahwa ‘‘Aisyah Ummul Mukminin
mengetahui bahwa sesudah wafat, Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam
senantiasa menyayangi dan memberi syafa’at pada umatnya, dan bahwa orang yang
berziarah ke kuburannya dan memohon syafa’atnya akan diberi syafa’at oleh
beliau, sebagaimana praktek yang telah dilakukan Ummul Mukminin ‘‘Aisyah.
Tindakan ‘‘Aisyah membuat lubang pada
tempat makam Rasulullah tidak dikategorikan kemusyrikan atau perantara
kemusyrikan sebagaimana tuduhan yang disuarakan orang-orang yang suka mengafirkan
dan menuduh sesat. Sebab, ‘‘Aisyah dan orang yang menyaksikannya bukan termasuk
mereka yang buta terhadap kemusyrikan dan hal-hal yang mengantar kepada
kemusyrikan.
Kisah di atas membantah pandangan kalangan
kelompok yang berpendapat haram. Kisah ini juga menegaskan bahwa Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam, di dalam kuburnya, sangat memperhatikan umatnya sampai
sesudah wafat. Salah satu buktinya adalah riwayat dari ‘‘Aisyah. Ummul Mukminin
‘‘Aisyah berkata, “Saya masuk ke dalam rumahku di mana Rasulullah dikubur di
dalamnya dan saya melepas baju saya. Saya berkata mereka berdua adalah suami
dan ayahku. Ketika ‘Umar dikubur bersama mereka, saya tidak masuk ke rumah
kecuali dengan busana tertutup rapat karena malu kepada ‘Umar.” (HR. Ahmad).
Al-Hafidz al-Haitsami menyatakan, “Para
perawi atsar di atas itu sesuai dengan kriteria perawi hadits shahih.” (Majma’
al-Zawāid vol. VIII hlm. 26). Al-Hakim meriwayatkanya dalam al-Mustadrok dan mengatakan atsar ini shahih
sesuai kriteria yang ditetapkan Bukhari dan Muslim. Al-Dzahabi sama sekali
tidak mengkritiknya. (Majma’ al-Zawāid vol. IV hlm. 7 ).
‘‘Aisyah tidak melepaskan baju dengan tanpa
tujuan, justru ia mengetahui bahwa Nabi dan kedua sahabatnya mengetahui
siapakah yang orang yang berada di dekat kuburan mereka. Nabi pernah bersabda
kepada Mu’adz saat diutus ke Yaman,
فَلَعَلَّكَ تَمُرُّ بِقَبْرِيْ
وَمَسْجِدِيْ
Semoga engkau kelak bisa melewati kuburan
dan masjidku ini. (HR Ahmad dan Thabarani).
Para
perawi dari keduanya adalah orang-orang yang bisa dipercaya kecuali
Yazid yang tidak pernah mendengar dari Mu’adz. (Majma’ al-Zawāid vol. X hlm. 55).
Ketika Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, Mu’adz
mendatangi kuburannya sambil menangis. Tindakan Mu’adz ini diketahui oleh ‘Umar
ibn al-Khattab. Lalu keduanya terlibat dalam pembicaraan sebagaimana
diriwayatkan oleh Zaid ibn Aslam dari ayahnya yang berkata, “‘Umar pergi ke
masjid dan melihat Mu’adz sedang menangis di dekat kuburan Nabi.“ “Apa yang
membuatmu menangis?” tanya ‘Umar. Saya mendengar hadits Rasulullah yaitu,
اليَسِيْرُ مِنَ الرِّيَاءِ شِرْكٌ
Sedikit dari riya adalah syirik.
Hakim berkata, ”Hadits ini shahih dan tidak
memiliki ‘illah (keganjilan atau kecacatan dalam teks atau isnad). Imam
al-Dzahabi juga sependapat dengan al-Hakim bahwa hadits ini shahih dan tidak
memiliki ‘illah. (Al-Mustadrok vol. I hlm. 4 ).
Imam al-Mundziri berkata dalam kitab al-Targhib
al-Tarhib bahwa hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Baihaqi, dan
al-Hakim. Al-Hakim berkata, “Hadits ini
shahih dan tidak memiliki ‘illah.” dan al-Mundziri sepakat dengan pandangan
al-Hakim (al-Targhib al-Tarhib vol. I hlm. 32 ).
TAWASSUL DENGAN PERANTARA MAKAM NABI PADA
ERA KHALIFAH ‘UMAR
Al-Hafidz Abu Bakar al-Baihaqi mengatakan,
“Abu Nashr ibn Qatadah dan Abu Bakar al-Farisi memberi kabar kepadaku. Keduanya
mengatakan bahwa Abu ‘Umar ibn Mathar telah menceritakan kepada mereka, dari
Ibrahim ibn ‘Ali al-Dzuhali, dari Yahya ibn Yahya, dari Abu Mu’awiyah dari
A’masy dari Abi Shalih dari Malik, ia berkata, “Pada masa khalifah ‘Umar ibn
al- Khaththab penduduk mengalami paceklik, lalu seorang lelaki datang ke
kuburan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah
hujan kepada Allah karena umatmu banyak yang meninggal dunia.” Rasulullah pun
datang kepadanya dalam mimpi dan berkata,
إِئْتِ عُمَرَ فَاقْرَئْهُ مِنِّيْ
السَّلاَمَ وَأَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ مَسْقُوْنَ, وَقَالَ لَهُ : عَلَيْكَ
بِالْكَيْسِ الْكَيْسِ
Datangilah ‘Umar, sampaikanlah salam
untuknya dariku dan kabarkan penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan
katakan pada ‘Umar, “Kamu harus tetap dengan orang yang pintar, orang yang
pintar!
Lelaki itu pun mendatangi ‘Umar
menceritakan apa yang dialaminya. “Ya Tuhanku, saya tidak bermalas-malasan
kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu mengerjakannya,” kata ‘Umar.
Demikian dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah
vol. I hlm. 91 pada bab Hawādits ‘Aam
Tsamāniyata ‘Asyarā.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah—dengan
sanad shahih—dari Abu Shalih al-Samman, dari Malik al-Dari, sekretaris pribadi ‘Umar
ibn al-Khattab. Dia mengatakan, “Pernah terjadi pada musim kemarau pada masa ‘Umar
bin Khattab. Lalu datanglah seorang laki-laki ke makam Nabi Muhammad Shallallāhu
‘alaihi wa sallam. Ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, mintakanlah hujan untuk
umatmu karena mereka telah menderita. Kemudian dia bermimpi didatangi
Rasulullah yang bersabda,
إِئْتِ عُمَرَ... الحديث
Datangilah ‘Umar...”
Saif dalam al-Futûh meriwayatkan bahwa
lelaki yang bermimpi bertemu Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah Bilal ibn
al-Harits al-Muzani, salah seorang sahabat. Ibnu Hajar berpendapat bahwa sanad
hadits ini shahih. (Shahih al-Bukhāri dalam Kitābu al-Istisqā’dan Fathul Bāri
vol. II hlm. 415).
Tidak seorang imam pun dari para perawi
hadits di atas dan para imam berikutnya yang telah disebutkan dengan beberapa
karya mereka yang berpendapat bahwa tawassul dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa
sallam adalah tindakan kufur dan sesat dan tidak ada seorang pun yang menilai
matan (teks) hadits mengandung cacat. Ibnu Hajar al-‘Asqalani telah
mengemukakan hadits ini dan menilainya sebagai hadits shahih dan beliau adalah
sosok yang kapasitas keilmuan, kelebihan, dan bobotnya di antara para pakar
hadits telah diakui.
KAUM MUSLIMIN BERTAWASSUL DENGAN PERANTARA
NABI DALAM PERANG YAMAMAH
Al-Hafidz Ibnu Katsir menceritakan bahwa
slogan kaum muslimin dalam perang Yamamah adalah ucapan YĀ MUHAMMADĀH (Wahai
Nabi Muhammad, tolonglah kami). Ibnu Katsir juga berkata, “Khalid ibn al-Walid
melakukan serangan hingga melampaui pasukan Musailimah dan bergerak menuju
Musailamah. Ia berusaha mencari celah untuk sampai kepada Musailamah kemudian
membunuhnya lalu kembali dan berdiri di antara dua barisan. Ia menyeru mengajak
duel. Ia berkata: “Saya anak al-Walid al-‘Aud, saya anak ‘Amir dan Zaid”. Lalu
Khalid mengumandangkan slogan kaum muslimin dimana slogannya adalah YĀ
MUHAMMADĀH.” (al-Bidāyah wa al-Nihāyah vol. VI hlm. 324).
TAWASSUL DENGAN NABI KETIKA SEDANG SAKIT DAN
MENGALAMI MUSIBAH
Diriwayatkan dari al-Haitsam ibn Khanas, ia
berkata, “Saya berada bersama Abdullah ibn ‘Umar. Lalu kaki Abdullah mengalami
kram. “Sebutlah orang yang paling kamu cintai!” saran seorang lelaki kepadanya.
“Yā Muhammad,” ucap Abdullah. Maka seolah-olah ia terlepas dari ikatan.
Dari Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki
yang berada dekat Ibnu ‘Abbas mengalami kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang
yang paling kamu cintai,” kata Ibnu ‘Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut
nama Muhammad dan akhirnya hilanglah rasa sakit akibat kram pada kakinya.
(Disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab al-Kalim al-Thayyib pada bab al-Faslh
al-Sābi’ wa al- Arba’īn hlm. 165). Inilah contoh tawassul dengan menggunakan
ungkapan “Ya Muhammad” yang disebut tawassul berbentuk panggilan (nidā’). ***
TAWASSUL DENGAN PERANTARA SELAIN NABI SHALLALLĀHU
‘ALAIHI WA SALLAM
Dari ‘Utbah ibn Ghazwan dari Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam, beliau berkata,
إِذَا أَضَلَّ أَحَدُكُمْ شَيْئًا
أَوْ اَرَادَ عَوْنًا وَهُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ بِهَا اَنِيْسٌ فَلْيَقُلْ : يَا
عِبَادَ اللهِ أَغِيْثُوْنِيْ, فَإِنَّ لِلَّهِ عِبَادًا لاَ نَرَاهُمْ
Jika salah satu dari kalian kehilangan
sesuatu atau mengharapkan pertolongan pada saat ia berada di tempat tak
berpenghuni, maka bacalah, “Wahai para hamba Allah, berilah aku pertolongan.
Karena Allah memiliki para hamba yang kalian tidak mampu melihatnya.”
Bacaan doa ini telah dibuktikan mujarab.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam al-Thabarani. Para perawinya dikategorikan
dapat dipercaya hanya saja ada sebagian dianggap lemah. Namun Yazid ibn ‘Ali
tidak pernah berjumpa dengan ‘Utbah.
Dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah Shallallāhu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً فِيْ
الْأَرْضِ سِوَى الْخَفَظَةِ يَكْتُبُوْنَ مَا يَسْقُطُ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ,
فَإِذَا أَصَابَ اَحَدُكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ :
"اَعِيْنُوْنِيْ يَا عِبَادَ اللهِ !"
Sesungguhnya Allah mempunyai para malaikat
yang bertugas mencatat daun yang jatuh dari pohon. Jika salah seorang dari
kalian mengalami kepincangan di padang pasir maka berserulah, “Bantulah aku,
wahai para hamba Allah!”
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Thabarani dan
para perawinya dapat dipercaya.
Dari Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata, "Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِذَا انْفَلَتَتْ جَابَّةُ
أَحَدِكُمْ بِأَرْضِ فَلاَةٍ فَلْيُنَادِ : "يَا عِبَادَ اللهِ, إِحْبِسُوْا
! يَا عِبَادَ اللهِ, إِحْبِسُوْا !"
فَإِنَّ لِلَّهِ حَاضِرًا فِيْ اْلأَرْضِ سَيَحْبِسُهُ
Jika binatang tunggangan kamu lepas di
padang sahara, maka berteriaklah : Wahai para hamba Allah tangkaplah, wahai
para hamba Allah tangkaplah !, karena ada malaikat Allah di bumi yang akan
menangkapnya. (HR
Abu Ya’la). Al-Thabarani menambahkan,
وَسَيَحْبِسُهُ عَلَيْكُمْ
Malaikat itu akan menangkapnya untuk
kalian.
Dalam hadits ini ada Ma’ruf bin Hassan yang
statusnya lemah. Majma’ul Zawāid wa Manba’ul Fawāid karya al-Hafidh bin ‘Ali
ibn Abi Bakar al-Haitsami Vol. X hlm. 132. Ini juga termasuk tawassul dengan
cara memanggil.
Terdapat keterangan bahwa Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam setelah dua rakaat fajar membaca doa,
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيْلَ
وَإِسْرَفِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَ مُحّمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
اَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ
Ya Allah, Tuhan Jibril, Israfil, Mikail,
dan Muhammad, saya berlindung kepada-Mu dari api neraka.
Imam al-Nawawi dalam al-Adzkar mengatakan,
“Hadits di atas diriwayatkan oleh Ibnu al- Sunni.” Setelah melakukan penelitian
hadits, al-Hafidz Imam al-Nawawi mengatakan, “Hadits ini adalah hadits hasan.”
(Syarhul Adzkār karya Ibnu ‘Ilān vol. II hlm. 139).
Penyebutan secara khusus Jibril, Israfil,
Mikail, dan Muhammad mengandung arti tawassul dengan mereka. Seolah-olah Nabi
berkata, “Ya Allah, aku bertawassul kepada-Mu dengan Jibril dan seterusnya....”
Ibnu ‘Ilan telah mengisyaratkan hal ini
dalam Syarah al-Adzkār bahwa dalam hadits itu terkandung makna disyariatkannya
bertawassul kepada Allah dengan sifat ketuhanan-Nya, dengan ruh-ruh yang agung.
Ibnu ‘Ilan dalam Syarah al-Adzkār vol. II hlm. 29 menegaskan disyari’atkannya
tawassul. Ia menyatakan, “Hadits ini mengandung tawassul dengan kemuliaan
orang-orang baik secara umum dari para peminta/orang yang suka berdoa. Apalagi
jika orang-orang baik itu dari kelompok para Nabi dan Rasul.” ***
MAKNA TAWASSUL ‘UMAR DENGAN PERANTARA ‘ABBAS
Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya
meriwayatkan sebuah hadits dari Anas radhiallāhu ‘anhu bahwa ketika penduduk
Madinah mengalami paceklik, ‘Umar ibn al-Khattabmemohon hujan dengan
bertawassul melalui perantara keagungan ‘Abbas ibn ‘Abdil Muththallib. Ia
berdoa, “Ya Allah, dulu kami bertawassul kepada-Mu dengan keagungan Nabi-Mu,
lalu Engkau turunkan hujan untuk kami. Dan sekarang saya bertawassul kepada-Mu
dengan paman Nabi-Mu. Maka mohon berilah kami hujan.”
Zubair ibn al-Bakkar meriwayatkan kisah
tersebut di atas dalam al-Ansāb, melalui jalur periwayatan selain Anas ibn
Malik dengan redaksi hadits yang lebih lengkap daripada riwayat yang ada pada Shahih
al-Bukhari. Dan disebutkan secara ringkas, “Dari Abdillah ibn ‘Umar, ia
berkata, “Pada tahun paceklik, ‘Umar bin al-Khattabmemohon hujan dengan
bertawassul pada al-’Abbas bin ‘Abdil Muththallib. ‘Umar berbicara di depan
kaum muslimin, “Saudara sekalian, sesungguhnya Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi
wa sallam memandang ‘Abbas sebagaimana anak memandang orang tua. Maka, wahai
saudara sekalian, teladanilah Rasulullah menyangkut paman beliau ‘Abbas dan
jadikanlah ia sebagai perantara kepada Allah. Berdoalah wahai ‘Abbas!” Di
antara doa ‘Abbas adalah,
اللَّهُمَّ إِنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ
بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَ لَمْ يَكْشِفْ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ, وَقَدْ تَوَجَّهَ
الْقَوْمُ بِيْ إِلَيْكَ لِمَكَانِيْ مِنْ نَبِيِّكَ وَهَذِهِ أَيْدِيْنَا
إِلَيْكَ بِالذُّنُوْبِ وَنَوَاصِيْنَا إِلَيْكَ بِالتَّوْبَةِ فَاسْقِنَا
الْغَيْثَ وَاحْفَظْ اللَّهُمَّ نَبِيَّكَ فِيْ عَمِّهِ
Ya Allah, sesungguhnya bencana tidak
menimpa kecuali akibat dosa dan tidak akan hilang bencana itu kecuali dengan
bertaubat. Dan masyarakat telah bertawassul denganku kepada-Mu karena kedudukanku
di sisi Nabi-Mu. Ini adalah
tangan-tangan kami yang berlumuran dosa datang kepada-Mu dan inilah ubun-ubun
kami yang ingin bertaubat kepada-Mu. Siramilah kami dengan air hujan dan
jagalah, ya Allah, kemuliaan Nabi-Mu pada pamannya.
Akhirnya, langit pun menjadi mendung seperti gunung yang menurunkan hujan
hingga bumi menjadi subur dan masyarakat bisa hidup. Mereka datang dan
mengusap-usap ‘Abbas sambil berkata, “Selamat untukmu, wahai pemberi siraman
hujan tanah Haramain. Kemudian ‘Umar ibn al-Khattab berkata, “Demi Allah,
‘Abbas ini adalah perantara menuju kepada Allah dan kedudukan mulia di sisi
Allah diberikan kepadanya.” Berkenaan dengan ini, ‘Abbas ibn ‘Utbah putra
saudara lelaki ‘Abbas lau melantunkan bait-bait syair, diantaranya berbunyi,
بِعَمِّيْ سَقَى اللهُ الْحِجَازَ
وَأَهْلَهُ عَشِيَّةً
يَسْتَقِى بِشَيْبَتِهِ عُمَرُ
Karena kemuliaan pamanku, Allah menyirami
Hijaz dan penduduknya,
Di sore hari ‘Umar dengan ubannya memohon
hujan.
Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan, dalam sebagian
riwayat disebutkan, setalah dibacakan tawassul langit pun mendung penuh awan
seperti tumpukan gunung sehingga lubang-lubang rata dengan anak bukit, bumi
subur, dan manusia bisa hidup. ‘Umar berkata, “Demi Allah, ‘Abbas ini adalah
perantara menuju kepada Allah dan kedudukannya mulia di sisi Allah.” Hassan ibn
Tsabit menyatakan,
سَأَلَ الْإِمَامُ وَقَدْ تَتَابَعَ
جَدْبُنَا فَسَقَى
الْغَمَامُ بِغُرَّةِ الْعَبَّاسِ
عَمِّ النَّبِيِّ وَصُنْوِ وَالِدِهِ
الَّذِيْ وَرِثَ
النَّبِيَّ بِذَاكَ دُوْنَ النَّاسِ
أَحْيَا الْإِلَهُ بِهِ الْبِلاَدَ
فَأَصْبَحَتْ مُخْضَرَةَ
الْأَجْنَابِ بَعْدَ الْيَاسِ
Sang Imam (‘Umar bin Khattab) memohon pada
saat paceklik datang bertubi-tubi.
Akhirnya mendung menyiramkan airnya berkat
kemuliaan cahaya wajah ‘Abbas,
Paman Nabi, dan saudara ayah Nabi
Yang mewarisi beliau, bukan orang lain
Berkat ‘Abbas, Allah menghidupkan negara
Hingga sudut-sudut negara menjadi hijau
sesudah merana.”
Fadhl ibn ‘Abbas ibn ‘Utbah berkata,
بِعَمِّى سَقَى اللهُ الْحَجَازَ
وَأَهْلَهَ عَشِيَّةً
يَسْتَقِى بِشَيْتَتِهِ عُمَرُ
تَوَجَّهَ بِالْعَبَّاسِ فِيْ
الْجَدْبِ رَاغِبًا فَمَاكَرَّ
حَتَّى جَاءَ بِالدَّيْمَةِ الْمَطَرُ
Berkat pamanku, Allah menurunkan hujan
untuk Hijaz dan penduduknya.
Di saat sore hari, ‘Umar memohon hujan
dengan ubannya.
‘Umar bertawassul dengan ‘Abbas pada musim
paceklik seraya memohon.
‘Umar belum beranjak pergi hingga hujan
turun terus-menerus turun ke bumi.
Dalam salah satu riwayat diterangkan,
orang-orang mendatangi ‘Abbas sambil mengusap-usap kaki dan tangannya seraya
berkata, “Selamat untukmu, wahai orang yang menyirami tanah Haramain.”
Demikianlah keterangan dari al-Isti’ab karya Abdul Barr yang menceritakan
tentang biografi Ibnu ‘Abbas.
Sebenarnya, ‘Umar berhak memimpin kaum
muslimin dalam istisqa’. Namun, ‘Umar
melepas haknya dan mendorong ‘Abbas untuk istisqa’ sebagai bentuk penghormatan
terhadap Rasulullah dan keluarga beliau dan mempriotaskan paman beliau atas
dirinya sebagai upaya maksimal dalam bertawassul dengan Rasulullah. ‘Umar juga
menganjurkan kaum muslimin untuk menjadikan ‘Abbas sebagai mediator kepada
Allah. Demikian pula ‘Umar menjadikan ‘Abbas sebagai perantaraan dengan
memprioritaskannya untuk berdoa dalam rangka memposisikannya dalam posisi
Rasulullah saat beliau masih hidup. Kemudian ‘Abbas memohonkan hujan untuk kaum
muslimin di tempat shalat ‘Id agar lebih maksimal dalam memuliakan Nabi dan
menyanjung keutamaan keluarga beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam.
‘Umar menegaskan sikapnya itu dalam sebuah
doanya, “Ya Allah, dulu kami bertawassul kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu,
lalu Engkau memberi kami hujan. Dan kini kami bertawassul kepada-Mu dengan
paman Nabi-Mu, maka turunkanlah kami hujan.” Yakni, dulu kami bertawassul
kepada-Mu dengan keluarnya beliau bersama kaum muslimin ke tempat shalat, doa
beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam buat mereka dan shalat beliau bersama
mereka. Dan ketika hal ini tidak bisa kami realisasikan akibat wafatnya beliau Shallallāhu
‘alaihi wa sallam, maka saya mengajukan figur dari keluarga beliau agar doa lebih
diterima dan dikabulkan.
Ketika ‘Abbas berdoa, ia bertawassul dengan
Rasulullah dimana ia berdoa, “Kaum muslimin ber-taqarrub denganku karena
kedudukanku dari Nabi yakni hubungan familiku dengannya. Maka, jagalah Nabi-Mu,
Ya Allah, menyangkut paman Nabinya (yakni terimalah doaku karena kemuliaan
Nabi-Mu Shallallāhu ‘alaihi wa sallam)”.
Persoalan di atas merupakan persoalan yang menyangkut
istisqa’ dan tidak ada relasinya dengan tawassul yang menjadi tema diskusi kami
dan terjadi pro-kontra di dalamnya. Fakta ini adalah persoalan yang diketahui
oleh setiap orang yang memiliki dua mata. Karena peristiwa di atas
mengindikasikan dengan jelas fakta ini. Karena penduduk Madinah tertimpa
paceklik dan membutuhkan pertolongan dengan shalat istisqa’. Shalat istisqa’
membutuhkan seorang imam yang memimpin shalat dan mendoakan mereka mereka serta
menegakkan syi’ar islam yang dahulu telah ditegakkan Nabi semasa hidup di
dunia, sebagaimana syi’ar-syi’ar islam yang lain seperti imamah, shalat jum’at,
dan khutbah. Ketiganya merupakan tugas-tugas taklifiyah yang tidak bisa
dikerjakan oleh mereka yang berada di alam barzakh, akibat terputusnya taklif
dan kesibukan mereka dengan sesuatu yang lebih besar.
Siapa saja yang memahami ucapan Amirul Mukminin,
‘Umar ibn al-Khattab, bahwasanya ia hanya bertawassul dengan ‘Abbas—tidak
dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam—karena ‘Abbas masih hidup sedang Nabi
telah wafat – berarti pemahamannya sungguh salah, dikuasai oleh keraguannya,
dan terpengaruh oleh fanatisme pendapatnya sendiri. Sebab, ‘Umar tidak
bertawassul dengan ‘Abbas kecuali karena ada hubungan kekerabatan dengan
Rasulullah Shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Hal ini bisa diketahui dalam ucapan ‘Umar,
“Sesungguhnya saya bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu, maka mohon
turunkan hujan kepada kami.” Dengan demikian, ‘Umar telah bertawassul dengan
Rasulullah dengan cara paling maksimal.
Sungguh sangat jauh dari kebenaran mereka
yang memvonis musyrik seseorang yang bertawassul dengan orang mati padahal
mereka memperbolehkan tawassul dengan orang hidup. Sebab, jika tawassul
dikategorikan kemusyrikan maka tidak akan diperbolehkan baik dengan orang hidup
atau mati. Bayangkan saja, bukankah meyakini ketuhanan dan penyembahan kepada
selain Allah dari Nabi, raja, atau wali adalah tindakan syirik dan kufur yang
tidak diperkenankan baik dalam keadaan hidup atau sudah mati.
Apakah Anda pernah mendengar seseorang
berkata bahwa meyakini ketuhanan kepada selain Allah diperbolehkan jika ia
masih hidup. Jika telah mati dikategorikan musyrik.
Anda telah mengetahui bahwa menjadikan
orang yang diagungkan sebagai mediator kepada Allah bukan berarti penyembahan
terhadap mediator itu kecuali jika orang yang bertawassul meyakini bahwa
perantara itu adalah Tuhan, sebagaimana keyakinan para penyembah berhala
terhadap berhala mereka. Jika tidak memiliki keyakinan demikian dan karena ia
diperintahkan Allah untuk menjadikan mediator, maka tindakan ini berarti
penyembahan terhadap yang memberi perintah (Allah).
KISAH AL-‘UTBI DALAM BERTAWASSUL
Al-Imam al-Hafidz al-Syaikh ‘Imaduddin Ibnu
Katsir mengatakan, “Sekelompok ulama, di antaranya Syaikh Abu al-Manshur
al-Shabbagh dalam kitabnya al-Syāmil menuturkan sebuah kisah dari al-‘Utbi yang
mengatakan, “Saya sedang duduk di samping kuburan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa
sallam. Lalu datanglah seorang A’rabi (penduduk pedalaman Arab) kepadanya, “Assalamu’alaika,
ya Rasulullah! Saya mendengar Allah berfirman,
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا
أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ
لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
Sesungguhnya jika mereka menganiaya dirinya
datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun
untuk mereka, tentu mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha
Penyayang. (QS. al-Nisa: 64)
dan saya datang kepadamu untuk memohonkan
ampunan atas dosaku dan memohon syafa’at denganmu kepada Tuhanku.” Selanjutnya
A’rabi tersebut mengumandangkan bait-bait syair,
يَا خَيْرَ مَنْ دُفِنَتْ بِالْقَاعِ
أَعْظُمُهُ فَطَابَ
مِنْ طِيْبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ
نَفْسِيْ الْفِدَاءُ لِقَبْرٍ أَنْتَ
سَاكِنُهُ فِيْهِ
الْعَفَافُ وَفِيْهِ الْجُوْدُ وَالْكَرَمُ
Wahai orang yang tulang belulangnya dikubur
di tanah datar,
berkat keharumannya, tanah rata dan bukit
semerbak mewangi.
Diriku jadi tebusan untuk kuburan yang engkau
tinggal di dalamnya.
Di dalam kuburmu terdapat sifat bersih dan
kedermawanan.
Kemudian A’rabi tadi pergi. Sesudah
kepergiannya, saya tertidur dan bermimpi bertemu Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda, “Kejarlah si A’rabi dan berilah kabar gembira bahwa
Allah telah mengampuni dosanya.”
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Nawawi
dalam kitabnya yang populer al-Īdhāh pada bab VI hlm. 498. juga diriwayatkan
oleh al-Hafidz ‘Imaduddin Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang masyhur ketika
menafsirkan ayat,
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا
أَنْفُسَهُمْ... الآية
Syaikh Abu Muhammad Ibnu Qudamah juga
meriwayatkannya dalam kitabnya al-Mughni vol. III hlm. 556. Syaikh Abu Al-Faraj
Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Syarah al-Kabīr vol. III hlm. 495, dan Syaikh
Manshur ibn Yunus al-Bahuti dalam kitabnya yang dikenal dengan nama Kasysyāf
al-Qinā vol. V hlm. 30, yang merupakan
salah satu kitab paling populer dalam madzhab Hanbali vol. V hlm. 30 juga
mengutip kisah dalam hadits di atas.
Al-Imam al-Qurthubi—mufassir kenamaan dan
rujukan para mufassir—menyebutkan sebuah kisah serupa dalam tafsirnya yang
dikenal dengan nama al-Jāmi’ li Ahkām. Ia mengatakan, “Abu Shadiq meriwayatkan
dari Ali yang berkata, “Tiga hari setelah kami mengubur jasad Rasulullah Shallallāhu
‘alaihi wa sallam, datang kepadaku seorang A’rabi. Ia merebahkan tubuhnya pada
kuburan beliau dan menabur-naburkan tanah kuburan di atas kepalanya sambil
berkata, “Wahai Rasulullah! Engkau bersabda maka kami mendengar sabdamu. Engkau
hapal firman Tuhanmu maka kami pun hapal apa yang dari Allah dan darimu. Dan
salah satu ayat yang turun kepadamu
adalah,
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا
أَنْفُسَهُمْ ... الآية
Sungguh saya telah berbuat dzalim kepada
diriku sendiri dan saya datang kepadamu untuk memohonkan ampunan untukku." Kemudian dari arah kubur
muncul suara, “Sesungguhnya engkau telah mendapat ampunan.” (Tafsir al-Qurthubi
vol. V hlm. 265)
Kisah di atas adalah kisah al-‘Utbi dan
telah dikutip oleh para ulama seperti disebut di atas . Baik kisah ini
dikategorikan shahih atau dhaif dari aspek sanad yang dijadikan pijakan para
pakar hadits dalam menentukan hukum hadits apa saja, maka kami bertanya-tanya, “Apakah
para ulama di muka telah mengutip kekufuran dan kesesatan? Atau mengutip
keterangan yang mendorong menuju penyembahan berhala dan kuburan?” Jika
faktanya memang demikian, lalu di manakah kredibilitas mereka dan kitab-kitab
karya mereka? Subhānaka Hādzā Buhtānun ‘Aadhīm.
BAIT SYAIR AL-‘UTBI PADA JENDELA MAKAM NABI
Berikut dua bait yang disenandungkan oleh
orang Arab Baduwi ketika ia berkunjung kepada Nabi yang telah diriwatkan oleh
‘Utba yaitu,
Wahai orang yang tulang belulangnya dikubur
di tanah datar.
berkat keharumannya, tanah rata dan bukit
semerbak mewangi.
Diriku jadi tebusan untuk kuburan yang engkau
tinggal di dalamnya.
Di dalam kuburmu terdapat sifat bersih dan
kedermawanan.
Karena karunia Allah, bait-bait ini
tertulis dalam al-muwajjahah al-Nabawiyyah al-Syarifah pada tiang yang terletak
antara jeruji kamar Nabi yang dapat dilihat oleh orang yang berada dalam jarak
jauh atau dekat semenjak ratusan tahun silam sampai pada era almarhum Raja
‘Abdul ‘Aziz, Raja Sa’ud, Raja Faishal, Raja Khalid, dan Raja Fahd, pelayan “al-Haramaian
al-Syarifain”. Dan atas izin Allah, berdasarkan instruksi khādimul haramain, tulisan
itu akan tetap dilestarikan pada setiap sesuatu yang tercantum di Masjid Nabawi
dan tidak menghilangkan peninggalan apapun dari peninggalan masa lalu. ***
KESIMPULAN TENTANG HAKIKAT TAWASSUL
Kesimpulan dari paparan di atas adalah
tidak disangsikan lagi bahwa Nabi Muhammad Shallallāhu ‘alaihi wa sallam
memiliki kedudukan yang tinggi dan derajat yang luhur di sisi Allah. Lalu,
faktor syar’i atau logika apa yang menghalangi untuk bertawassul dengan beliau?
Apalagi ada dalil-dalil yang menetapkan bolehnya bertawassul dengan beliau di
dunia dan akhirat. Saat bertawassul kami tidak memohon kepada selain Allah dan
tidak berdoa kecuali kepada-Nya. Kami memohon kepada Allah dengan perantaraan
sesuatu yang dicintai Allah, apapun bentuknya. Suatu kali kami memohon kepada
Allah dengan perantaraan amal shalih, karena Allah mencintainya. Dan dalam
waktu yang lain kami memohon kepada-Nya dengan perantaraan makhluknya yang Dia
cintai, sebagaimana dalam hadits tentang Nabi Adam yang telah disebutkan
sebelumnya, hadits tentang Fathimah binti Asad yang telah kami sebutkan dan
dalam hadits ‘Utsman ibn Hanif di muka. Adakalanya kami juga memohon kepada
Allah dengan perantaraan asmaul husna, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam,
أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ اللهُ
Aku memohon kepada-Mu dengan perantaraan
Engkau adalah Allah
atau dengan sifat-Nya atau perbuatan-Nya
seperti dalam hadits lain,
أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ
وَبِمُعَافَتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ
Aku berlindung kepadamu dengan perantaraan
ridha-Mu dari murka-Mu dan dengan keselamatan-Mu dari siksa-Mu.
Tawassul
tidak terbatas pada ruang sempit sebagaimana asumsi mereka yang keras kepala.
Rahasia dari tawassul di atas adalah bahwa
segala sesuatu yang dicintai Allah sah untuk dijadikan objek tawassul. Demikian
pula setiap orang yang dicintai Allah, baik Nabi atau wali. Hal ini adalah
sesuatu yang jelas bagi setiap orang yang memiliki fitrah yang baik dan tidak
bertentangan dengan logika serta nash. Justru akal dan nash saling memperkuat
dalam membolehkan tawassul. Dalam seluruh tawassul di muka, yang diminta adalah
Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya, bukan Nabi, wali, orang hidup, atau orang
mati.
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
فَمَالِ هَؤُلَاءِ الْقَوْمِ لَا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
Katakanlah, “Semuanya (datng) dari sisi
Allah.” Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan sedikit pun? (QS. al-Nisaa: 78)
Jika tawassul diperkenankan dengan amal
shalih, lebih-lebih dengan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam karena beliau
adalah makhluk paling utama sedang amal shalih termasuk makhluk, dan kecintaan
Allah kepada beliau lebih besar daripada kepada amal shalih dan yang lain.
Maka, cukup aneh ada yang mengingkari hukum tawassul dengan Nabi Shallallāhu
‘alaihi wa sallam sedang teks hadits tidak memberikan kesimpulan lebih dari
bahwa Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam memiliki kedudukan di sisi Allah, dan
orang yang melakukan tawassul tidak menghendaki kecuali pengertian seperti ini.
Barangsiapa mengingkari kedudukan Nabi Shallallāhu ‘alaihi wa sallam di sisi
Allah, ia telah kafir sebagaimana kami kemukakan sebelumnya.
Walhasil, persoalan tawassul
mengindikasikan keluhuran dan kecintaan objek yang dijadikan tawassul.
Bertawassul dengan Nabi pada substansinya adalah karena keluhurannya di sisi
Allah dan kecintaan Allah kepadanya. Hal ini adalah sesuatu yang tidak
diragukan lagi, di samping bahwa tawassul dengan amal shalih telah disepakati
bersama. Maka mengapa kita tidak mengatakan bahwa orang yang bertawassul dengan
para Nabi atau orang-orang shalih adalah bertawassul dengan amal perbuatan
mereka yang dicintai Allah, dan sungguh telah ada hadits tentang orang-orang
yang terjebak dalam goa, sehingga dicapai titik temu dari dua pandangan yang
berseberangan?
Tidak disangsikan lagi bahwa orang yang
bertawassul dengan orang-orang shalih pada dasarnya bertawassul dengan mereka
dari aspek bahwa mereka adalah orang shalih, sehingga pada akhirnya persoalan
ini kembali kepada amal shalih yang disepakati boleh dijadikan objek tawassul,
sebagaimana saya kemukakan pada awal pembahasan masalah ini.
SYUBHAT YANG HARUS DITOLAK
Beberapa hadits dan atsar di atas semuanya
menetapkan dan menguatkan adanya tawassul. Jika dikatakan bahwa tawassul khusus
pada saat beliau Shallallāhu ‘alaihi wa sallam masih hidup, maka harus diketahui bahwa
pengkhususan ini tidak memiliki argumentasi yang kuat. Apalagi ruh—yang dengannya
ada perasaan dan gerakan—tetap hidup meskipun jasadanya telah mati.
Dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah,
mayat itu sesungguhnya bisa mendengar, merasakan, memiliki kesadaran,
memperoleh manfaat dari kebaikan, bergembira, merasa sakit karena keburukan,
dan sedih. Hal ini berlaku untuk semua manusia. Karena itu pada saat perang
Badar, Nabi memanggil-manggil orang-orang kafir Quraisy yang dikubur di dalam
sumur Badar. “Wahai ‘Utbah! Wahai Syaibah! Wahai Rabi’ah!” teriak Nabi.
“Mengapa engkau memanggil manggil mereka yang telah menjadi bangkai?” tanya seseorang.
“Kalian tidak lebih mendengar dibanding mereka, tetapi mereka tidak mampu
menjawab,” jawab Nabi.
Jika kondisi yang dialami mayat itu berlaku
umum untuk semua manusia, maka bagaimana dengan manusia paling utama, paling
mulia, dan paling agung? Tidak diragukan lagi bahwa beliau lebih sempurna
perasaan dan persepsinya dan lebih kuat kesadarannya. Ditambah lagi terdapat
penjelasan dalam banyak hadits bahwa Nabi mampu mendengar percakapan, menjawab
salam, disampaikanya amal perbuatan umat kepada beliau dan bahwasanya beliau
memohonkan ampunan atas dosa-dosa umatnya dan memuji Allah atas amal-amal baik
mereka.
Kualitas seseorang pada dasarnya terletak
pada tingkat kesadaran, perasaan, dan persepsinya, bukan pada hidupnya. Karena
itu kita melihat banyak orang hidup dicabut oleh Allah perasaan dan kesadaran
kemanusiannya ditambah karakter yang bodoh dan minimnya perasaan, namun mereka
tidak bisa diambil manfaat malah mereka berada dalam barisan orang-orang yang
telah meninggal dunia.